Imbalance to Perfectly Balance (part 9)
Tapi aku teringat kepada Phillip. Aku mengalihkan pandanganku ke tempat dia duduk tadi. Tapi dia tidak disana. Mataku pun menelusuri seluruh ruangan itu mencari keberadaan Phillip, sampai aku tidak sadar aku masih berdiri di depan orang-orang itu.
Ketika aku akan melangkahkan kakiku pergi dari panggung, seseorang menahanku. “Jangan pergi dulu,” seorang wanita yang adalah penyanyi sekaligus MC itu menepuk bahuku.
Aku berpaling padanya. Aku hanya menyeringai.
“Sebenernya kamu Tiffany Harmony yang masuk di majalah itu kan?” ia memastikanku. Dan setelah perkataannya itu, terdengar orang-orang saling berbisik. “Wah, Jeniffer seneng banget ketemu sama artis kamu.” Ah, Jeniffer, itu namanya. Ya, dan tingkahnya ternyata seperti tren anak muda jaman sekarang. Lebay banget, pikirku.
Aku menyeringai lagi. Mataku masih menelusuri seluruh ruangan itu. Dimana sih Phillip nih? Masak sih dia ninggalin aku disini?
“Eh, kamu tuh ditanyain kok diem aja?” ia menyadarkanku.
“Oh,” aku tertawa kecil. “Iya, iya itu aku.”
“Wah, berarti seharusnya Damien sama Sylvi seneng dong, kedatangan tamu spesial nih,” ujarnya sambil menghadap ke arah kedua mempelai itu. “Damien, mau ngomong sesuatu atau mungkin Sylvi?”
Sementara aku masih saja tetap merasa was-was karena aku tidak melihat Phillip dimana pun, Damien datang mendekat. Tapi bukannya mengambil microphone dari tangan Jeniffer, tapi membisikkan sesuatu kepadaku.
“Apa?” aku sebenarnya cukup terkejut dengan perkataannya, tapi baiklah aku lakukan apa yang dia mau. Dia yang punya acara hari ini. Lalu Damien membisikkan hal yang sama kepada Jeniffer lalu kembali ke tempat dimana ia duduk sebelumnya. “Happy birthday, happy birthday.... Happy birthday, Phillip.”
“Woaaa, ternyata, hari ini adalah hari yang nggak cuman spesial buat Damien dan Sylvi, tapi juga buat sahabat mereka, Phillip,” seru Jeniffer. Efek piano pun dimainkan dan membuat suasana menjadi semakin meriah. “Mari saya panggil Phillip untuk berdiri di depan panggung.”
Dari tengah-tengah kumpulan orang-orang itu, Phillip muncul. Tapi dia maju bukan dengan sendirinya. Beberapa temannya terpaksa harus mendorongnya dari belakang, termasuk Damien. Dan, dan ada seseorang yang kukenal di sebelahnya. Seorang wanita paruh baya yang modis dan yang sudah memperkenalkanku kepada Phillip. Bu Rini.
Sampai di depan panggung, aku memberikan mic kepada Damien. “Nah, hari ini aku nggak seneng-seneng berdua doang sama istriku,” katanya. “Kayak yang Jeniffer udah bilang, hari ini sahabatku yang paling deket sama aku, yang sukanya nraktir aku pas SMA, kemana-mana bareng, dan juga yang ngenalin aku ke Sylvi, ulang tahun tepat hari ini 28 Januari 2012, yang ke, ke berapa Phill? Oh ke-23. Bener kan?” Ia menyenggol lengan Phillip.
Phillip tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. Sementara aku berdiri di paling ujung, menatap orang-orang itu sambil tersenyum.
Tiba-tiba Ricky ikut maju ke panggung dan mengambil mic dari tangan Damien. “Sebenernya tadi tuh aku nggak tahu mau ngerjain kamu gimana. Eh, ada Tiffany. Aku pake dia aja. Sori ya Tif,” ia memiringkan kepalanya ke arahku.
Aku menggeleng sambil tersenyum. “It’s okay,” aku membentuk ‘OK’ dengan jariku.
“Dan aku berhasil! YES!” serunya senang. “Malah sampe kamu kesel gitu. Ya, mending kamu pacaran aja sama Tiffany.” Dia tertawa puas lalu merangkul Phillip.
Phillip hanya tertawa melihat tingkah Ricky. Ya, kamu harus seneng-seneng, Phillip. Jangan marah lagi. Temen-temenmu disini pasti uudah ngrencanain segala sesuatunya untuk kamu, pikirku dalam hati.
Damien kembali mengambil mic dari tangan Ricky. “Pokoknya sekali lagi selamat ulang tahun buat Phillip Montgomery! Tepuk tangan semuanya,” serunya. Dan semua orang disana bertepuk tangan. Kami turun dari panggung dan Jeniffer kembali mengambil alih panggung.
“Udah, kalian seneng-seneng sana. Aku mau ngumpul sama yang lainnya,” Ricky menepuk lengan Phillip lalu pergi.
“Have fun,” Damien pun pergi meninggalkan Phillip dan aku.
Sejenak aku dan Phillip saling berdiam diri. Tapi aku angkat bicara,” Tadi aku lihat Bu Rini deh kayaknya,” kataku.
“Iya, aku disini,” suara seorang wanita terdengar dari belakangku. Itu Bu Rini.
“Ibu kok bisa disini?” tanyaku.
Bu Rini melingkarkan lengannya di pinggangku. “Gimana nggak disini kalo yang menikah anak laki-lakiku sendiri?” ujarnya.
“Oh, Damien tuh anaknya ibu to?”
“Iya Tif,” sahutnya. Bu Rini berpaling kepada Phillip. “Phil, gimana ngajarin si Tiffy nih? Susah nggak? Bandel kan dia?”
Phillip tertawa kecil. “Ya gitu, bu,” katanya. “Agak ngeselin gitu, Tante.”
Aku menyenggol lengan Phillip. “Oh jadi selama ini Phillip yang kayaknya cool itu mikir kalo aku nih ngeselin?” aku beraksen seperti orang alay. Lalu aku tertawa sendiri. “Tapi karna kamu ulang taun hari ini, ya udah deh nggak papa kalo kamu ngatain aku gitu.”
Bu Rini menertawaiku. “Nggak pantes,” katanya.
“Dengerin tuh Bu Rini ngomong apa,” balas Phillip.
Aku menyeringai.
“Ya udah, ibu mau balik ngobrol-ngobrol sama besan dulu ya, cin,” akhirnya Bu Rini mengeluarkan aksen ‘itu’.
Aku dan Phillip tertawa mendengarnya.
“Bye bye,” Bu Rini berpaling dan meninggalkan kami.
Aku menggeleng-gelengkan kepala. “Kamu tau? Bu Rini tuh emang orang yang keren banget buat aku,” aku bercerita. “Kalo Bu Rini nggak ngotot nyuruh aku belajar sama kamu, ya mesti aku masih nggak mudeng tuh mata kuliah. Dia dosen satu-satunya yang paling sayang sama aku kayak anaknya sendiri.”
Phillip mengangguk-angguk. “Waktu aku masih SMA, aku juga sering ke rumah Damien,” katanya. “Aku juga diperlakuin sama Tante Rini, eh Bu Rini, kayak anaknya sendiri. Dia emang orang tua yang baik banget. Walopun suaminya udah meninggal.”
“Iya,” kataku. Aku menarik nafas dalam. “Rasanya aku agak capek pake sepatu high heels nih. Duduk yuk.”
“Ayo,”
Kami berjalan dan kembali duduk ke tempat semula. Sambil mengobrol dengan Phillip, kami menikmati musik dan nyanyian yang diperdengarkan. Aku bersyukur hari ini aku punya teman baru.
“Anyway, selamat ulang tahun ya Phil,” kataku. “Berarti kamu udah tua ya.” Aku menertawakannya.
“Tua apanya? Wajah ganteng begini dibilang tua,” sahutnya.
“Kan aku nggak bilang wajahmu, aku cuman bilang kamu udah tua. Itu kan artinya bisa jadi umur,”
“Tapi nggak tua juga kali ngomongnya, kan ada kata dewasa,”
Aku tertawa. “Oh, iya ya,” kataku. “Ya, maksudku itu.”
“Aku juga makasi banget sama kamu, Tif,”
Aku berpaling padanya. “Makasi apa? Aku yang makasi,” sahutku. “Aku bisa kenal sama temen-temen baru, dapet link lebih banyak lagi. Mungkin suatu kali salah satu dari mereka ato mungkin lebih bisa nolong aku kalo aku lagi butuh bantuan.”
“Kamu tuh,” katanya. “Sebenernya selain udah nemenin aku disini, aku juga mau terima kasih udah nemenin aku di hari ulang taunku.”
Aku berfokus pada perkataannya barusan. Di hari ulang tahunnya? Aku bahkan tidak tahu sama sekali kalau aku sedang menemaninya di hari ulang tahunnya waktu dia mengirim pesan padaku. Sepertinya aku merasa semua ini sudah diatur. Ya, pastilah. Tuhan membuat segala sesuatunya. Aku berdoa Phillip seneng di hari ulang tahunnya.
“Tapi aku nggak bawa hadiah apa-apa buat kamu, Phil,” kataku. Aku menggesek-gesekkan kedua telapak tanganku ke gaun. “Kayaknya kok aku nggak tau terima kasih ya sama kamu. Udah nolong aku banget.”
Dia menggeleng. “Udah lebih dari cukup kok,” sahutnya.
“Lebih dari cukup?”
“Kamu mau aku suruh dandan begini sore-sore, ngabisin waktu di salon, padahal kamu nggak tau tadinya mau aku ajak kemana,” ujarnya,” terus habis itu nyanyi disini, padahal kamu terhitung udah mulai terkenal dan kamu yang buat aku nggak ngerasa kesel lagi, walaupun ternyata itu akal-akalannya si Ricky, bisa bercanda sama temen-temenku, dan lagumu itu bener-bener buat rasa keselku reda, so it’s more than enough.”
Aku tersenyum. “My pleasure,” sahutku.
“Dan, kamu cantik pake baju itu, Tif,” lanjut Phillip.
“Well actually, kamu berhasil mempengaruhi aku untuk dandan seheboh ini,” timpalku.
“Phill, Dancing Time nih,” Ricky tiba-tiba datang menghampiri kami. “Yuk, kayak dulu lagi dansa bareng-bareng sekelas. Reunian sekalian lah. Kamu masih inget kan dansa kita formasinya gimana?”
“Emang Lina disini?” tanya Phillip.
Siapa Lina? Seorang gadis? Kenapa sepertinya aku merasa cem─ tidak, tidak. Aku kan teman baru Phillip. Hampir saja aku berpikir yang tidak seharusnya aku pikirkan.
“Lina udah menikah tau, dia ke luar negeri sekarang,” jawab Ricky. “Pasangan dansa lamamu nggak ada ya, sama Tiffy aja.”
Aku terkejut. “Aku?” aku menaikkan kedua alisku. Aku menggerak-gerakkan kedua telapak tanganku tanda aku menolak. “Nggak bisa dansa.”
Tapi Phillip tiba-tiba berdiri dan mengulurkan tangannya padaku.
“Nah tuh, masa kamu nggak kasian liat Phillip dansa sendirian?” Ricky berusaha membujukku.
Aku menarik nafas dalam. Lalu menyambut uluran tangannya dan berdiri.
“Nah, kan sekarang jadinya enak,” kata Ricky. “Yuk, kesana.”
0 Response to "Imbalance to Perfectly Balance (part 9)"
Posting Komentar