Colors Made It (Chapter 1)
Ikatan tali baju yang ada di pinggangku ini untuk
kesekian kalinya lepas. Aku benar-benar merasa kesal karenanya. Baju ini baru
kubeli beberapa hari lalu tapi sudah membuatku penuh emosi siang ini. Sudah
cukup tiga mata kuliah hari ini membuat pikiranku suntuk. Tali baju ini, aku
harus membereskannya!
Saat aku berdiri berjalan menuju koperasi untuk
membeli peniti, sebuah brosur tiba-tiba menutupi wajahku dan menghentikan
langkahku. Dengan perasaan gusar aku segera mengibaskannya dari wajahku. Tapi
rupanya selotip yang ada di brosur itu membuatnya menempel di tangan kananku.
“Maaf ya, kak, maaf,” seorang gadis muda, yang
terlihat lebih muda dariku, mendatangiku dengan pandangan bersalah. “Maaf,
karena saya teledor jadinya brosur itu kena wajah kakak. Maaf ya.”
Mendengarnya berulang kali mengucapkan kata maaf,
aku berusaha meredam emosiku dan meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja.
“Tenang aja,” aku melepaskan brosur itu dari tanganku dan memberikannya pada
gadis itu. “Lain kali hati-hati ya.” Kulemparkan senyum padanya.
Ia mengangguk. “Terima kasih,” katanya.
“Sama-sama,” aku mengangguk juga.
Saat aku akan berpaling pergi, gadis itu menyentuh
bahuku, dan membuatku berpaling lagi padanya.
“Ada apa?” tanyaku.
“Ini,” ia memberikan brosur itu kembali padaku.
“Kok dikembaliin ke aku?” aku bertanya lagi sebelum
menerima brosur itu kembali.
“Kami mengadakan UKM Bakti Sosial mulai semester
ini,” katanya, “dan mungkin kalau kakak tertarik, bisa hubungi saya.” Ia
menunjuk sebuah tulisan ‘Patrice’ di brosur itu.
Aku tersenyum. “Aku pikirin dulu ya, Patrice,” aku menolaknya
dengan halus, seperti yang biasanya mami ajarkan padaku kalau aku tidak
tertarik pada sesuatu.
“Iya kak, saya tunggu konfirmasinya,” katanya
dengan baik padaku seolah tidak peduli bahwa aku telah menolaknya barusan.
Kuanggukkan kepalaku padanya. Belum sempat aku
berpaling darinya, ia menyentuh lenganku. Apa lagi? pikirku.
“Ini peniti buat tali baju kakak,” ia mengulurkan
tangannya yang terbuka dengan sebuah peniti di atasnya.
Aku terbelalak
dan seorang nafasku berhenti sejenak. Aku
tidak tahu bagaimana ia bisa tahu bahwa aku membutuhkan peniti itu. Tapi aku
tidak berpikir panjang dan langsung mengambilnya dari tangannya. “Makasi ya,
Patrice,” kataku.
“Sama-sama,” balasnya. Aku berpaling dan kali ini
benar-benar berjalan pergi darinya.
Sejak pertemuan kami yang pertama itu, kami semakin
sering bertemu karena pada akhirnya aku memutuskan untuk mengikuti UKM Bakti
Sosial itu. Entah bagaimana pikiranku bisa berubah, tapi yang aku tahu pasti,
Patrice bisa mengubah pendirianku. Dia memang benar-benar anak yang berbeda.
Dua bulan berlalu sejak UKM itu berdiri. Kami sudah
melakukan beberapa bakti sosial ke panti asuhan, panti jompo, dan bahkan kepada
anak-anak jalanan. Aku merasa jiwaku sudah menyatu untuk kegiatan sosial
semacam ini. Aku, yang orang sering panggil si cuek bebek, melakukan
hal yang cinderella lakukan
pada semua orang dengan
kebaikannya yang tulus. Hal ini kadang-kadang
membuatku tertawa sendiri.
“Kak Millie, kamu besok bisa ikut ke acara
pembukaan toko bangunan yang besar itu kan? Toko bangunan apa tuh? Budiono Jaya?” Patrice datang dengan tiba-tiba saat aku sedang membereskan
kertas-kertas yang berserakan di lantai dan membungkusnya ke sebuah plastik
hitam besar.
Aku mendongak dan memandangnya sejenak. “Hei kamu,
bantuin dulu aku beresin ini nih, baru aku jawab,” kataku sambil tertawa
sendiri karena tidak tahan melihat wajahnya yang seolah ia kerucutkan menjadi
satu ke tengah dan membuatnya terlihat seperti alien manis setelah mendengar
perintahku.
Dengan terpaksa ia jongkok dan membantuku
membereskan sisa-sisa kertas itu.
“Nggak usah cemberut gitu deh,” kataku sambil
mengikat plastik itu dengan tali rafia yang cukup panjang. “Buang ini kesana.
Besok aku ikut. Naik motor sendiri.”
Secepat kilat sebuah senyum yang lebar terlihat di
wajahnya. Ia menyambar plastik itu dan memelintirkan ujungnya di sekitar
telapak tangannya. “Oke deh,” ia berpaling dan pergi membuang sampah itu. Lucu, kataku dalam hati.
Aku berdiri dan bersiap-siap untuk pulang ke rumah.
Hari ini aku sudah merasa capek sekali setelah menyelesaikan acara sosial yang
kampus selenggarakan.
Suasana di camp sudah rapi. Disana banyak
kardus-kardus yang berisi hadiah-hadiah yang akan dibagikan dalam lomba-lomba
sebagai pemeriah acara pembukaan toko bangunan itu. Beberapa panitia laki-laki
memasukkan kardus-kardus itu ke dalam sebuah truk pick-up yang disewa dari paman Patrice.
Tok! Tok! Tok!
Suara pintu rumahku terdengar keras sekali diketuk.
Aku yang baru saja meninggalkan kamarku segera berlari untuk membukanya. Aku
penasaran sekali kenapa ada orang yang mengetuk pintu sekeras itu pagi-pagi. Nggak sopan, aku mengeluh dalam hati.
“Patrice?” aku mengerutkan dahiku. Rasa penasaranku
tadi tiba-tiba saja sirna setelah melihatnya. Itu memang kebiasaan Patrice.
Selalu bersemangat. “Saking semangatnya, kamu tuh nggak sadar udah ngetuk pintu
rumah orang terlalu kenceng?”
Ia meringis seolah tak berdosa.
“Untung mamiku udah berangkat kerja,” aku mengomelinya,
“kalau enggak, kamu yang kena semprot nanti.”
Ia meringis lagi. “Soalnya kak,” gaya ‘pidato’-nya,
dengan gerakan kedua tangannya yang lembut ia perlihatkan, “si Doni tuh
tiba-tiba aja harus pergi ke Flores untuk nengokin kakeknya yang sakit tadi
malem, padahal dia kan peran penting juga di acara ini. Satu-satunya cowok di
kelompok kita. Kalau dia nggak ada kita bakalan kewalahan. Kita kan nggak bisa
ambil cowok dari kelompok lain. Bisa berantakan nanti. Haduh, haduh.” Ia
mengelus-elus dadanya sendiri.
Aku hanya tersenyum kecil. “Nggak usah panik dulu,
tenang dulu coba,” aku berusaha berkata bijak. Tentu saja aku harus seperti itu
karena bagaimanapun ia lebih muda dariku. Sebagai yang lebih dewasa aku harus
bertindak bijaksana juga. “Kita pikirin dulu yuk harus gimana. Kalau emang
nggak ada cowok lagi ya nggak papa. Aku bisa lakuin lebih kok.”
“Kak? Emang─,” kalimatnya tidak ia selesaikan
karena hapenya berdering kencang sekali. “Halo, apa? Eh, nggak denger, keras
dikit dong ngomongnya.”
Aku memperhatikannya sementara ia berbicara dengan
seseorang jauh disana melalui hapenya. Lucu sekali saat melihatnya. Ia kuanggap
seperti adikku sendiri. Lebih tepatnya sebagai pengganti adikku yang mengalami
kanker ganas di kepalanya lima tahun lalu. Aku bersyukur
bisa bertemu dengannya. Dia benar-benar sosok yang mirip sekali dengan adikku.
“Kak, udah ada cowok yang bisa gantiin Doni lho,”
kata Patrice senang seusai ia memasukkan hape touchsreen-nya yang super imut dengan warna orange itu.
“Oh ya?”
Ia mengangguk. “Yuk kita berangkat ke camp!”
ajaknya. Ia menggandeng tanganku.
“Eh, eh! Tunggu dulu,” aku
menahannya. “Ini lho, aku belum ngunci rumah.”
“Hehe,” ia meringis.
Setelah aku mengunci pintu rumahku dan
memastikannya aman, aku berangkat bersama Patrice dengan mobilnya, karena dia
memaksaku untuk tidak memakai motor dengan alasan pulang malam. Aku tidak bisa
menolaknya. Maka dari itu, aku pasrah saja dengan keputusan adik kecil ini.
Setengah jam berlalu dan semuanya beres. Kami semua
berangkat dengan alat transportasi kami masing-masing. Aku, Patrice dan seorang
teman lagi ada dalam satu mobil.
“Berenti disini aja kak,” Patrice memerintahkan pada
Alice yang menyetir mobilnya. “Biar
nanti kalau keluar nggak menghalangi yang datang nanti.”
Mobil pun diparkirkan. Kami beranjak keluar dan
bergegas menuju ke tempat yang sudah ditentukan bagi panitia untuk berkumpul.
Hadiah-hadiah sudah diturunkan dari atas truk. Aku
dan beberapa anak lainnya bekerja sama untuk menata hadiah-hadiah itu di atas sebuah
panggung yang ukurannya cukup besar. Sementara itu, Patrice bersiap-siap karena
ia yang akan menjadi MC.
“Nervous?” tanyaku
pada Patrice saat aku tidak sengaja menyentuh telapak tangannya yang dingin.
Ia menggeleng.
“Beneran?”
Ia mengangguk.
“Ih, kenapa nggak jawab pake kata-kata aja sih?”
aku merasa agak kesal karenanya.
“Kalau aku ngomong nanti aku tambah grogi, kak,” ia
mengungkapkan kebenarannya. Kertas Q-Card yang ia bawa sebagai panduan MC itu
ia letakkan di atas sebuah meja dan kemudian pergi mengambil sebotol air
mineral dan kembali lagi berdiri di sebelahku. Seolah tidak menghiraukanku ia
meneguk setengah air dari dalam botol itu kemudian mencari sebuah kursi yang
ada di dekat kami dan duduk.
Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Sepertinya
Patrice benar-benar merasa grogi. Keringat dingin tidak berhenti keluar dari
dahi dan telapak tangannya. Demam panggung adalah situasi yang aku paling tidak
bisa tangani.
Saat aku berjalan mondar-mandir tidak tahu harus
kemana mencari bantuan karena semuanya terlihat sibuk, seorang pemuda
mendatangi Patrice dan berbicara dengannya. Ia terlihat sangat peduli dan
telaten sekali menangani kondisi Patrice. Dari kejauhan aku melihat ada
kemajuan. Ia tampak lebih tenang.
Acara dimulai. Patrice naik ke atas panggung dan
memimpin acara bersama rekannya Handoyo. Dia sekarang benar-benar terlihat
percaya diri. Aku merasa senang sekali, tapi sekaligus merasa sedih karena aku
tidak bisa melakukan apapun saat dia membutuhkan seseorang untuk menolongnya
waktu itu. Kalau dia benar-benar adikku, itu artinya aku bukan kakak yang baik.
Tiba-tiba saja aku teringat pada pemuda yang sudah
membuat Patrice menjadi seperti sediakala. Aku melihat ke sekelilingku dan
akhirnya menemukannya sedang berdiri sambil bersandar pada tembok yang menjadi
pembatas pagar dalam toko itu. Aku pun berjalan mendekatinya.
“Hai,” aku menyapanya dengan senyumanku.
“Hai,” dia membalasku.
Aku memposisikan diriku untuk berdiri di sampingnya
agar tidak menghalangi pandangannya ke arah panggung. “Terima kasih banyak,”
kataku.
Dia menoleh padaku. “Untuk?” tanyanya.
“Memulihkan keadaan Patrice,”
“Oh, namanya Patrice?” wajahnya tampak berbinar
saat mendengar nama Patrice disebut. “Sebenarnya, aku tidak banyak melakukan
apapun untuk membuat dia menjadi percaya diri.”
Aku memicingkan mataku. “Tapi dia jadi ceria lagi
dan nggak grogi tuh,” aku menunjuk dengan pandangan mataku yang kulemparkan
sejenak ke arah Patrice kemudian kembali lagi padanya.
“Aku cuman bilang ke dia kalau dia itu orang yang
luar biasa dan bisa ngelakuin banyak hal, apalagi cuman jadi MC, gitu doang,”
ia menjelaskan tapi aku masih tidak mengerti. Bagiku itu bukan kata-kata yang
akan menguatkanku kalau aku
mengalami demam panggung.
“Walaupun aku nggak ngerti gimana bisa kamu buat
dia baik lagi, aku tetep berterima kasih banget sama kamu,” ujarku. “Kamu itu
bener-bener jadi obat buat dia. Obat yang instan lebih tepatnya.”
Dia menggeleng. “Istilahmu itu,” ia melanjutkan
kalimatnya dengan tawa. Aku pun tertawa sendiri mendengar istilahku itu.
“Mil, bantuin bagiin hadiah yuk,” Gina menepuk
bahuku.
“Aku pergi dulu ya,” aku berpamitan padanya.
Acara selesai dengan sangat meriah setelah beberapa
jam. Semua hadiah habis ludes diberikan pada masyarakat sekitar yang menghadiri
acara ini. Setelah kami membereskan barang-barang, seperti biasa kami selalu
mengambil foto seluruh panitia di atas panggung.
0 Response to "Colors Made It (Chapter 1)"
Posting Komentar