Halaman

Colors Made It (Final)


Segala persiapan sudah diatur. Aku, Patrice dan mami menghadiri acara wisuda itu. Setelah itu, kami merayakannya bertiga di sebuah restoran di dekat sana dan bersenda gurau. Hari itu aku merasakan sukacita yang luar biasa. Tidak bisa kujelaskan bagaimana rasanya.
Malam pun tiba. Pukul 7.00 WIB saat acara perayaan wisuda dimulai. Aku bersama dengan teman-teman satu angkatan saling memberikan selamat dan mengambil foto bersama. Kami makan dan bersenda gurau disana. Patrice dan beberapa teman yang ia ajak pun ikut bersukaria merayakan wisuda angkatan kami.
Satu jam sudah kuhabiskan untuk bersenang-senang dengan setiap orang disana. Rasanya pegal sekali tumitku. Sepatu hak tinggi memang selalu menyiksa walaupun aku menyukainya. Kulihat ke sekelilingku untuk mencari tempat duduk yang kosong. Hanya di ujung kolam renang yang tidak diduduki.
Aku berjalan kesana dan mengistirahatkan tubuhku. Kuselonjorkan kakiku dan aku menutup mataku. Udara malam ini tidak terlalu dingin, jadi tidak jadi masalah aku berdiam di bawah langit terbuka dengan gaun biru muda pemberian Patrice ini.
“Seharusnya sepatu hak tinggi begini nggak boleh dipake,” suara seseorang tiba-tiba mengagetkanku dan segera membuatku membuka mata. Aku berpaling dan melihat Calvin duduk di sampingku. “Kok kamu─”
“Nggak di Australia?” ia menggeleng. “Ada satu surat nyampe di rumahku dan bilang pesawatku delay untuk beberapa minggu. Aneh. Aku nggak pernah ngalamin tuh pesawat delay beberapa minggu.
Aku terkejut. Bukannya aku iseng ngomongin itu kemarin siang ke Patrice? aku berpikir dalam hati. Kenapa omonganku jadi kenyataan? Wah, aku harus ati-ati kalau ngomong nih jadinya.
“Kenapa? Kok bengong?” tanyanya.
Aku tidak menjawabnya. Aku melihat warna baju yang ia pakai. Persis seperti dugaanku, dia memakai warna yang sama denganku.
“Kamu mau ngomong kalau kamu suka sama aku ya?” aku bertanya tanpa basa-basi.
Calvin terdiam sejenak. “Kok kamu tau?” tanyanya. “Memang aku suka kamu,”
Mendengarnya, hatiku menjadi berbunga-bunga. Mungkin sekarangpun pipiku sudah berubah menjadi merah merona. Aku berusaha menahan untuk tersenyum, tapi aku gagal. Aku pun berpaling ke arah lain untuk menutupinya.
“aku sayang kamu dan,” lanjutnya, “aku cinta kamu.” Ia beranjak dari tempat duduknya dan berlutut di depanku.
Aku menyadarinya dan kemudian berpaling kepadanya.
“Aku tahu dan yakin pasti kamu itu memang wanita yang tepat yang Tuhan kasi buat aku,” ia berkata dengan penuh keteguhan, seperti tidak ada keraguan dalam nada suaranya.
Aku tersenyum. “Aku juga yakin, walaupun baru kemarin disadarin Patrice, kalau kamu itu memang jodoh yang Tuhan kasi buat aku,” ungkapku.
“Baguslah kalau gitu,” katanya. Ia merogoh kantong celananya dan mengambil sebuah kotak hati berwarna putih dengan pita biru di sekelilingnya. “Aku udah beli ini lama sebelum kita ketemu secara nyata. Sebenernya aku pernah mimpi tentang kamu dua kali sebelum kita ketemu dan berkali-kali mimpi kamu habis kita ketemu.” Ia membuka kotak itu dan mengambil sebuah cincin yang permatanya membentuk inisial namaku. M.
“Kok bisa tepat inisialnya namaku yang kamu pilih?” aku benar-benar tidak menyangka kejadian yang lucu tapi menganggumkan ini terjadi di dunia nyata.
“Dalam mimpiku aku pakein cincin ini di jari seorang wanita sebelum kita ketemu,” jawabnya. “dan setelah kita ketemu aku mimpi─”
“Aku dateng ke kamu pake baju pengantin putih ada ikat pinggang pita warna biru,”
“Gimana kamu bisa tau─ah, Patrice kan?”
Aku mengangguk. “Jangan salahin dia ya. Dia juga bermaksud baik,” aku memohon.
Ia tersenyum. “Kenapa aku harus nyalahin orang yang bisa nyadarin kamu untuk ngerti kalau aku itu jodohmu?” ia menggenggam tanganku.
“Makasih banyak,” kataku.
Calvin masih berlutut di hadapanku. Ia memasangkan cincin itu di jari manisku. “Jadi pendamping hidupku ya,” ia memintaku tanpa menunggu persetujuan dariku. “Ikut aku ke Australia.”
“Kamu tuh nggak tanya dulu sama aku kayak di film-film gitu yang bilang ‘Maukah kamu menikah denganku?’” aku tertawa. “Kamu tuh nggak romantis deh. Nggak tanya aku juga apa aku mau ke Australia? Aku masih mau ngelakuin banyak hal disini lho.”
Ia tersenyum lebar. Semakin lebar. “Karena aku tahu jawabannya adalah ya,” katanya penuh keyakinan.
Sorak-sorai dan tepuk tangan yang keras terdengar dari sisi kolam yang tidak jauh dari tempat kami berada. Entah mengapa mereka melakukannya. Padahal jarak kami tidak terlalu dekat dengan  mereka untuk bisa didengar.
“Kalian itu pasangan yang romantis banget,” Patrice berjalan mendekati kami.
Aku tidak menghiraukan pujiannya tapi mengalihkan pembicaraan. “Mereka kok tepuk tangan?” tanyaku bingung.
Tidak langsung menjawab, Patrice justru tertawa. “Nggak sadar kalau sebelah kalian itu microphone?” ia menunjuk ke sebelah kananku. “Itu kan tempat untuk band yang bakalan manggung bentar lagi. Lengkap lagi peralatan musiknya. Kalian sih merasa dunia milik berdua, jadi nggak ngeliat barang segede itu kan?”
Aku dan Calvin langsung saja menoleh ke arah yang ia tunjuk. Ya, ada stand microphone lengkap sama microphone yang nyala dan aku nggak sadar! Gawat! Aku menempelkan telapak tanganku di dahi.
“Tenang aja, kak, mereka nggak bakalan nglakuin apa-apa, paling cuman nyorakin kayak tadi aja,” Patrice menggoda kami.
“Tapi mereka denger semuanya,” aku berbisik. Aku menghela nafas dalam-dalam dan bersandar di bangku yang kududuki itu.
Calvin tidak memberi komentar apapun tentang hal ini. Ia berdiri dan mengambil microphone itu. “Mohon perhatian semuanya,” ia menarik perhatian setiap orang yang hadir disana. “Sepertinya kalian udah denger omongan kami tadi kan? Jadi aku nggak perlu jelasin banyak. Aku cuman mau minta kalian untuk bujuk dia supaya mau pergi sama aku ke Australia.” Dia tertawa kecil.
Aku tersenyum padanya lalu berdiri di sebelahnya. Kujauhkan microphone yang ia genggam itu ke bawah. “Masih ada mamiku, Calvin. Aku nggak bisa ninggalin mamiku,” aku mengingatkannya.
Millie, aku sudah bekerja selama beberapa tahun dan aku yakin aku sudah memiliki aset yang cukup untuk membiayai dua orang lagi selain diriku di Australia nanti,”
Ia membuka pikiran dan hatiku. Aku memang belum begitu mengenal siapa dia, tapi aku merasa seperti ia sudah mengenal aku dengan baik. Aku memang ingin pergi bersamanya, tapi juga dengan mami. Dan Calvin, dia seperti mendengar kata hatiku. Dia membuatku merasa yakin untuk mengikutinya kemanapun dia pergi. Tuhan, aku nggak perlu tanda apapun lagi untuk bikin aku yakin kalau dia memang jodoh yang dariMu.
Aku mengambil microphone itu dari tangannya. “Temen-temen, aku nggak perlu dibujuk kok. Aku memang bakalan pergi sama Calvin. Anyway, thank you so much udah dengerin obrolan kami tadi,” aku tertawa kecil sambil memandang kerumunan orang banyak itu dan kemudian memandang Patrice. Aku memeluknya.
“Kak Millie,” ia memelukku dengan erat. “Aku pasti bakalan kangen sama kamu.”
“Aku juga, adik angkat,” aku membelai punggungnya. Aku melepaskan pelukanku dan berpaling pada Calvin.
Ia menggenggam kedua tanganku dan menatapku dengan pandangan yang dalam sekali. “Sebenernya, kalaupun kamu kepingin tetep di Indonesia, aku juga bakalan tinggal,” katanya. “Aku bisa bilang sama atasanku terus─”
“Aku ikut, Calvin,” aku menyela. “Wherever you go, I’ll go with you.”
Ia pun memelukku dengan erat. Karena itu, sorak-sorai dan tepuk tangan yang meriah dari semua orang disana terdengar lagi.

Kehidupan di Australia sungguh menyenangkan. Kami tinggal di sebuah apartemen terpisah di Queensland. Calvin bekerja dengan sangat baik dan ia menjadi lebih sukses dari sebelumnya. Aku juga. Aku mendapatkan pekerjaanku sendiri yang sesuai dengan kemampuanku. Aku bekerja di sebuah toko pakaian yang kubangun sendiri dan kini sudah menjadi semakin besar. Tiga tahun kujalani dan sudah ada dua cabang lainnya di Adelaide dan Sydney. Ini mengagumkan untuk bisa hidup di negara lain dengan baik.
Patrice, selama tiga tahun ini kami saling berkomunikasi lewat Skype. Terakhir kali, dia bercerita bahwa dia sudah bekerja di perusahaan papanya sebagai staff marketing. Dia memang gadis yang hebat. Dia tidak mengandalkan posisi papanya yang tinggi untuk mendapatkan jabatannya sekarang. Dia benar-benar bekerja keras dan mendapatkan hasil yang baik walaupun masih satu tahun dia ada di perusahaan itu. Aku senang sekali mendengarnya.
Hari ini, Minggu, 17 Juni 2012, adalah hari pernikahanku dengan Calvin. Hari yang aku tunggu-tunggu sejak lama. Hari dimana dua hati menjadi satu. Aku merasa sangat bahagia. Sekarang kami menjadi keluarga yang bahagia. Selama tiga tahun ini, Calvin membuktikan cintanya padaku. Dia sangat mengerti dan menjagaku dengan sangat baik. Begitu juga sebaliknya, setiap aktivitas dan kebiasaannya selalu kuperhatikan di sela-sela kesibukanku. Itulah mengapa, hari ini kuputuskan untuk menjadi pendamping hidupnya.
Kami menikah di Indonesia seperti kesepakatan yang kami buat bersama. Patrice tentu saja datang. Tapi dia tidak sendirian.
“Billy,” ia memperkenalkan diri.
“Halo, Billy,” sapaku. “Gimana sama Patrice? Dia cewek ehem maaf, wanita yang baik kan?”
Billy mengangguk. “Nggak pernah aku ketemu sama cewek yang nggak pernah putus asa kayak dia ini. Dia juga selalu semangat kapanpun,” ungkapnya. “Aku seneng banget bisa ketemu dia.”
“Ini semua juga peran kak Calvin,”
“Aku?” Calvin menunjuk dirinya.
Patrice mengangguk. “Mungkin aku bakalan jadi bahan tertawaan kalau aku nggak bisa ngatasin demam panggungku dan bakalan jadi cewek manja, nakal, dan selalu sedih,” ujarnya.
Kami semua tertawa.
“Nggak bisa bayangin kamu jadi kayak gitu, Pat,” celetukku.
“Nggak usah dibayangin lah,” Patrice menutup pembicaraan. “Kalau kalian gimana disana? Wah, mesti habis ini, ehem, gitu lah.” Dia tertawa. Dia memang suka sekali menggodaku.
Aku menempelkan telapak tanganku di dahi. “Patrice, Patrice,” aku menggeleng-gelengkan kepala.
“Kalian itu emang pasangan yang nggak biasa. Unik banget,” lanjutnya.
Calvin melingkarkan lengannya di pinggangku. “Iya lah. Calvin dan Millie,” katanya bangga, lalu mencium rambut kepalaku.
Kami bersenang-senang di pesta itu. Canda dan tawa mengisi seluruh ruangan. Hari ini, adalah awal dari masa depanku bersama Calvin. Tuhan, sertai rumah tangga kami sampai akhir ya, aku berdoa dalam hati sambil mendengarkan cerita Patrice.


~The End~

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Colors Made It (Chapter 2)


Satu tahun berlalu dengan cepat. Aku sebentar lagi akan diwisuda. Kenangan-kenangan yang kualami di kampus ini, terutama dalam UKM Bakti Sosial tidak akan pernah kulupakan. Setiap foto yang diambil dalam setiap acara menjadi sering kulihat semenjak aku menyelesaikan skripsiku dan lulus dengan suma cumlaude. Terkadang aku tersenyum sendiri melihat setiap kejadian yang terekam dalam foto-foto itu. Rasanya menyenangkan sekali waktu itu. Ingin rasanya aku kembali lagi merasakan masa itu.
“Besok diwisuda ya, kak?” Patrice menyenggolku dengan senyuman menggoda.
Patrice. Aku tidak akan pernah melupakannya. Aku akan menjalin persahabatan kami atau aku lebih senang untuk menyebutnya persaudaraan kami dengan erat. Dia adalah gadis terbaik yang pernah ada di hidupku. Adik angkatku.
“Udah tua nih berarti,” ia menggelak tawa.
“Yee, nggak tua juga kali nyebutnya,” aku mencubit kedua sisi pipinya.
“Aww, kak,” ia mengibaskan tanganku. “Sakit tau.” Ia mengerucutkan wajahnya.
Melihatnya aku menggelak tawa. “Eh, kamu juga bakalan ngalamin kayak aku sebentar lagi,” ujarku.
“Dua tahun lagi kak, masih lama,”
Aku menggeleng. “Nggak lama tau,”
“Lama,”
“Nggak,”
“Lama,”
“Ah, nggak enak debat sama kamu,” aku mengakhiri argumen kami dan mengganti topik. “Oh iya, gimana hubunganmu sama cowok yang waktu itu nolongin kamu untuk nggak demam panggung sampe sekarang? Hayo, pasti udah pacaran kan? Mulai aku skripsi kan aku nggak tau kondisimu. Ayo cerita tentang kamu sama siapa tuh namanya? Calvin?” Aku menggelitiknya.
“Enggak ah,” ia menggeliat. “Kak Calvin tuh cuman aku anggap kakakku kali. Kita emang deket, tapi bukan pacaran.”
“Masa?” aku menggodanya lagi.
“Justru aku tuh pengen tanya kamu sesuatu kak,” ungkapnya.
Aku mengerutkan dahiku. “Tanya aku?”
Ia mengangguk. Ia mengambil Tablet yang ia beli hasil kerja kerasnya dari dalam tas mini-nya tapi tidak melakukan apapun kecuali menggenggamnya. “Kamu nyadar nggak kak kalau kamu tuh selalu pake baju yang warnanya sama kayak baju yang dipake kak Calvin?” tanyanya seraya seorang wartawan yang menginvestigasi seorang kriminal wanita. Pandangannya terlihat dalam sekali dan tubuhnya condong kepadaku.
“Nggak tuh,” jawabku singkat.
“Coba liat ya, aku tunjukin ke kamu foto-foto kita waktu bakti sosial. Aku punya banyak nih yang ada di Tablet-ku,” ia menggeser-geser icon-icon yang ada gadget itu. “Sebentar..nah ini dia. Liat ya, kalian itu selalu pake warna baju yang sama.” Ia mendekatkan badannya padaku dan menunjukkan foto-foto yang dimaksudkannya tadi.
Aku tercengang melihat setiap foto itu. Beberapa kali aku menggaruk kulit kepalaku karena terasa gatal akibat cuaca panas saat di luar rumah tadi. “Iya ya?” hanya itu yang kuekspresikan.
Setelah seluruh foto sudah ia tunjukkan, ia bertanya padaku, “Aku tanya ya. Pernah nggak kak kamu tuh berdoa untuk selalu pake warna baju yang sama kayak dia?”
Aku menempelkan telapak tangan kananku di dahi. “Gimana bisa aku berdoa gitu sementara aku sendiri nggak deket sama dia?” aku lantas menyangkalnya.
“Yang bener? Aku bener-bener penasaran nih,” ia mendesakku.
Aku berpikir sejenak. Tidak lama aku teringat sesuatu yang bersangkutan dengan hal aneh ini. “Well, sebenernya waktu SMA dulu aku pernah iseng berdoa sama Tuhan kalau aku ketemu sama orang yang selalu pake baju yang warnanya sama kayak aku, itu berarti dia jodohku,” ungkapku. “Dan sebenernya aku tuh udah lupa lho.”
Patrice tiba-tiba saja mengangguk-angguk sambil menyiratkan sebuah senyuman yang memberi makna tertentu padaku.
“Apaan sih?”
Ia tidak bergeming. Senyumannya semakin bertambah lebar saja.
“Patrice Swastika Tirtowadoyo,” kusebutkan namanya dengan lengkap seperti ketika aku merasa kesal padanya, “kenapa kamu senyum-senyum gitu?”
“Kak Calvin itu jodohmu,” katanya tanpa basa-basi.
Aku tersentak. Hatiku tiba-tiba saja berdebar kencang. Tapi aku saja sangat jarang berbicara dengannya, walaupun dia selalu membantu acara bakti sosial kami. Dalam hatiku aku merasa bahwa ini adalah hal yang mustahil dan aneh.
“Sayangnya dia besok udah nggak di Indonesia,” nada suara Patrice berubah menjadi kecewa.
Mendengarnya, aku juga merasa sedikit kecewa jadinya. Tapi aku memutuskan untuk menghiraukannya.
“Dia mau dipindahin kerjanya di Australia,” jelasnya. “Kamu sih kak nggak dari dulu aja deket sama dianya.”
“Kok kamu nyalahin aku gitu sih?”
“Soalnya tuh kak Calvin juga beberapa kali tanya tentang kamu,” lalu ia segera menutup mulutnya seperti baru saja membuka rahasia dengan tidak sengaja.
“Tanya tentang aku?”
“Aku harusnya nggak ngomongin ini,” gumamnya.
“Pat?” aku menepuk bahunya. Kutatap dia dengan pandangan tajam.
Ia menghela nafas. “Ya udah aku beritau aja lah,” katanya.
“Ada rahasia?”
Ia tidak menghiraukan pertanyaanku tapi langsung menceritakanku tentang Calvin. “Dia beberapa kali mimpi tentang kamu jalan ke arah dia pake baju pengantin putih ada ikat pinggang pita biru. Makanya dia tanya siapa namamu sama gimana kebiasaanmu, pokoknya tentang kamu lah. Dan, bukan beberapa kali, tapi sering,” ungkapnya dengan sangat jelas.
Hatiku merasa semakin berdebar-debar. Tapi kemudian rasa kecewa itu datang kembali ketika aku mengingat perkataan Patrice yang mengatakan bahwa Calvin sudah berangkat ke Australia. Apakah aku sudah membuang kesempatan? Tidak. Aku seharusnya menghiraukannya lebih lagi saat ia bicara denganku. Bagaimana bisa aku berpikir bahwa ia menyukai Patrice kalau dalam percakapan kami yang sangat sedikit itu tidak membahas sedikitpun tentang Patrice tapi aktivitasku? Seharusnya aku sudah menyadarinya waktu itu. Seharusnya aku lebih peka lagi kalau Calvin memperhatikanku. Kenapa aku─ah, sudahlah.
“Kak, kamu sedih ya?” Patrice menyadarkanku dari lamunan. “Maafin aku. Aku juga nggak cerita ke kamu.”
Aku menggeleng. “Nggak lah. Kamu nggak salah. Semua bakalah baik-baik aja. Kalaupun toh dia itu jodohku, gimanapun caranya aku bisa ketemu dia lagi. Siapa yang tahu pesawatnya harus delay beberapa minggu? Mungkin aja sih,” aku meyakinkan Patrice sambil menghibur diriku sendiri. “Besok aku wisuda, jadi aku harus seneng. Lagipula IP-ku kan empat.” Aku tersenyum padanya.
“Kak Millie,” Patrice memelukku. “Aku berdoa yang terbaik untuk kamu. Aku sayang sama kamu kak.”
Aku membelai rambutnya. “Makasi ya adik angkat,” kami tertawa dengan sebutan itu untuknya. “Kamu pokoknya harus jadi special guest di acara wisuda sama perayaan wisuda malemnya ya.”
“Pasti,”

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Colors Made It (Chapter 1)

Ikatan tali baju yang ada di pinggangku ini untuk kesekian kalinya lepas. Aku benar-benar merasa kesal karenanya. Baju ini baru kubeli beberapa hari lalu tapi sudah membuatku penuh emosi siang ini. Sudah cukup tiga mata kuliah hari ini membuat pikiranku suntuk. Tali baju ini, aku harus membereskannya!
Saat aku berdiri berjalan menuju koperasi untuk membeli peniti, sebuah brosur tiba-tiba menutupi wajahku dan menghentikan langkahku. Dengan perasaan gusar aku segera mengibaskannya dari wajahku. Tapi rupanya selotip yang ada di brosur itu membuatnya menempel di tangan  kananku.
“Maaf ya, kak, maaf,” seorang gadis muda, yang terlihat lebih muda dariku, mendatangiku dengan pandangan bersalah. “Maaf, karena saya teledor jadinya brosur itu kena wajah kakak. Maaf ya.”
Mendengarnya berulang kali mengucapkan kata maaf, aku berusaha meredam emosiku dan meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja. “Tenang aja,” aku melepaskan brosur itu dari tanganku dan memberikannya pada gadis itu. “Lain kali hati-hati ya.” Kulemparkan senyum padanya.
Ia mengangguk. “Terima kasih,” katanya.
“Sama-sama,” aku mengangguk juga.
Saat aku akan berpaling pergi, gadis itu menyentuh bahuku, dan membuatku berpaling lagi padanya.
“Ada apa?” tanyaku.
“Ini,” ia memberikan brosur itu kembali padaku.
“Kok dikembaliin ke aku?” aku bertanya lagi sebelum menerima brosur itu kembali.
“Kami mengadakan UKM Bakti Sosial mulai semester ini,” katanya, “dan mungkin kalau kakak tertarik, bisa hubungi saya.” Ia menunjuk sebuah tulisan ‘Patrice’ di brosur itu.
Aku tersenyum. “Aku pikirin dulu ya, Patrice,” aku menolaknya dengan halus, seperti yang biasanya mami ajarkan padaku kalau aku tidak tertarik pada sesuatu.
“Iya kak, saya tunggu konfirmasinya,” katanya dengan baik padaku seolah tidak peduli bahwa aku telah menolaknya barusan.
Kuanggukkan kepalaku padanya. Belum sempat aku berpaling darinya, ia menyentuh lenganku. Apa lagi? pikirku.
“Ini peniti buat tali baju kakak,” ia mengulurkan tangannya yang terbuka dengan sebuah peniti di atasnya.
Aku terbelalak dan seorang nafasku berhenti sejenak. Aku tidak tahu bagaimana ia bisa tahu bahwa aku membutuhkan peniti itu. Tapi aku tidak berpikir panjang dan langsung mengambilnya dari tangannya. “Makasi ya, Patrice,” kataku.
“Sama-sama,” balasnya. Aku berpaling dan kali ini benar-benar berjalan pergi darinya.
Sejak pertemuan kami yang pertama itu, kami semakin sering bertemu karena pada akhirnya aku memutuskan untuk mengikuti UKM Bakti Sosial itu. Entah bagaimana pikiranku bisa berubah, tapi yang aku tahu pasti, Patrice bisa mengubah pendirianku. Dia memang benar-benar anak yang berbeda.
Dua bulan berlalu sejak UKM itu berdiri. Kami sudah melakukan beberapa bakti sosial ke panti asuhan, panti jompo, dan bahkan kepada anak-anak jalanan. Aku merasa jiwaku sudah menyatu untuk kegiatan sosial semacam ini. Aku, yang orang sering panggil si cuek bebek, melakukan hal yang cinderella lakukan pada semua orang dengan kebaikannya yang tulus. Hal ini kadang-kadang membuatku tertawa sendiri.
“Kak Millie, kamu besok bisa ikut ke acara pembukaan toko bangunan yang besar itu kan? Toko bangunan apa tuh? Budiono Jaya?” Patrice datang dengan tiba-tiba saat aku sedang membereskan kertas-kertas yang berserakan di lantai dan membungkusnya ke sebuah plastik hitam besar.
Aku mendongak dan memandangnya sejenak. “Hei kamu, bantuin dulu aku beresin ini nih, baru aku jawab,” kataku sambil tertawa sendiri karena tidak tahan melihat wajahnya yang seolah ia kerucutkan menjadi satu ke tengah dan membuatnya terlihat seperti alien manis setelah mendengar perintahku.
Dengan terpaksa ia jongkok dan membantuku membereskan sisa-sisa kertas itu.
“Nggak usah cemberut gitu deh,” kataku sambil mengikat plastik itu dengan tali rafia yang cukup panjang. “Buang ini kesana. Besok aku ikut. Naik motor sendiri.”
Secepat kilat sebuah senyum yang lebar terlihat di wajahnya. Ia menyambar plastik itu dan memelintirkan ujungnya di sekitar telapak tangannya. “Oke deh,” ia berpaling dan pergi membuang sampah itu. Lucu, kataku dalam hati.
Aku berdiri dan bersiap-siap untuk pulang ke rumah. Hari ini aku sudah merasa capek sekali setelah menyelesaikan acara sosial yang kampus selenggarakan.



Tok! Tok! Tok!

Suara pintu rumahku terdengar keras sekali diketuk. Aku yang baru saja meninggalkan kamarku segera berlari untuk membukanya. Aku penasaran sekali kenapa ada orang yang mengetuk pintu sekeras itu pagi-pagi. Nggak sopan, aku mengeluh dalam hati.

“Patrice?” aku mengerutkan dahiku. Rasa penasaranku tadi tiba-tiba saja sirna setelah melihatnya. Itu memang kebiasaan Patrice. Selalu bersemangat. “Saking semangatnya, kamu tuh nggak sadar udah ngetuk pintu rumah orang terlalu kenceng?”
Ia meringis seolah tak berdosa.
“Untung mamiku udah berangkat kerja,” aku mengomelinya, “kalau enggak, kamu yang kena semprot nanti.”
Ia meringis lagi. “Soalnya kak,” gaya ‘pidato’-nya, dengan gerakan kedua tangannya yang lembut ia perlihatkan, “si Doni tuh tiba-tiba aja harus pergi ke Flores untuk nengokin kakeknya yang sakit tadi malem, padahal dia kan peran penting juga di acara ini. Satu-satunya cowok di kelompok kita. Kalau dia nggak ada kita bakalan kewalahan. Kita kan nggak bisa ambil cowok dari kelompok lain. Bisa berantakan nanti. Haduh, haduh.” Ia mengelus-elus dadanya sendiri.
Aku hanya tersenyum kecil. “Nggak usah panik dulu, tenang dulu coba,” aku berusaha berkata bijak. Tentu saja aku harus seperti itu karena bagaimanapun ia lebih muda dariku. Sebagai yang lebih dewasa aku harus bertindak bijaksana juga. “Kita pikirin dulu yuk harus gimana. Kalau emang nggak ada cowok lagi ya nggak papa. Aku bisa lakuin lebih kok.”
“Kak? Emang─,” kalimatnya tidak ia selesaikan karena hapenya berdering kencang sekali. “Halo, apa? Eh, nggak denger, keras dikit dong ngomongnya.”
Aku memperhatikannya sementara ia berbicara dengan seseorang jauh disana melalui hapenya. Lucu sekali saat melihatnya. Ia kuanggap seperti adikku sendiri. Lebih tepatnya sebagai pengganti adikku yang mengalami kanker ganas di kepalanya lima tahun lalu. Aku bersyukur bisa bertemu dengannya. Dia benar-benar sosok yang mirip sekali dengan adikku.
“Kak, udah ada cowok yang bisa gantiin Doni lho,” kata Patrice senang seusai ia memasukkan hape touchsreen-nya yang super imut dengan warna orange itu.
“Oh ya?”
Ia mengangguk. “Yuk kita berangkat ke camp!” ajaknya. Ia menggandeng tanganku.
“Eh, eh! Tunggu dulu,” aku menahannya. “Ini lho, aku belum ngunci rumah.”
“Hehe,” ia meringis.
Setelah aku mengunci pintu rumahku dan memastikannya aman, aku berangkat bersama Patrice dengan mobilnya, karena dia memaksaku untuk tidak memakai motor dengan alasan pulang malam. Aku tidak bisa menolaknya. Maka dari itu, aku pasrah saja dengan keputusan adik kecil ini.
 Suasana di camp sudah rapi. Disana banyak kardus-kardus yang berisi hadiah-hadiah yang akan dibagikan dalam lomba-lomba sebagai pemeriah acara pembukaan toko bangunan itu. Beberapa panitia laki-laki memasukkan kardus-kardus itu ke dalam sebuah truk pick-up yang disewa dari paman Patrice.
Setengah jam berlalu dan semuanya beres. Kami semua berangkat dengan alat transportasi kami masing-masing. Aku, Patrice dan seorang teman lagi ada dalam satu mobil.
“Berenti disini aja kak,” Patrice memerintahkan pada Alice yang menyetir mobilnya. “Biar nanti kalau keluar nggak menghalangi yang datang nanti.”
Mobil pun diparkirkan. Kami beranjak keluar dan bergegas menuju ke tempat yang sudah ditentukan bagi panitia untuk berkumpul.
Hadiah-hadiah sudah diturunkan dari atas truk. Aku dan beberapa anak lainnya bekerja sama untuk menata hadiah-hadiah itu di atas sebuah panggung yang ukurannya cukup besar. Sementara itu, Patrice bersiap-siap karena ia yang akan menjadi MC.
Nervous?” tanyaku pada Patrice saat aku tidak sengaja menyentuh telapak tangannya yang dingin.
Ia menggeleng.
“Beneran?”
Ia mengangguk.
“Ih, kenapa nggak jawab pake kata-kata aja sih?” aku merasa agak kesal karenanya.
“Kalau aku ngomong nanti aku tambah grogi, kak,” ia mengungkapkan kebenarannya. Kertas Q-Card yang ia bawa sebagai panduan MC itu ia letakkan di atas sebuah meja dan kemudian pergi mengambil sebotol air mineral dan kembali lagi berdiri di sebelahku. Seolah tidak menghiraukanku ia meneguk setengah air dari dalam botol itu kemudian mencari sebuah kursi yang ada di dekat kami dan duduk.
Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Sepertinya Patrice benar-benar merasa grogi. Keringat dingin tidak berhenti keluar dari dahi dan telapak tangannya. Demam panggung adalah situasi yang aku paling tidak bisa tangani.

Saat aku berjalan mondar-mandir tidak tahu harus kemana mencari bantuan karena semuanya terlihat sibuk, seorang pemuda mendatangi Patrice dan berbicara dengannya. Ia terlihat sangat peduli dan telaten sekali menangani kondisi Patrice. Dari kejauhan aku melihat ada kemajuan. Ia tampak lebih tenang.

Acara dimulai. Patrice naik ke atas panggung dan memimpin acara bersama rekannya Handoyo. Dia sekarang benar-benar terlihat percaya diri. Aku merasa senang sekali, tapi sekaligus merasa sedih karena aku tidak bisa melakukan apapun saat dia membutuhkan seseorang untuk menolongnya waktu itu. Kalau dia benar-benar adikku, itu artinya aku bukan kakak yang baik.

Tiba-tiba saja aku teringat pada pemuda yang sudah membuat Patrice menjadi seperti sediakala. Aku melihat ke sekelilingku dan akhirnya menemukannya sedang berdiri sambil bersandar pada tembok yang menjadi pembatas pagar dalam toko itu. Aku pun berjalan mendekatinya.
“Hai,” aku menyapanya dengan senyumanku.
“Hai,” dia membalasku.
Aku memposisikan diriku untuk berdiri di sampingnya agar tidak menghalangi pandangannya ke arah panggung. “Terima kasih banyak,” kataku.
Dia menoleh padaku. “Untuk?” tanyanya.
“Memulihkan keadaan Patrice,”
“Oh, namanya Patrice?” wajahnya tampak berbinar saat mendengar nama Patrice disebut. “Sebenarnya, aku tidak banyak melakukan apapun untuk membuat dia menjadi percaya diri.”
Aku memicingkan mataku. “Tapi dia jadi ceria lagi dan nggak grogi tuh,” aku menunjuk dengan pandangan mataku yang kulemparkan sejenak ke arah Patrice kemudian kembali lagi padanya.
“Aku cuman bilang ke dia kalau dia itu orang yang luar biasa dan bisa ngelakuin banyak hal, apalagi cuman jadi MC, gitu doang,” ia menjelaskan tapi aku masih tidak mengerti. Bagiku itu bukan kata-kata yang akan menguatkanku kalau aku mengalami demam panggung.
“Walaupun aku nggak ngerti gimana bisa kamu buat dia baik lagi, aku tetep berterima kasih banget sama kamu,” ujarku. “Kamu itu bener-bener jadi obat buat dia. Obat yang instan lebih tepatnya.”
Dia menggeleng. “Istilahmu itu,” ia melanjutkan kalimatnya dengan tawa. Aku pun tertawa sendiri mendengar istilahku itu.
“Mil, bantuin bagiin hadiah yuk,” Gina menepuk bahuku.
“Aku pergi dulu ya,” aku berpamitan padanya.
Acara selesai dengan sangat meriah setelah beberapa jam. Semua hadiah habis ludes diberikan pada masyarakat sekitar yang menghadiri acara ini. Setelah kami membereskan barang-barang, seperti biasa kami selalu mengambil foto seluruh panitia di atas panggung.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Banner Exchange

Neng Hepi Blog, Banner