Halaman

Imbalance to Perfectly Balance (part 6)

Di dalam rumah Phillip ada bau yang wangi sekali tercium oleh hidungku. Ini bau makanan. Hmmmm, kayaknya ini bau masakan yang enak banget deh, aku merasa hidungku seperti mengendus layaknya anjing.
“Mamaku masak sup kesukaanku,” Phillip memberitahuku. Sepertinya dia tahu bahwa aku menyukai bau ini.
“Oh,” aku mengangguk-angguk sambil masih menikmati bau yang lezat ini.
“Phillip,” terdengar suara ramah tapi terdengar dengan nyaring dari kejauhan.
Aku dan Phillip menoleh ke arah suara itu. Dan muncullah seorang wanita yang mungkin berumur lima puluh tahun, sambil membawa sebuah sendok sayur di tangan kanannya, sementara tangan kirinya berada di bawah sendok itu, menjaga agar tidak ada tetesan yang jatuh ke lantai.
“Oh, ada temenmu disini ternyata,” wanita yang kuduga adalah mama Phillip itu tersenyum padaku saat ia sudah berada di sebelah anaknya.
Aku membalas senyumannya.
“Kalian mau belajar ya?” tanyanya.
“Iya, Ma,” jawab Phillip. Aku juga mengangguk.
“Kalo gitu, mending kalian isi perut kalian, supaya nanti kalo belajar, kalian jadi tambah semangat,” celetuknya.
Phillip menoleh padaku. “Tergantung dia, Ma,” ujarnya.
Ah, Phillip. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Kalau aku menjawab aku mau, sepertinya terkesan kalau aku terlalu tidak tahu aturan. Baru kenal langsung berani makan di rumahnya. Tapi kalau aku tidak menerimanya, aku mungkin akan mencegah Phillip untuk makan. Masalahnya aku tidak tahu apakah Phillip sudah makan atau belum. Ah, aku bingung.
“Nggak usah pikir lama-lama lah,” Mama Phillip membuyarkan pikiranku. “Ayo sekarang ikut aku ya.” Ia menggandeng tanganku, dan aku mengikutinya dari belakang.
Ruang makan di rumah ini sangat elegan. Sebuah lampu yang terlihat mahal dan yang sering kulihat di film-film ada disini. Tergantung tepat di atas meja makan. Wow, ini benar-benar luar biasa. Dan ini membuatku tersenyum sendiri.
Di meja makan yang sudah penuh dengan berbagai macam makanan. Dan kulihat seseorang yang kutemui pertama kali di rumah ini duduk di kursi. “Hai, Tiffany,” sapanya.
Good evening Mr. Montgomery,” balasku sambil tersenyum.
“Duduk dimana aja, yang penting kamu bisa ngerasa nyaman,” kata Bu Montgomery. Ia melepaskan celemeknya dan menggantungnya di suatu gantungan yang ada di sudut ruangan ini. Lalu ia duduk di sebelah suaminya.
Dan Phillip menarik salah satu kursi dan menyuruhku duduk disitu.
“Makasi ya,” kataku lalu duduk. Dan dia duduk di sebelahku.
“Tiffany, apakah kamu mau berdoa?”
Darling, you don’t ask,” Bu Montgomery menyela perkataan suaminya.
“Oh, nggak papa, Tante,” aku menyela perkataannya. Aku tahu apa yang Bu Montgomery maksud saat menyela suaminya yang ingin memintaku untuk berdoa. “Kita seiman kok.”
“Oke deh,” ia tersenyum.
Kami melipat tangan dan menutup mata kami. “Tuhan, terima kasih untuk kebaikanMu dan berkatMu yang melimpah. Kami bersyukur kami bisa menikmati makanan yang sudah tersedia disini. Kami percaya apa yang kami makan menyehatkan tubuh kami. Dan secara pribadi aku berdoa Tuhan, berkati keluarga Montgomery. Kami percaya hidup mereka tidak akan pernah berkekurangan. Di dalam namaMu Tuhan, kami berdoa. Amin,” aku menyelesaikan doaku. Dan kami membuka mata.
“Phillip, ambilkan Tiffany makanan,” pinta Bu Montgomery saat ia sendiri sedang mengambilkan makanan untuk suaminya.
“Oh, nggak usah,” aku menolak. “Jangan terlalu repot. Nggak usah, Phill.”
Phillip mengangguk. “Silakan,” ia memberikan kepadaku piring yang tadinya ia ambilkan untukku.
Kami pun makan bersama. Kami bercerita mengenai banyak hal. Pak Montgomery juga menceritakan tentang pengalaman lucunya bersama Phillip sewaktu ia masih kecil dan juga bagaimana ia bertemu dengan istrinya. Aku merasakan keceriaan yang luar biasa di keluarga ini. Rasanya seperti aku sudah lama mengenal mereka. Rasanya nyaman. Mereka sangat menyenangkan. Bahkan aku merasa, ketika mereka mengobrol satu sama lain, mereka tampak seperti teman.
“Ya, aku pernah ngalamin itu juga, Bu,” aku menyahut cerita Bu Montgomery tentang pengalamannya yang memalukan di mall. “Kalo Ibu kejebak di kamar mandi, aku kejebak di lift waktu umurku masih lima ato enam tahun gitu. Nggak ngerti kalo ada tombol otomatis untuk buka pintu. Aku nangis di dalem terus pasrah. Eh pas pintunya kebuka, aku udah di lantai paling bawah.” Mereka tertawa terbahak-bahak mendengar ceritaku.
Dan setelah kami menyelesaikan makan malam kami, aku dan Phillip menuju ruang keluarga. Kali ini, dia mengajakku untuk belajar di tempat yang lebih nyaman daripada di ruang tamu. Sementara itu Bapak dan Ibu Montgomery kembali ke lantai atas untuk melakukan aktivitas mereka. Mungkin menonton TV, menyelesaikan pekerjaan kantor atau apapun lah.
Sekarang sudah jam 7 malam. Itu artinya aku hanya mempunyai dua jam untuk belajar. Ya, memang aku tidak boleh untuk tidak kembali ke rumah lebih dari jam sepuluh. Secara aku ini kan cewek.
Selama dua jam menjelang, Phillip mengajariku berbagai trik untuk mengerti setiap bab yang kupelajari. Untuk kedua kalinya aku mengaku aku mengagumi caranya untuk membuat gadis yang tidak baik dalam mengingat teori, bisa mengingat dengan mudahnya. Aku tidak tahu akan jadi berapa kali aku akan mengaguminya. Itu bagus banget lah pokoknya buat aku. Dia benar-benar bawa pengaruh yang baik bagiku? Atau apakah kepintarannya akan ditransfer kepadaku makin hari? Haha. Aku harap begitu.
“Ah, akhirnya selesai,” aku menutup bukuku. Lalu aku menyandarkan tubuhku di sofa.
“Aku ngerasa kalo kamu tuh makin lama makin cepet ya ngertinya?” ujar Phillip.
Aku tertawa kecil. “Itu sih gara-gara kamu yang ngajarin, Phil,” sahutku.
“Emang kamu ngerasa gitu?”
Aku mengangguk. “Iya,” jawabku. “Aku nih jujur lho.”
Dia tersenyum lebar. “Ya udah. Ayo aku anter kamu pulang,” katanya.
“Yuk,” aku beranjak.

Satu bulan berlalu. Phillip selalu menjemputku untuk belajar di rumahnya setiap jam lima sore. Bu Rini juga selalu bertanya padaku apa perkembangan yang kubuat selama aku belajar dengan orang pilihannya. Dan dia senang dengan setiap jawaban yang kuberikan padanya. Dia selalu tertawa puas ketika aku bercerita dengannya di ruangannya. Tentu saja, aku menyelesaikan mata kuliah satu semester hanya dalam satu bulan. Memang ini semua berkat Phillip.
“Dan juga berkatMu Tuhan,” mataku menerawang ke langit-langit kamarku saat aku berbaring di ranjangku sebelum tidur. “Terima kasih.”

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "Imbalance to Perfectly Balance (part 6)"

Banner Exchange

Neng Hepi Blog, Banner