♫ Natalie ♫
Hari-hari
berlalu dengan cepat. Sesuai dengan ancaman Cindy, Natalie mulai menjauh dari
Daniel. Ia paling merasa malas untuk bermusuhan dengan orang lain. Pikirnya,
daripada perang terjadi, lebih baik ia yang mengalah.
Dari hari ke
hari, setiap kali Daniel mendekatinya untuk meminta bantuan, ia selalu
menghindar. Layaknya sedang berada di medan perang, ia berawas-awas kalau-kalau
musuhnya, Daniel muncul. Karena itu, ia jauh lebih sering untuk berada di dalam
kamar dan menyelesaikan catatan-catatan untuk penelitiannya. Ia merasa lega hal
ini bisa menjadi alasan yang sangat baik untuk tidak bertemu dengan Daniel.
Larangan mutlak untuk laki-laki memasuki kamar perempuan.
Setelah
semalam-malaman Natalie tidak dapat memejamkan matanya karena suara-suara
berisik katak dan jangkrik yang tidak biasanya mengganggunya, pagi pun tiba.
Ini adalah hari terakhir ia ada di panti asuhan ini. Karenanya seluruh peserta
dibebastugaskan dari segala pekerjaan apapun untuk menikmati hari terakhir
mereka di panti.
Sekitar
pukul tujuh pagi, saat semua peserta berada di luar kamar dan berolahraga, Natalie
justru kembali lagi menghadapi buku jurnalnya dan menambahkan sedikit catatan
setelah membersihkan tempat tidurnya. Ketika ia catatannya hampir ia
selesaikan, tiba-tiba terdengar pintu kamarnya dibanting dengan keras. Ia pun
berpaling dengan cepat ke arah pintu kamar yang dibanting itu. Ia melihat Cindy
berdiri di ambang pintu dengan wajah gusar.
Natalie pun
merasa terkejut melihatnya, tapi ia tetap berusaha tenang. Ia menutup buku
jurnalnya dan duduk menghadap Cindy yang kemudian datang mendekatinya.
“Kamu tuh
ya! Ngeselin banget !!!!” ia berteriak pada Natalie
sambil menunjuk-nunjuknya.
Natalie pun berdiri
di hadapan Cindy. “Bukannya aku selama ini udah ngelakuin apa yang kamu mau?
Aku udah nggak deket lagi sama Daniel sampe aku selalu ada di kamar supanya
nggak ketemu sama dia? Udah ada kesempatan banyak banget kan seminggu ini untuk
deketin Daniel? Udah bilang kamu suka sama dia belum?” katanya.
Cindy
berteriak melengking dengan keras. Lalu ia terduduk di lantai dan menutupi
wajahnya dengan kedua tangannya. Ia menangis tersedu-sedu.
Merasa
bingung, Natalie duduk di depan Cindy. Awalnya ia ragu untuk menyentuhnya, tapi
Natalie memberanikan diri dan kemudian membelai lengan Cindy.
“Kenapa
Cindy?” tanya Natalie. “Aku ngomong salah sama kamu? Aku minta maaf kalau
perkataanku salah.” Ia bersikap lapang dada kalau-kalau Cindy akan meneriakinya
lagi dan menyalahkannya atas hal yang sebenarnya tidak ia mengerti.
“Aku udah
berusaha deketin Daniel,” Cindy terisak. “Awalnya dia nggak bisa dideketin tapi
akhirnya bisa. Tapi waktu aku udah mulai ngobrol sama dia, bukannya bahas
tentang aku atau dia sendiri, dia selalu ngomongin tentang cewek lain.”
“Cewek
lain?” gumam Natalie. “Aku ngerasa dia belum punya pacar deh.”
“Terus waktu
kemarin malam, pas aku ngelakuin apa yang kamu bilang ke aku untuk nyatain
perasaanku ke dia, kalau aku suka dia,” Cindy terisak lebih lagi, “dia nolak
aku.”
Natalie
membelai punggung Cindy. “Cindy, jangan nangis gitu,” ia berusaha menghiburnya.
“Dia bilang
dia udah suka sama orang lain,” lanjutnya. “Dia tuh suka sama, sama─” tanpa
menyelesaikan kalimatnya, Cindy berlari ke luar dari kamar dan meninggalkan
Natalie.
Merasa
bingung dan seperti tidak bisa mengatakan apapun, Natalie duduk termenung. Ia
tidak mengerti dengan sikap Cindy. Sebentar-sebentar, ia bisa menjadi musuh, sebentar-sebentar,
ia seperti seorang anak kecil yang menangis dan marah karena permintaannya
tidak dipenuhi.
Natalie
menggaruk kepalanya. Ia tidak mau berurusan lagi dengan Cindy dan masalahnya
dengan Daniel itu. Masa bodoh lah sama
mereka. Aku punya urusan yang lebih penting untuk ada di panti ini. Dapet
beasiswa! pikirnya dalam hati.
Ia pun
memutuskan untuk kembali pada buku jurnalnya. Ia mengambil pulpennya dan mulai
menulis lagi. Beberapa lama kemudian, seluruh kegiatan, aktivitas, dan hal-hal
baru yang ditemukannya di panti ini yang ia ingin jadikan sebagai bahan
penelitiannya pun sudah tercatat dalam buku jurnalnya. Ia pun membereskan
alat-alat tulisnya dan memasukkan semuanya ke dalam tasnya.
Natalie melirik
jam tangannya. Sudah pukul 7.24 pagi. Sebentar lagi sarapan pagi disiapkan.
Seperti yang sudah dilakukannya sebelumnya, ia selalu datang lebih awal untuk
sarapan agar tidak bertemu dengan Daniel.
Sesuai
dugaannya, ruang makan sepi. Tidak ada orang satu pun disana, tapi sarapan
sudah siap tersedia. Dengan cepat ia mengambil sarapan dan menghabiskannya. Saat
ia akan kembali lagi ke dalam kamar, ia berpapasan dengan Daniel.
“Natalie, wait,” Daniel menahan tangan Natalie
saat ia akan pergi menghindar.
“Excuse me. I need to go to my room now,” Natalie berusaha
melepaskan tangannya dari genggaman Daniel.
Tapi Daniel
semakin erat menggenggam tangan Natalie.
“Daniel,”
“Oh, you still remember my name after a full week you
prevented from meeting me! Praise the Lord!” kata Daniel.
“It’s not funny,” kata Natalie ketus. “Let go off my hand.”
“But it’s true that I’m glad to know this,” bukannya
melepaskan tangan Natalie, Daniel tetap saja menggenggam tangannya. “I’m just wondering, why did you avoid to see me suddenly?”
Natalie
tidak menjawab. Ia hanya memandang jauh ke arah lain dan berusaha untuk tidak
melihat Daniel.
“Natalie, please asnwer me and don’t just be quiet,” pinta
Daniel.
“Don’t you realize that there’s a girl who likes you?”
“Who?”
“Oh goodness, you really don’t know?”
“Did you mean Cindy?”
Natalie mendengus.
“Yes! Cindy likes you! Don’t you know that? Don’t you
remember she told you that she liked you?” serunya. “I don’t want to dispute with her. I avoided to see you
because I want to give her more space, more chance and more time to be with
you!”
“I do remember that, Natalie,” kata Daniel pelan. Ia pun
melepaskan genggamannya dari Natalie. “You don’t
have to shout at me like that.”
Natalie
menjadi sadar bahwa ia telah bersalah dengan berteriak pada Daniel. Tapi ia
terlalu gengsi untuk meminta maaf. Tanpa sepatah kata lagi ia berjalan
meninggalkan Daniel menuju ke kamarnya.
Natalie
duduk terkulai di atas kasur tipisnya. Ia termenung memikirkan perbuatannya
pada Daniel. Ia merasa sangat menyesal. Ia kejam sekali padanya dengan
membentaknya. Seharusnya ia bicara baik-baik padanya dan menjelaskan bahwa
Cindy menyukainya.
Sehari-harian
Natalie pun duduk di tempat yang sama sambil membuka internet melalui handphone-nya karena novel impornya tertinggal di rumahnya.
Tanpa tujuan, ia asal membuka berbagai situs yang berisi artikel yang akhirnya
tidak ia baca.
Peserta
perempuan lainnya sudah berulang kali mengajak Natalie untuk berjalan-jalan
atau melakukan hal lainnya setiap kali mereka masuk ke dalam kamar. Tapi
Natalie selalu menolak ajakan mereka. Lama kelamaan tanpa sadar, karena merasa
suntuk, akhirnya ia tertidur dengan posisi bersandar di dinding. Cukup lama ia
tertidur dengan pulas karena malam lalu ia tidak bisa tidur.
Tapi
tiba-tiba saja ia dibangunkan karena ia merasa tubuhnya diguncang-guncang. Ia
membuka matanya dan melihat Daniel ada di sebelahnya.
“What are you doing here?” Natalie merasa terkejut. “You must know that boys are not allowed to enter the
girls’─”
“Don’t talk, just come with me because there’s a big fire!” Daniel
memutus perkataan Natalie.
Natalie
benar-benar terkejut. “Fire? Where is the fire?” tanyanya dengan ketakutan.
“We don’t have time! We have to go out now!” Daniel pun
menarik tangan Natalie dan menggandengnya keluar dari kamarnya.
Dengan
penampilan Natalie yang agak berantakan karena baru saja bangun tidur, ia dan
Daniel berlari ke lapangan belakang panti. Di tengah-tengah lapangan, mereka
berhenti.
“I don’t see any fire or smoke, Daniel. Where’s the fire?” tanya
Natalie. Jantungnya masih berdegup kencang karena merasa cemas. “And why there are only us? Where’s the other? Have they
already been saved before you found me?”
Daniel
menggenggam kedua tangan Natalie. “Your
hands are so cool,” katanya dengan agak sedikit terkejut.
“Of course. It always happens when I am anxious of something,” sahut
Natalie. Ia melihat ke sekelilingnya lalu kepada Daniel. “You haven’t answer my question.”
“Questions,” Daniel mengoreksi.
“Yes, that’s what I meant,” sahut Natalie. “Hey, just answer. Where’s the big fire like you have said?”
Daniel
menarik kedua tangan Natalie dan meletakannya di depan dadanya. “It’s here. There’s a big fire here. I really can’t
extinguish it,” katanya seraya memandang Natalie lekat-lekat.
“Don’t kidding me, Daniel,” Natalie masih merasa cemas
sampai ia tidak mengerti perkataan Daniel.
“Listen,”
Natalie pun
memandang Daniel.
“there’s no fire in the orphanage,”
lanjutnya. “There’s only a big fire of my love
for you, here in my heart.” Daniel erat menggenggam kedua tangan Natalie.
Natalie
menelan ludahnya. Ia hampir tidak percaya akan perkataan Daniel. Ia tercengang mendengar
pengakuan Daniel padanya.
“How about Cindy?” Natalie teringat kembali.
Daniel
menggeleng dan tersenyum. “She won’t care
about me or you anymore,” jawabnya. “I’ve
talked to her.”
“That’s true!” seseorang berseru dari
belakang mereka.
“Cindy?”
cepat-cepat Natalie melepaskan tangannya dari genggaman Daniel.
“It’s impossible to make him stop talking about you,” Cindy
berjalan mendekati mereka. Ia menyentuh lengan Natalie. “Thank you for being nice even though I was so rude to
you. You’re a really nice girl, and you deserve to have him. On the contrary,
Daniel will be so lucky to have you.”
Natalie
mengerutkan alisnya. “Ini beneran Cindy yang tadi marah-marah sama nangis di
deketku?” tanyanya. “Kenapa jadi kayak malaikat penolong? Baik banget?”
Cindy
tertawa. “Makasi nggak ngomong pake Inggris tentang ini. Tapi iya ini aku lah,”
katanya.
“What are you girls talking about? Talking about me?” tanya Daniel.
“No, it’s girl’s stuff,” sahut Cindy. “Now, my business is over. I need to go now. Can’t hold to
get some rest. Bye.” Ia pun pergi tanpa menunggu respon dari Natalie
maupun Daniel.
“Is it clear enough for you? Is there another barrier to
be taken away to let me love you?” Daniel mengalihkan perhatian
Natalie.
Natalie
tidak menjawab. Ia menggigit bibir atas dan bawahnya bergantian.
“Nate,”
“No, there’s no more,” kata Natalie, wajahnya terlihat
tidak ceria.
“So, why do you look so hesitate and unhappy?” tanya
Daniel. “Is it because you don’t like me? Or
you like somebody else?”
Natalie
menggeleng. “No, it’s not that,” sahutnya.
“So what?”
“Our meeting ends tomorrow,” ungkap Natalie.
Daniel
tersenyum. “Who said so?”
“What do you mean?”
“Your campus needs a volunteer to be a lecturer,” kata
Daniel.
Natalie
memiringkan kepalanya “How could you know that?” tanyanya.
“Umm,” sesaat Daniel menahan perkataannya.
“Daniel, c’mon. Don’t make me so curious,” Natalie
mendesaknya.
“Well, this whole week, I’ve searched any ways to stay
longer with you. It was so hard. But finally, I figured out that one of the
participants is your senior. I asked him
anything and I found that I can be a volunteer in your campus for a year,” Daniel
menjelaskan panjang lebar.
“You really did that to be with me?” tanya
Natalie seolah tak percaya dengan usaha yang Daniel lakukan. “But you’re kidding to be a volunteer for a year. Maximum
time to be a volunteer is only 6 months.”
“Nothing can stop love,” kata Daniel mantap.
Natalie
tertawa kecil. “I’m dreaming,” katanya.
“Aww! It’s hurt!” Ia mengeluh karena Daniel
mencubitnya.
“It means you’re not,” kata Daniel.
Natalie
tertawa. “I mean, I’ve been dreaming for this
for the whole time,” ia meneruskan kata-katanya yang sempat terputus.
Daniel
mengacak-acak rambut Natalie. “I love you, Nate,” katanya
lembut.
Bukannya
membalas perkataan Daniel, Natalie celingukan ke sekeliling kanan dan kirinya.
“Hey, I told you that I love you. Why don’t you say to me
the same in return and not watching something around you?” keluh
Daniel. Ia menyilangkan kedua tangannya di dada.
“Where is the other? Why, I don’t see anybody around here.
Where are they? Why this place is so quiet? Why there are only both of us here?” tanya
Natalie seperti menembakan peluru-peluru yang banyak dari senapannya tanpa
henti.
“Why don’t you just ask me to do something you want and
not asking those questions unstoppably, Natalie?”
“Because I know you’ll do everything I ask you,” sahut
Natalie cepat. Ia tiba-tiba jongkok dan merapikan tali sepatunya. “I love you too and I’m so sorry I have shouted at you.” Lalu ia
berdiri lagi.
“What did you say?”
“You know it,” kata Natalie cuek untuk
menutupi rasa malunya. Ia beruntung karena kulitnya tidak mudah memerah, jadi
tidak terlalu terlihat bahwa ia malu untuk mengungkapkan perasaannya.
“Say it again,”
Natalie menggeleng.
“Not before you asnwer all of my questions,” katanya.
“Do you remember all?”
Daniel
menghela nafas. “I should not talk about
this,” ia
berbisik pada Natalie. “But okay, if it makes
you say you love me. They are hiding behind us and they are planning to make a
surprise for you, that’s why there are only both of us here. So when they make
surprise you have to look surprised.”
Natalie
tertawa kecil.
“I’m the smartest student. I’m good at memorizing,” Daniel
seolah menyombongkan diri.
“And I love that smartest student who is good at
memorizing,” sahut Natalie cepat.
Daniel pun
memeluk Natalie dengan erat. Saat itu juga, petasan-petasan terdengar meletus
di samping mereka.
Tanpa ia
sangka, tapi seperti permintaan Daniel, Natalie terkejut. Petasan-petasan itu
membuatnya takut.
Kemudian,
teman-teman Daniel, seluruh peserta camp dan seluruh
anak-anak panti asuhan menampakkan diri dan bersorak riang.
Natalie
menjadi lebih terkejut lagi. “Daniel,” ia
tertawa tidak percaya sambil memandang Daniel dan sekelilingnya bergantian. “I don’t believe this. You make me like in a movie. Feel
that I’m a princess now. But princess who wears jeans. How could you arrange this?” Ia tertawa
lagi.
“Nothing can stop love,” Daniel kembali mengulang
perkataannya.
George
datang bersama Henry, Phoebe, Miriam dan Renee. Mereka mengelilingi Daniel dan
memeluknya dengan serentak. Sementara itu, Natalie berdiri sambil tertawa
melihat mereka.
“I’ve known this since you and Natalie were in the side of
the river,” kata George mantap. Lalu mereka tertawa bersama-sama.
Saat
menikmati pemandangan itu, Natalie berpaling ke belakangnya karena ada yang
menarik-narik bajunya. Rupanya ada Siti dan Ami berdiri di belakangnya dan
tersenyum. Masing-masing mereka menyodorkan seikat bunga indah berwarna pink
dan putih padanya.
“What’s this, Daniel?” Natalie berpaling sejenak padanya
dan kemudian kembali lagi pada Siti dan Ami. Ia berlutut di depan mereka untuk
menyamakan tinggi tubuhnya dengan mereka. “Makasi ya Siti, Ami. Kalian baik
banget.”
“Kita disuruh
kak Daniel kok,” kata Siti dengan polosnya sambil tersenyum.
Ami pun
menyenggol lengannya. “Jangan ngomong dong. Bilang aja dari kita,” ia berbisik.
Tapi Natalie mendengarnya.
Natalie
tertawa. “Nggak papa, aku juga udah tahu kok,” katanya.
Siti menjulurkan
lidahnya pada Ami, dan Ami juga balas menjulurkan lidah.
Natalie
berdiri dan berbalik dari Ami kepada Daniel dan teman-temannya. “You,” ia tertawa. “How
could you do this? I can’t really believe that you do this. It’s like a
fantasy, you know. I can’t say anything.”
Daniel
melangkah ke depan mendekati Natalie. “You
don’t have to say anything, but three,” katanya.
“Three?” Natalie memicingkan sebelah matanya dan
memiringkan kepalanya.
Dengan
jari-jari tangannya, Daniel membentuk huruf I-L-U. “I Love U,” ia mengeja. “It’s an
easy thing to say.”
Natalie
menunduk sambil tertawa. Tangannya menyokong dahinya dan menggeleng-geleng.
“Any more questions to make you say you love me?” goda
Daniel.
“No,” sahut Natalie. Ia menegakkan kepalanya. “I will say everytime you want, ‘I love you, Daniel.’ I love you, and I love you, and I love you. And Daniel,
thank you for forgiving me, for loving me, for being someone that I will love
forever.”
Daniel pun
memeluknya lagi. Semua orang yang ada disitu pun bersorak dan membuat suasana
yang tadinya sunyi menjadi sangat riuh.