Imbalance to Perfectly Balance (part 1)
“Hi semuanya. Namaku Tiffany Harmony Setiawan,”
Di depan sekian banyak orang yang menunggu aksiku, selalu membuat rasa grogiku makin bertambah. Mereka kelihatan kayak singa. Selalu kayak gitu kalo aku lagi berdiri di depan banyak orang. Huft, enggak, enggak. Aku harus bisa. Aku pasti bisa, pikiranku yang kalut dengan paksa kubuat menjadi tenang.
“Saya akan menampilkan sebuah permainan gitar akustik dengan sebuah lagu yang saya ciptakan,” lanjutku. “Saya berharap para hadirin di tempat ini akan merasa terhibur dengan permainan sederhana saya.” Aku bergerak dari tempat dimana aku berdiri dan duduk di sebuah kursi yang berada di belakangku beberapa langkah. Kemudian aku mengambil gitarku yang berdiri tegak di atas stand gitar dan memposisikannya di pangkuanku.
“Tiffany, gimana sih caranya supaya bisa nyanyi, main gitar, nyiptain lagu yang bagus banget kayak tadi?” seorang wartawan dari sebuah majalah yang terkenal di tanah air dengan beberapa kru yang mendampinginya.
Aku tersenyum padanya. Dalam hatiku sebenarnya aku masih bertanya-tanya bagaimana dan darimana mulanya aku bisa dikenal seperti saat ini. Rasanya hatiku sangat bahagia dan tidak bisa aku ungkapkan. Pokoknya aku seneng banget lah.
“Ditambah lagi prestasimu dalam musik udah banyak banget membuahkan ratusan piala,” tambahnya.
“Aku cuman kembangin aja yang aku punya,” jawabku singkat, lalu tersenyum lagi. Selalu tersenyum karena itu harus. Kamera-kamera itu terus menyorot diriku dan siap untuk mengambil gambarku setiap saat. That’s why aku mestinya harus tampil cantik terus.
“Ah, pasti ada rahasia lain deh,” ia berusaha menggali lebih dalam mengenai diriku, seperti yang aku tahu tentang pekerjaan para wartawan sewaktu aku mempelajari pelajaran Bahasa Indonesia semasih SMA dulu.
Aku menggelengkan kepalaku. “Jangan buang waktu untuk hal yang sia-sia,” kataku dengan raut wajah yang meyakinkan, “tapi gunakan setiap kesempatan yang ada untuk mencapai cita-cita. Itu rahasianya.” Ah, aku bangga sekali saat mengatakannya. Seperti seorang yang bijaksana rasanya. Haha. Makasih Pah, udah sering banget ngomongin ini sampe aku bosen, tapi ternyata berguna banget untuk aku.
Well, ya dalam hal musik aku selalu dibanggakan. Hampir tidak ada orang yang tidak mengenalku tanpa identitas musik. Seolah musik sudah melekat di dalam diriku. Mungkin juga, karena namaku Tiffany Harmony, oke, Harmony, pasti kebanyakan orang juga tahu maksudnya, dan itu mempengaruhi mereka untuk cepat dan dengan mudah mengenali siapa diriku.
Aku memang bangga dan senang karena aku mendapatkan prestasi ini. Tapi tidak dengan bidang akademikku di kampus. It’s so terrible and horrible, keluhku dalam hati. Aku tidak mengerti mengapa prestasiku benar-benar tidak seimbang.
Di satu sisi, musik tentu saja, orang tuaku seolah selalu menyeru-nyerukannya kepada setiap orang yang ditemuinya. Tapi di sisi lain, di bidang akademik, mereka seolah akan menjadi seperti anjing yang berusaha untuk bersembunyi tapi hanya di bagian kepalanya. Tentu saja. Aku dikenal oleh banyak orang dan aku yakin sebentar lagi aku akan semakin dikenal. Aku nggak bermaksud untuk nyombongin diri lho. Dan pada akhirnya mereka akan berkata, Setiap orang punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tapi sebenarnya hal ini membuatku sangat sedih. Apa yang bisa kulakukan dengan keburukanku yang sepertinya merajalela dalam nilai-nilai akademikku?
“Tiffy, kamu dipanggil tuh sama Bu Rini,” Bonita, teman sekelasku memberitahukan ini padaku saat kami berpapasan di kantin.
“Thanks,” sahutku singkat Bu Rini, wali dosenku, pasti ia akan mengingatkanku tentang nilaiku. Aku tahu betul itu.
Di tengah kerumunan mahasiswa yang sedang mengantri untuk membayar uang kuliah di depan ruang biro keuangan di lantai satu, aku menerobos untuk mencapai tangga. Aku mencoba berjalan perlahan menaiki tangga menuju lantai dua dimana ruang dosen berada. Huft, tapi tetap saja aku akan sampai ke tempat Bu Rini, karena memang itu tujuanku. Dia pasti akan menambah daftar nilai burukku sekaligus menambah beban di pikiranku.
“Tiffy,”
“Iya Bu. Saya tahu pasti ada nilai jelek lagi ya ibu mau beri tahu ke saya. Iya kan?” aku menebak. Aku duduk di sebuah kursi yang ada di depan mejanya.
Bu Rini menggelengkan kepalanya. “Bukan, bukan itu,” tangan kanannnya ia ulurkan kepadaku. “Tapi ini.” Sebuah kartu nama.
“Kartu nama?” aku mengambilnya dari tangan Bu Rini. “Untuk?”
“Gini,” ia memulai. Dan tampaknya ia begitu bersemangat. “Ini solusi buat kamu supaya nilai akademikmu bisa naik. Mumpung ini masih semester satu dan belum ujian. Dia─”
“Bu Rini, aku nggak yakin dia bisa bantu aku,” aku menyela kalimat Bu Rini. “Yang kemarin aja Ibu rekomendasiin ke aku malah jadinya berantakan. Bapak itu malah marah-marah gara-gara aku lama banget ngertinya.”
Bu Rini tertawa. Ia adalah orang yang selalu mendukungku. Mungkin dia satu-satunya orang yang mendukungku dengan tulus, walau nilaiku terhitung buruk. Ralat. Sangat buruk.
“Jangan gitu dong,” katanya. “Kamu harus coba sekali lagi. Aku ngerasa yakin kalo kamu pasti berhasil kali ini.”
Aku tersenyum ragu. “Aku,” ragu untuk melakukannya, kataku dalam hati. Aku sepertinya terlalu lemah dalam teori, “enggak yakin, Bu.”
“Udah lah, coba dulu. Kalo kamu ngerasa nggak mau ya udah. Bilang aja kamu nggak mau lanjutin,” ia meyakinkanku.
“Bu─,”
“Sst,” ia memutus perkataanku. “Cepet keluar. Temui dia nanti sore. Aku udah bilang ke dia.”
Aku memanyunkan bibirku. “Iya iya, Bu,” aku beranjak dari kursi dan keluar dari ruangannya.
Kupandangi kartu nama itu saat aku melangkah keluar. Nama yang tertera disitu, Phillip Montgomery. Aku berhenti di depan ruang dosen dan berpikir sejenak bahwa nama itu begitu...bule. Kan memang iya. Yang kutahu nama sejenis ini hanya dimiliki oleh orang bule atau keturunan lah paling tidak. Dan oh tidak, lebih buruknya kalau ternyata dia adalah orang tua. No, I’m over.
Enggak lah. Aku nggak mau mikir gitu dulu. Aku mau optimis, aku mengepalkan tanganku di depan dada. Kali ini aku ingin maju. Aku ingin menyeimbangkan prestasiku. Mungkin aku sudah membanggakan orang tuaku hanya dengan prestasi musikku. Tapi aku ingin membuat mereka lebih bangga lagi untuk tidak pernah membelaku dengan berkata bahwa setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tidak. Yang akan kubuat tidak seimbang adalah kelebihan dan kekuranganku. Aku mau kelebihanku yang diperbanyak.
0 Response to "Imbalance to Perfectly Balance (part 1)"
Posting Komentar