Halaman

Minami Fujita (Chapter 8)

Tommy pun berbicara pada salah satu nelayan yang ada di dekat kapal feri itu dan menyewanya. Lalu, mereka masuk ke dalam kapal itu dan mulai berlayar.
“Asik ya ternyata berlayar tuh,” kata Minami.
“Bener banget,” sahut Tommy. “Ini baru pertama kalinya buat aku.”
“Yang bener aja?”
Tommy mengangguk. “Kan berlayar sendirian tanpa temen nggak enak,” katanya.
Minami tertawa. “Ya ngomong-ngomong sama nahkodanya dong,” sahutnya.
“Tapi kan nggak enak diajak ngomong, orang nggak kenal,” Tommy menyenggol lengan Minami.
“Oh iya ding,” Minami tertawa.
Beberapa waktu lamanya mereka menikmati pemandangan lautan luas dan juga angin yang menerpa tubuh mereka. Lalu Tommy mengeluarkan handphone-nya.
“Ayo kita ambil foto bersama,” kata Tommy.
“Foto?”
Tommy mengangguk. “Ayo sini,” ia menarik Minami mendekat.
Mereka pun saling memotret dan bersenang-senang bersama beberapa waktu lamanya. Benar-benar sukacita yang besar sedang mereka rasakan.
“Minami chan,”
Minami menoleh ke arah Tommy. Ia merasa agak janggal dengan sebutan ‘chan’ itu. Bagi orang Jepang, sebutan ‘chan’ hanya bagi orang dekat yang disayang. Seperti keluarga, sahabat, atau kekasih. “Ya?”
“Ada satu kata yang sudah aku tahu dari dulu sebelum kamu ajari aku,” lanjut Tommy.
“Oh ya? Apa tuh?” tanya Minami penasaran.
AISHITERU,” jawab Tommy.
“Oh,” kata Minami sambil mengangguk-angguk. “Apa?” tiba-tiba ia tersadar bahwa kata itu tidak hanya sekedar Tommy katakan begitu saja.
Minami chan, aishiteru,” kata Tommy sekali lagi.
Minami terdiam sejenak. Ia mengalihkan pandangannya ke arah lautan luas kemudian tersenyum lebar. “Aku juga, Tommy,” sahutnya. “Aishiteru.”
*********************************************************************
“Gitu Tas ceritanya,” Minami meneguk kopinya yang terakhir kali. “Dan kita pacaran deh.”
Tasya pun tertawa dan terkagum. “Lo sama kisah cinta lo keren banget, kaya film,” katanya. “Terus, terus, gimana akhirnya sama papanya, sama mamanya yang jutek itu?”
*********************************************************************
Besoknya, Tommy dan Minami pergi ke Bandara Ahmad Yani untuk menjemput mama Tommy dan Naka yang jam dua siang ini pulang dari Jakarta.
Mereka pun menunggu di dekat pintu menuju pesawat. Dan tak lama, mama Tommy muncul dengan menggendong Naka. Dan juga seorang pria paruh baya di belakang mereka.
“Mi, itu papaku,” tangan kiri Tommy menggenggam erat tangan Minami dan tangan kanannya menunjuk kepada pria itu.
“Beneran?” mendengarnya, wajah Minami berbinar.
Mereka pun akhirnya telah berada di depan Tommy dan Minami.
Otousan,” Tommy pun memeluk papanya, begitu pula sebaliknya.
Air mata pun jatuh membasahi pipi pria itu. “Maafkan papa ya sudah menyusahkanmu,” katanya dengan logat Jepang yang begitu kental.
Tommy menggeleng. “Nggak pa, papa nggak menyusahkan aku,” isaknya. “Dengan kepulangan papa aja, itu udah cukup bagiku.”
“Kamu nggak perlu untuk bisa bahasa Jepang, ataupun harus bekerja disana,” lanjut pria itu. “Itu hanya keegoisan papa yang tidak seharusnya papa lakukan. Tinggal di Indonesia saja bersama papa, mama dan Naka. Kita harus menjadi keluarga yang paling bahagia. Papa berjanji.”
Mama Tommy pun tersenyum lebar melihat pemandangan yang jauh lebih indah dari hamparan laut yang Minami lihat dari atas rumah Tommy. Pemandangan antara ayah dan anak yang saling mengasihi.
Tommy melepaskan pelukannya dari papanya. Ia pun menghapus air matanya dan mengalihkan pandangannya pada Minami.
“Pa, aku ingin memperkenalkan seseorang,” kata Tommy sambil menarik Minami untuk mendekat. “Mama pasti sudah tahu dia. Ini Minami.”
Watashi wa Minami desu. Douzo yoroshiku,” Minami membungkuk layaknya orang Jepang saat memberi hormat pada orang lain.
Pria itu pun tersenyum lebar.
“Dia ini pacarku, Pa, Ma,” lanjut Tommy.
“Pa, Mama nggak ragu untuk terima Minami jadi menantu kita,” sergah mama Tommy. “Mama sudah mempercayai dia seperti anak Mama sendiri. Jadi Papa juga harus percaya ya.”
“Papa bisa lihat dari cara dia bicara kok,” tambah pria itu.
*********************************************************************
Tasya tertawa puas. “Hmm, bentar lagi ada yang mau dilamar nih,” katanya.
Minami tersenyum lebar. “Eh, Tas, maaf ya aku nggak bisa anterin kamu pulang ke rumah hari ini,” katanya.
“Kenapa?” tanya Tasya.
“Aku udah dijemput tuh,”
Seorang pemuda yang tampan dan tinggi datang dari kejauhan dan berjalan menuju ke tempat dimana Minami dan Tasya duduk.
“Sudah selesai?” kata pemuda itu saat telah berada dekat dengan mereka.
Minami mengangguk. Sementara Tasya hanya terpesona melihat Tommy yang mengenggam erat tangan Minami.
“Aku pulang dulu ya, Tas,” kata Minami sambil melambai. “Bye.


                                                ~ The End ~

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Minami Fujita (Chapter 7)

Moshi-moshi, Minami san, ogenki desuka?” sapa Tommy yang sudah berdiri di depan pintu rumahnya menanti kedatangan Minami.
Hai, genki desu, Tommy san,” balas Minami.
“Aku udah siap belajar lagi,” kata Tommy.
“Tapi hari ini aku mau agak santai ah, Tom,” sahut Minami. “Duduk disini dulu yuk. Sambil nikmatin pemandangan.” Lalu ia duduk di tangga kecil di depan pintu masuk.
Tommy pun duduk di sebelahnya. “Kamu udah mulai capek ya ngajarin aku?” tanyanya.
Minami menggeleng. “Sama sekali nggak,” sahutnya. “Cuma mau santai dulu hari ini.”
“Bagus deh. Kan aku tinggal seminggu lagi udah lulus ujian,” Tommy tertawa kecil.
Minami pun ikut tertawa.
Namun berangsur-angsur keadaan menjadi hening sejenak. Mereka hanya memandang ke depan, ke arah pohon bakau yang berada di tepi pantai dan dihinggapi banyak burung.
“Kamu ternyata temen sekampus kakakku ya?” Minami memecah keheningan.
Huh?” Tommy menaikkan alisnya. “Kakakmu? Siapa ya?”
Benar kata Yuri. Tommy tidak tahu kalau ia adalah adik Yuri. “Yuri Fujita,” sahut Minami.
“Oh, jadi kamu tuh adiknya,” Tommy mengangguk-angguk. “Tapi aku nggak nyangka. Aku pun nggak mikirin kalo nama belakang kalian sama,” Ia tertawa kecil. “Kalian berdua memang orang yang sangat baik. Tapi kalian beda.”
Minami mengalihkan pandangannya pada Tommy.
“Kamu lebih bisa kasi’ perhatian sama orang lain,” lanjut Tommy. “Di dalammu ada kebaikan yang tulus yang nggak banyak orang miliki.”
Minami memperhatikan Tommy lebih seksama.
“Itu terbukti dari perhatianmu sama aku walo kamu baru aja kenal sama aku,” Tommy tersenyum lebar. “Makasih banyak ya, Minami.”
Minami pun membalas senyumannya, lalu mengangguk. Ia menghela nafas dalam-dalam dan menghembuskannya. “Ayo kita selesain pelajaran lagi,” ia beranjak dan berdiri.
“Siap Bu Guru,” Tommy pun berdiri di sampingnya.

Tepat satu bulan lamanya Tommy menyelesaikan pembelajaran Bahasa Jepang-nya bersama Minami. Dan hari ini, adalah hari dimana Tommy harus mengerjakan ujian terakhirnya.
“Seperti biasa, waktumu satu jam untuk menyelesaikan ujian ini,” Minami memberikan beberapa lembar kertas yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang semuanya ditulis dengan huruf Jepang.
“Doain aku ya supaya aku bisa ngerjain dengan baik,” kata Tommy.
“Semangat!” Minami mengepalkan tangannya.
Tommy pun mulai mengerjakan setiap pertanyaan yang ada di lembaran-lembaran kertas itu. Sampai akhirnya satu jam berakhir.
Minami melirik ke jam dinding. “Udah belum, Tom? Udah sejam nih,” ia mengingatkan.
“Selesai,” Tommy menyerahkan kertas-kertas ujiannya pada Minami.
“Oke deh, aku akan periksa semuanya,” Minami mengambil kertas itu dari tangan Tommy. “Berdoa aja supaya kamu bener semuanya dan lulus dengan nilai baik. Bukan ding, sempurna.”
Amen,” sahut Tommy.
Minami pun memeriksa pekerjaan Tommy dengan seksama. Lima belas menit pun telah berlangsung.
“Nih,” Minami menyerahkan kertas itu kembali kepada Tommy.
Sesaat setelah Tommy mengambil kertas itu dari tangan Minami, matanya pun tertuju pada huruf yang tercetak besar sekali dan sangat jelas di kertas itu. “A plus! Woohoo!” serunya sambil mencium kertas itu. “Aku dapet A plus. Aku nggak nyangka kalo aku bisa!” Ia bersorak girang.
“Kamu emang hebat, Tom,” puji Minami. “Otakmu lebih encer deh dari Einstein.”
“Ini juga karena kamu, Mi!” Tommy pun memeluk Minami dengan erat.
Selang beberapa waktu lamanya mereka hanya terdiam saling berpelukan. Tommy merasa bahagia karena akhirnya ia bisa menguasai bahasa Jepang dan membawa papa tirinya kembali ke keluarganya. Sementara Minami merasa bahagia karena orang yang telah mewarnai harinya menjadi bahagia karenanya.
“Tom, aku kepanasan,” celetuk Minami.
“Oh, maaf,” Tommy pun melepaskan pelukannya dari Minami. “Ayo kita berlayar pake kapal nelayan!”
“Emang boleh?”
“Boleh lah, kan itu disewain juga,” sahut Tommy. “Ayo ikut aku.” Ia pun menggandeng tangan Minami dan mengajaknya keluar menuju pantai.
Karena hari ini adalah hari Sabtu, pantai pun ramai didatangi orang. Mereka juga antri untuk berlayar menggunakan kapal.
“Kayaknya kita harus antri lama banget deh,” kata Minami saat melihat bahwa terlalu banyak orang yang berdiri mengantri di dekat kapal kayu.
“Disana ada kapal feri kecil,” tunjuk Tommy ke sebuah sudut. “Kita sewa aja.”
“Bukannya mahal ya kalo di-booking?”
Tommy menggeleng. “Nggak masalah, asal kita seneng-seneng!” ia menarik Minami.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Minami Fujita (Chapter 6)

Keesokkan harinya, Minami kembali lagi ke rumah Tommy. Kali ini ia membawakan beberapa buku Bahasa Jepang yang ia miliki di rumahnya untuk dipelajari Tommy.
“Kamu bawain aku buku-buku setebal itu?” Tommy menaikkan alisnya saat melihat tumpukkan buku yang ia lihat di tangan Minami.
“Katanya mau lancar dalam sebulan, ya harus belajar keras,” sahut Minami.
“Aku juga udah beli kok buku “Pintar Berbahasa Jepang dalam Sebulan”” Tommy menunjukkan sebuah  saku kecil.
“Itu nggak lengkap,” dengan agak kesusahan, Minami mengambil buku itu dari tangan Tommy dan meletakkannya di atas meja. Dan sebagai gantinya, ia memberikan buku-buku yang ia bawa itu ke tangan Tommy. “Kita mulai belajar keras hari ini.”
Tommy pun meletakkan buku-buku di atas meja tamu. “Aku udah siapin banyak makanan sama minuman untuk kamu, biar nggak suntuk nih,” ia menunjukkan sekantung besar plastik yang berisi banyak makanan dan minuman.
Minami pun duduk di karpet tepat di depan meja tamu. “Sekarang duduklah dan kita mulai pelajarannya,” pintanya.
Tommy duduk di depan Minami dan menyelonjorkan kedua kakinya. “Bu Guru jangan galak-galak ya sama muridnya,” ia meyeringai.
“Asal kamu cepet belajar,” sahut Minami, lalu tertawa kecil. “Ayolah. Kita mulai belajar huruf-hurufnya ya. Ada hiragana, katakana dan kanji.”
“Waduh, makanan apaan tuh? Macem-macem aja ya?”
“Tommy,”
“Iya, iya,” Tommy pun kembali fokus.
“Aku kasi’ kamu hari ini huruf hiragana sama katakana dan aku kasi’ kamu waktu seminggu untuk hafalin semuanya,” Minami melanjutkan.
“Seminggu? Kejam banget,” Tommy berdecak.
“Gampang kok. Percaya deh,” kata Minami dengan sedikit menghiraukan keluhan Tommy. “Hari kedua aku bakal ngajarin kamu beberapa kosakata dan selanjutnya pola-pola kalimat. Dan tiap akhir minggu aku kasi ujian sama kamu.”
“Kamu bener-bener serius ya ngajarin aku?” Tommy memandang Minami lekat-lekat.
Minami mengangguk. “Kamu harus bisa, Tom,” katanya. “Supaya papamu kembali lagi ke keluargamu dan jadi keluarga yang bahagia.”
Tommy tersenyum lebar. “Makasih banyak ya untuk perhatianmu ke aku walo kamu belum lama kenal sama aku,” katanya.

Begitulah setiap hari Minami datang ke rumah Tommy dan mengajarinya Bahasa Jepang. Dan hal ini ia jalani dengan rasa senang. Karena tujuannya untuk mengisi hari liburnya dengan hal yang bermanfaat pun tercapai.

“Kamu kok sekarang jadi sering banget pergi ke pantai sih, Mi?” tanya Yuri yang sedang berdiri di dapur sambil mengaduk dua gelas susu coklat hangat. “Udah tiga minggu lagi.”
“Lah kamus sendiri, nggak chatting-an lagi, kak?” Minami tampak agak heran karena hari ini Yuri bertingkah cukup di luar dugaan. Kakaknya yang satu ini tidak akan membuat susu sendiri di pagi hari dan bukannya bercakap-cakap dengan teman Jepang-nya kalau tidak memiliki alasan.
Yuri menggeleng. “Aku pengen nglakuin hal yang lain aja,” jawabnya.
“Lha temenmu itu nggak nunggu kamu disana?”
“Aku udah bilang sama dia kok kalo hari ini aku mau nglakuin hal lain,”
“Hal lain?” Minami menaikkan alisnya.
“Aku sadar kalo aku harusnya nglakuin hal-hal yang berguna kaya’ kamu,” jelas Yuri. Ia menyodorkan salah satu susu hangat itu kepada Minami.
Minami mengisyaratkan Yuri untuk menjelaskan lebih lanjut sambil meneguk perlahan susu itu. Ini aneh sekali. Sikap Yuri berbeda dari biasanya.
“Aku tahu apa yang kamu lakuin selama ini di pantai,” lanjut Yuri. “Tepatnya di sebuah rumah deket pantai bersama seorang pemuda.”
Minami tersedak. Ia terkejut dan tidak menyangka bahwa kegiatannya selama ini diketahui. Ia tidak mau kalau Yuri sampai berpikiran buruk mengenai kedatangannya ke rumah Tommy setiap hari. Bahkan setelah pulang dari gereja.
“Tommy itu temen kampusku,” kata Yuri.
“Apa?” Minami mengambil sehelai tisu dan mengusap bibirnya dari sisa susu yang menempel.
Yuri mengangguk. “Dia memang nggak sebut namamu waktu cerita ke aku tentang seorang gadis yang tiba-tiba datang dan mengisi hari-harinya yang penuh kesendirian. Karena memang dia nggak tahu juga sih,” ia mulai membuka semuanya. “Tapi aku tahu itu kamu. Siapa lagi yang datang ke rumah seorang pemuda di tepi pantai setiap hari kalo bukan adikku sendiri?”
Minami menunduk.
“Kamu nggak usah merasa bersalah atau apapun, Mi,” kata Yuri. “Tindakanmu tuh bener. Aku sebagai temen kampusnya tahu keadaannya. Tapi karena jam kuliahku beda banget sama jam kuliah dia, jadinya kita jarang banget ketemu. Aku pagi dia sore, jam enam. Kebetulan kemarin aku lembur di kampus terus ketemu dia.”
Minami mengangkat wajahnya. “Aku juga seneng kak, kalo bisa buat dia seneng,” katanya lirih. “Aku seneng banget kalo bisa jadi berkat buat orang lain.”
Yuri mengangguk. “Tepat banget. Itu yang harus aku pelajari dari kamu,” katanya. “Aku selama ini kehilangan itu dengan keasikanku di dunia maya.” Ia menghela nafas. “Tapi kamu pinter banget untuk nggak lepasin kesempatan itu di dunia nyata.”
Minami tersenyum lalu meneguk susunya sampai habis.
“Habis ini kamu mau ke rumah Tommy lagi?” tanya Yuri, sekadar untuk berbasa basi, walau ia sudah tahu jawabannya pasti iya.
Yup. Aku harus selesain tugasku untuk ngajarin dia bahasa ibu-nya mama kita,” Minami tertawa kecil. Ia memakai jaket yang ia bawa di tangannya. “Aku pergi ya kak.”
“Oke. Titi DJ ya,” sahut Yuri.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Minami Fujita (Chapter 5)


“Kalo gitu, ayo sekarang ikut aku,”
“Kemana?”
“Ikut aja,” Tommy menggandeng tangan Minami.
Mereka pun berjalan menuju ke tangga dan menaikinya. Mereka naik terus sampai akhirnya mereka sampai ke lantai ketiga.
“Tinggi ya rumahmu?” kata Minami saat mereka berada di depan sebuah pintu.
“Tunggu sampai kamu lihat ini,” Tommy pun membuka pintu itu.
Saat pintu dibuka, angin sepoi-sepoi pun segera menerpa tubuh mereka. Tampak disana ada pohon-pohon rindang yang melindungi mereka dari sinar matahari. Dan jauh disana, hamparan laut yang luas dan indah mempesona setiap orang yang melihatnya, layaknya rasa saat jatuh cinta kepada seseorang.
“Wow!” Minami terkagum. “Bagus banget disini! Aku suka!!” Ia membentangkan kedua tangannya untuk merasakan angin yang lembut itu lebih lagi.
Tommy hanya tersenyum memandang gadis yang baru saja ia kenal itu.
God, i really really like this view!!!” Minami berteriak senang. “Kireina ne...”
Tommy pun duduk di sebuah sofa panjang di sebelah pintu. “Kamu masih mau berdiri disana ato duduk di sofa empuk ini?”
Minami pun berbalik. Lalu segera duduk di sebelah Tommy. “Enak ya jadi kamu. Bisa lihat pemandangan yang indah ini tiap hari,” ia tersenyum sambil menghirup udara pagi yang sejuk itu.
“Aku akan jadi orang terbahagia kalo aku adalah orang biasa yang duduk disana sama keluarganya dan seneng-seneng,” Tommy menunjuk ke beberapa orang yang tampaknya seperti sebuah keluarga dan sedang memancing di tepi pantai.
Minami menggigit bibir bawahnya. Ia merasa bersalah lagi dengan telah mengatakan pernyataan terakhirnya. Tapi dengan segera ia ingin membalikkan kondisi menjadi menyenangkan ketika melihat ada rasa kecewa yang sedang Tommy rasakan.
“Tapi kan sekarang ada aku,” ia menyeringai lalu menggerak-gerakkan kedua alisnya ke atas. “Kita bisa saling cerita juga bercanda.”
“Aku bersyukur sama Tuhan soalnya Dia kirim kamu kesini,” sahut Tommy, “dan jadi temenku dengan tiba-tiba dan dengan cara yang sungguh nggak disangka!” ia tertawa.
Minami pun ikut tertawa. “Aku juga nggak tahu kenapa ya, Tom,” kata Minami. “Awalnya aku dateng kesini tuh─tapi kamu jangan ketawa ya─”
“Aku janji bakal berusaha,”
“Kok berusaha?”
“Lah kalo lucu, masa nggak boleh ketawa?”
Minami diam. Ia memanyunkan bibirnya.
“Iya, janji,” kata Tommy.
Minami pun kembali tersenyum. “Nah aku tuh pengen refreshing disini di hari libur pertamaku selama sebulan ini,” lanjut Minami. “Tapi, oh no, pantainya nggak ada. Semua kelihatan kaya’ pinggiran empang. Haduh.”
Keadaan pun hening sejenak. Tapi keheningan itu terlupakan dengan segera saat tiba-tiba Tommy terbahak-bahak.
“Ih, dibilangin jangan ketawa kok malah ketawa sih?” Minami memanyunkan bibirnya lagi. “Kan udah janji.”
“Kamu kemana aja selama ini? Nggak di Semarang ya? Kok nggak tahu kalo ada perubahan sama Pantai Marina?”
Minami menggeleng. “Di Semarang. Tapi udah sepuluh tahun nggak kesini,” sahutnya. “Baru tahu alasan kenapa pantai ini berubah ya kemarin. Diberitahu sama bapak nelayan.”
Tommy mengangguk-angguk. “Ngapain aja sepuluh tahun?” lalu tertawa lagi.
“Terus-terusin aja ketawanya, sampe puas,” Minami menyilangkan kedua tangannya di dada dan berbalik dari Tommy. “Orang aku belajar terus, nggak ada waktu buat refreshing kesini. Kalo refreshing paling di mall.”
Tommy pun menahan tawanya. “Jangan marah gitu lah,” katanya. “Aku kan cuma bercanda. Dan lagian, asal kamu tahu, kamu orang pertama yang bisa kembaliin saat-saat dimana aku bisa ketawa lepas.”
Rasa jengkel yang tadinya Minami rasakan pun mereda. Ia teringat kalau Tommy merindukan keadaan seperti ini.
Tapi kemudian ada hal yang mengganjal di pikirannya dan membuatnya penasaran yang sekaligus membuatnya ingin mengganti topik pembicaraan.  “Ngomong-omong, nama adikmu kok nama Jepang juga kayak aku? Sementara kamu malah nama bule begitu?” tanyanya.
“Oh, kami lahir dari ayah yang beda,” jawab Tommy. “Papaku meninggal waktu dia bertugas di dalam pesawat karena serangan jantung. Terus mamaku menikah lagi sama orang Jepang yang kerjanya juga pilot kayak papaku kandung. Dan dia juga bisa bicara bahasa Indonesia dengan baik karena pernah tinggal selama limea tahun di Indonesia. Karena itu cara mamaku jatuh cinta sama papaku. Mamaku kira bisa dapetin orang yang sebaik papaku dengan menikahi pilot, tapi ternyata dugaannya salah. Papaku tiri ninggalin kami saat Naka umurnya masih tiga tahun yang alasannya pun aku nggak tahu.”
“Maafin aku ya,” kata Minami. Dia merasa telah salah lagi. Niatnya untuk membuat Tommy lupa akan kesedihannya justru membuatnya kembali lagi. “Nggak seharusnya aku buka kisah lama keluargamu.”
Tommy menggeleng. “Aku seneng akhirnya aku bisa cerita ke orang lain,” katanya.
Minami tersenyum. “Kalo gitu kamu bisa percaya aku jadi tempat curhat kok,” sahutnya.
“Dan papa tiriku menuntut aku untuk bisa ngomong pake bahasa Jepang dan kerja di Jepang,” lanjut Tommy. “Dengan itu, dia baru mau kembali ke keluarga kami.”
“Maafkan aku, tapi masa papa tirimu sekejam itu? Apa dia nggak mikirin mamamu sama Naka?” Minami merasa tidak percaya bahwa ada seseorang yang setega itu meninggalkan keluarganya.
Tommy mengangguk. “Oh ya, tadi aku denger kamu ngomong sedikit bahasa Jepang,” ia mengganti topik pembicaraan. “Kamu bisa ajari aku?”
Minami mengerlingkan matanya. “Wah, itu sih aku suka banget. Akhirnya ada orang yang percaya kalo aku bisa bahasa Jepang,” ia tertawa kecil. “Kapan kita mulai?”
“Aku mikir dulu ya,” kata Tommy lalu diam untuk beberapa saat.
“Heh, malah kelamaan,” Minami menyenggol lengan Tommy.
Tommy pun tertawa. “Besok bisa?”
“Pasti,”
“Aku pengen sebulan udah lancar,”
“Apa??” Minami terkejut. “Kamu bener-bener bergairah ya?”
Tommy mengangguk. Lalu ia melayangkan pandangannya jauh ke depan dan terdiam untuk beberapa saat lamanya.
Minami yang ada di sebelahnya hanya memandangnya dengan rasa iba. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana rasa hidup tanpa keluarga yang utuh. Tanpa orang tua selama sebulan baginya saja sudah terasa hampa. Apalagi Tommy yang harus kehilangan papanya, sementara mamanya terus menuntutnya untuk menyelesaikan banyak tanggung jawab.
“Dan kamu nggak usah khawatir,” Tommy angkat bicara lagi.
“Tentang?”                                                                                                
“Aku bakal bayar kamu kok,” lanjut Tommy. “Sesuai tarif guru Bahasa Jepang yang normal. Aku mau menghargai setiap orang yang udah baik sama aku.”
Minami menggeleng. “Jangan gitu,” sahutnya cepat. “Aku cuma mau bantu sebagai teman, bukan pengajar bayaran.”
“Terserah kamu mau ato nggak, yang penting aku mau bayar kamu,” Tommy bersikeras.
“Hmm, ya udah deh. Terserah,” seperti biasa, sekali lagi Minami menghindari perdebatan yang sepertinya mulai tercium olehnya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Minami Fujita (Chapter 4)

Hari berganti. Jam 06.30.
“Gimana kemarin jalan-jalanmu ke Pantai Marina?” tanya Yuri.
“Ah, pantainya jelek sekarang, kak. Nggak ada pasirnya. Kecewa berat aku kemaren,” jawab Minami.
Yuri tertawa puas. “Aku kan punya indra keenam, jadi aku milih untuk chatting lewat internet,” katanya.
“Yah, malah ngetawain, nggak hibur adeknya,”
“Makanya, ikuti hatimu, kaya’ aku gitu,” Yuri tertawa lagi.
Rasanya ingin sekali Minami menceritakan tentang Tommy dan Naka pada Yuri. Tapi tiba-tiba ia mengurungkan niatnya dan menceritakannya suatu kali nanti.
“Ya udah kak, aku mau keluar rumah dulu ya,” kata Minami. “Mau menghabiskan waktu liburan dengan hal-hal yang menyenangkan.”
“Ke pantai lagi? Nggak jera?”
“Badan, badanku, mau aku bawa kemana ya, terserah aku,” Minami menjulurkan lidahnya pada Yuri.
“Kalo papa mama udah balik dari Bali, aku mau ceritain ceritamu ah,” goda Yuri. “Cerita lucu gara-gara pantai yang diharapkan sudah lenyap.” Ia tertawa lagi.
Tanpa berlama-lama lagi, Minami pergi keluar dari kamar Yuri. Ia berjalan keluar rumah dan meregangkan tubuhnya dengan sedikit gerakan senam.
Aku harap, besok kamu kembali lagi kesini dan menemaniku sampai matahari terbenam, ia teringat kembali kata-kata Tommy.
Ia merasa ganjal dengan kata-kata itu. Ia tidak mengerti kenapa Tommy meminta secara detail. Sampai matahari terbenam. Bagaimana kalau sebelum matahari terbenam? Atau malah lewat waktu dari matahari terbenam? Kenapa dia berkata begitu? Pikirnya.
“Aku kesana nggak ya sekarang?” gumamnya. Lalu ia melirik jam tangannya. “Jam tujuh. Cepet banget ya? Perasaan tadi baru setengah tujuh.”
Ia berpikir lagi sejenak. Lalu memutuskan untuk pergi ke rumah Tommy lagi dengan mobilnya.
Ding, dong! Ding, dong!
Minami menekan tombol bel. Ia menunggu dan menunggu sampai pintu dibuka. Tapi sudah sepuluh menit, dan pintu belum dibuka juga.
“Kenapa nggak ada yang bukain pintu?” gumamnya. “Kemana Tommy ato mamanya?”
Ia berjalan ke satu sudut dan melihat. Tidak ada orang. Ia berjalan ke sudut lainnya, dan tidak ada orang juga.
“Tommy!” serunya. “Ada orang di rumah?”
Klek! Pintu terbuka.
“Maaf kalo nunggu lama, aku baru selesai mandi,” Tommy muncul dengan handuk di sekitar lehernya.
“Ya, aku bisa lihat itu,”
“Masuklah,” Tommy membuka pintu lebih lebar dan mengajak Minami masuk.
“Kemana Naka?” tanya Minami sesaat setelah ia duduk.
“Dia pergi sama mamaku ke Jakarta kemarin sore,” jawab Tommy. “Dan pulang bulan depan.”
“Maksudmu kamu sendirian disini selama sebulan?”
Tommy mengangguk. “Itulah kenapa aku minta kamu temenin aku sampe matahari terbenam,” ia menjawab pertanyaan yang Minami utarakan kemarin.
Minami mengangguk-angguk. “Kamu takut sendirian ya?” ledeknya.
“Aku lebih berharap untuk takut daripada kesepian,”
Minami merasa seperti telah menelan ludah yang telah ia buang. “Tommy, maaf,” ia merasa iba pada Tommy.
Tommy tersenyum. “Nggak papa. Emang kadang aku perlu temen untuk bicara,” katanya.
“Apa nggak ada temenmu yang dateng ke rumahmu? Pasti mereka bakal betah kan disini? Rumah besar, mewah, fasilitas komplit─,”
“Tapi keluarga nggak komplit,” sahut Tommy. “Dulu temen-temenku sering kesini. Tapi mereka sekarang kuliah di luar negeri. Temen-temenku yang di kampus sekarang nggak sebaik temen-temenku SMA. Dan aku sering ngerasa kesepian.”
Minami menghela nafas panjang.
“Tapi, aku mau hari ini kita seneng-seneng,” sahut Tommy yang berusaha mengubah suasana. “Oke, Minami?”
Minami mengangguk. “Ayo kita bersenang-senang sampai puas!”
“Kalo gitu, ayo sekarang ikut aku,”
“Kemana?”
“Ikut aja,” Tommy menggandeng tangan Minami.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Minami Fujita (Chapter 3)

Minami pun melangkah masuk ke dalam rumah yang kali ini benar-benar membuatnya berdecak kagum. Seperti halnya rumah ini terlihat megah dari luar, dalamnya pun megah sekali, layaknya sebuah kastil.
Minami, pemuda itu dan adiknya duduk di sofa.
“Kau tahu? Adikku ini nggak akan pernah nempel sama orang lain kecuali orang tuaku, aku dan baby sitter-nya,” kata pemuda itu. “Tapi nggak tahu kenapa, dia bisa nempel sama kamu sebegitunya. Lihat aja tuh.” Ia menunjuk kepada adiknya yang mulai berjalan di atas sofa mendekati Minami dan memainkan tangannya.
Minami tertawa. “Beneran gitu?” tanyanya.
Pemuda itu mengangguk. “Oh ya, aku kan belum tahu namamu,” ia teringat.
“Minami Fujita,” ia mengulurkan tangan kanannya.
“Minami Fujita? Kamu orang Jepang ya?” tanya pemuda itu.
“Kenalin namamu dulu, baru aku jawab,” kata Minami ketus, karena tangannya yang terulur terasa diabaikkan.
“Oh iya,” pemuda itu menyeringai tanpa dosa. “Aku Tommy Gareth.” Lalu menjabat tangan Minami.
“Mamaku orang Jepang,” ia menjawab pertanyaan Tommy yang sempat ia hiraukan.
“Gitu ya,” Tommy mengangguk-angguk.
“Kalo adikmu ini namanya siapa?” Minami teringat kepada anak itu.
“Coba kamu tanya ke dia langsung deh,”
Minami menaikkan alisnya, berpikir kenapa Tommy tidak langsung saja menjawab, malah menyuruhnya bertanya sendiri kepada adiknya. Tapi, ia tidak mengutarakannya dan melakukan apa yang Tommy katakan.
“Adik, nama kamu siapa?” Minami mengambil perhatian dari anak itu.
“Daniel Nakamura Kobayashi,” anak itu menyebutkan namanya panjang lebar dengan sebuah gerakan tubuh dengan tarian yang cukup aneh dan lucu.
Minami tertawa. “Kamu lucu ya,” katanya. “Baru aku lihat ada anak yang ngenalin diri sambil nari. Aku jadi tahu, sekarang kenapa kamu suruh aku langsung tanya ke adikmu ini.” Ia mengalihkan pandangannya pada anak itu. “Terus manggilnya kamu apa?”
“Naka,” jawabnya sambil menari lagi.
Minami pun tertawa lagi.
Bukk! Tiba-tiba muncul seorang wanita paruh baya yang baru saja memukul punggung Tommy. Tawa Minami pun berhenti seketika.
“Tommy, ada tamu kok nggak dikasi minum sih?”
“Mama,” Naka melompat ke pelukan wanita itu.
“Oh iya, aku lupa banget ma,” Tommy menempelak dahinya. “Maaf ya, Minami. Aku lupa. Tunggu disini, aku buatin dulu.”
“Jangan, nggak usah repot-repot,” sahut Minami cepat.
“Nggak papa, biar sekali-sekali dia melayani tamu selama pembantu kami pulang untuk Lebaran,” kata wanita yang Tommy sebut mama itu yang kemudian duduk di sebelah Minami dengan Naka di pangkuannya. “Kamu teman kuliah Tommy ya?”
Minami menggeleng. “Bukan, saya hanya pengunjung dari Pantai Marina,” jawab Minami.
“Aku nggak ngerti tuh,”
“Begini tante. Tadi waktu saya ke tepi pantai, saya lihat Naka seperti akan jatuh ke bebatuan di tepi pantai, makanya saya cepat-cepat tolong dia, dan bawa dia kembali kesini,” jelas Minami.
“Memang, si Tommy nih nggak pinter jagain satu adik aja,” wanita itu menggeleng-geleng.
Minami tertawa kecil.
Tak lama Tommy datang dengan segelas orange juice. “Silakan diminum,” ia meletakkan gelas itu di atas meja tepat di depan Minami, “Maaf ya kalo terlalu asem.” lalu duduk.
“Aku harap nggak,” kata Minami.
“Tommy, kenapa kamu nggak bisa jagain Naka baik-baik?” tanya wanita itu ketus. “Kalo dia kenapa-napa gimana? Kamu apa nggak mikir kalo dia tu anak kecil yang bisa bahaya kalo pergi keluar rumah sendirian.”
Wanita itu terus memarahi Tommy. Minami merasa kehadirannya tidak lagi senyaman tadi. Ia tidak seharusnya mendengarkan masalah pribadi yang telah mulai diungkit di depannya oleh wanita itu kepada Tommy.
“Ehem,” Minami berdehem. “Saya pamit pulang dulu ya tante. Saya rasa, sudah terlalu lama saya berada disini.”
“Biar aku anter kamu keluar,” sahut Tommy cepat lalu berdiri di samping Minami.
“Besok kesini lagi ya kakak,” kata Naka dengan senyum manisnya.
“Iya sayang, daa daa” katanya sambil melambai pada Naka.
Minami dan Tommy pun keluar dari rumah itu.
“Minami, aku minta maaf ya,” kata Tommy dengan kepala tertunduk.
“Untuk apa Tom? Kamu nggak salah kok sama aku,”
“Waktu mamaku membuat kamu ngerasa nggak nyaman dengan kata-kata kasarnya ke aku,” jelasnya.
Minami tersenyum. “Nggak papa, Tom,” katanya.
“Sekali lagi terima kasih banyak ya, Minami,”
“Sama-sama,” sahut Minami. “Aku pulang ya, Tom. Bye.” Ia membalikkan badannya menghadap gerbang.
“Aku harap, besok kamu kembali lagi kesini dan menemaniku sampai matahari terbenam,” kata Tommy sebelum Minami mengambil langkah pertamanya. “Tidak hanya sampai tengah hari seperti sekarang.”
“Memangnya kenapa harus sampai matahari terbenam?” tanya Minami yang menjadi penasaran atas harapan Tommy akan kedatangannya.
“Kumohon datang saja besok dan aku akan beritahu,” kata Tommy.
Minami tidak ingin bertanya lagi setelah mendengar permintaan Tommy. Ia merasa ada sesuatu yang Tommy perlukan darinya. Ia menahan perkataannya dan hanya mengangguk.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Minami Fujita (Chapter 2)

Ia pun pergi keluar sendirian. Dengan mobil Honda Jazz biru miliknya, ia melaju menelusuri jalan Arteri yang menuju ke pantai Marina.
Namun, rasa senangnya tiba-tiba berakhir ketika ia tak melihat pantai yang dulu pernah membuatnya tak mau pulang. Pantai ini tak sebagus sepuluh tahun yang lalu.
“Pantai apa ini?” katanya kecewa saat ia keluar dari mobil. “Gini nih nggak buat aku betah, rasanya pengen pulang aja deh.”
Memang sekarang Pantai Marina tak semenarik dulu. Sekarang banyak pasir yang telah hilang karena sebagian pasirnya diambil untuk pembangunan jembatan yang menghubungkan pantai Marina dengan Bandara Ahmad Yani Semarang. Begitulah kata seorang nelayan yang ia tanyai.
“Bener kak Yuri nih stay di rumah, pulang aja deh,” ia melangkahkan kakinya berbalik menuju mobilnya.
Tapi tiba-tiba pandangannya tertuju pada seorang anak laki-laki berumur sekitar lima tahun yang sedang bermain di dekat bebatuan laut besar yang berada tak jauh dari tempat ia berdiri sekarang. Posisi anak itu terlihat berbahaya baginya. Tanpa pikir panjang, Minami segera berlari ke tempat dimana anak itu berdiri.
Rupanya dugaannya benar. Sesaat ia berada di dekat anak itu, batu yang licin membuat anak itu hampir saja terpeleset. Tapi untungnya gerakan Minami yang cepat telah mencegah anak itu untuk jatuh.
“Adik kecil, kamu nggak papa?” tanya Minami.
Anak itu hanya terdiam. Ia terlihat seperti agak shock dengan kejadian yang hampir membuatnya jatuh ke laut. Dan tiba-tiba ia mulai menangis.
“Aku takut,” isak anak itu.
“Nggak papa,” Minami memeluk dan membelai rambut anak itu. “Ada kakak disini. Jangan takut ya. Kamu kan baik-baik aja.” Ia menghapus air mata anak itu.
Anak itu mengangguk dan mulai berhenti menangis.
“Rumahmu dimana? Biar kakak anterin pulang ke rumah ya,” kata Minami.
Anak itu menunjuk sebuah rumah yang besar, yang berada di dalam kompleks perumahan Grand Marina yang tidak jauh dari situ dan arahnya menghadap pantai.
Minami pun menggendong anak itu dan berjalan masuk menuju kompleks perumahan itu. Ia menelusuri jalan itu dan akhirnya menemukan rumah yang tadi ia lihat dari tepi pantai.
“Nah, sekarang kita udah sampai nih,” kata Minami saat ia berdiri di depan rumah yang tak hanya besar, tapi juga sangat mewah itu.
“Ayo masuk ke dalam,” kata anak itu.
Minami pun berjalan lebih dekat menuju ke pintu. Ia menekan tombol bel dan menunggu.
Tak lama, pintu pun dibuka. Seorang pemuda yang tampan berdiri disana dengan ekspresi terkejut.
“Hai,” sapa Minami.
“Hai,” balas pemuda itu dengan salah tingkah.
“Apakah ini adikmu?” tanya Minami sambil menunjuk anak yang sedang digendongnya.
Pemuda itu mengalihkan pandangannya sebentar kepada anak itu dan kembali lagi kepada Minami. Ia mengangguk dan mengambil anak itu dari Minami.
“Kak, aku tadi hampir jatuh, tapi dia menyelamatkan aku,” kata anak itu.
“Maafin kakak ya tadi nggak tahu kalo kamu mau ke pantai,” kata pemuda itu dengan lembut. Ia kembali mengalihkan pandangannya pada Minami. “Dan kamu, makasih banyak ya udah nyelametin adikku,” ia membungkuk.
Minami tersenyum. “Nggak papa. Aku juga tadi cuma lewat dan lihat adikmu dalam keadaan bahaya lalu segera nolong dia,” sahutnya.
Pemuda itu mengangguk. “Kamu mau masuk dulu?” ia menawarkan.
Minami menggeleng. “Nggak, aku pulang ke rumah saja,” jawabnya. “Aku juga nggak tahu apa yang harus aku lakukan di pantai.”
“Tapi kan kamu nggak lagi di pantai, tapi di rumahku,” pemuda itu mencoba bergurau.
Minami tertawa kecil. “Iya sih,” katanya.
“Masuk kak,” anak itu berusaha meraih tangan Minami, tapi tidak sampai.
“Apa?” Minami berusaha menangkap kata-kata anak itu yang tidak terlalu jelas ia dengar.
“Masuk, kak, itu yang dia katakan,” pemuda itu memperjelas. “Kurasa, kamu nggak akan nolak permintaan anak kecil kan?”
Minami berpikir sejenak. “Iya deh,” katanya.
Pemuda itu tersenyum. “Silakan masuk,” katanya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Minami Fujita (Chapter 1)

Teeettt!!! Teeettt!!! Teeettt!!!
“Itu bunyi bel sekolah! Waktunya masuk ke kelas”, pikir Minami. Ia berlari dengan segera ke ruang kelasnya.
Minami Fujita. Seorang anak yang periang, anak blasteran dari pria Indonesia dan wanita Jepang. Karenanya, wajahnya pun tampak tidak seperti orang Indonesia asli. Matanya sipit dan kulitnya putih. Tapi karena sejak umur lima tahun ia tinggal di Indonesia, cara bicara dan gaya hidupnya pun telah menjadi seperti orang Indonesia kebanyakkan.
“Darimana aja lo? Kok nggak biasanya sih lo dateng telat?” tanya Tasya, teman sebangkunya.
Anou..,” Minami kembali mengeluarkan aksen Jepang-nya, “tadi aku nggak nyangka kalo jalanan bakal macet di jalan Pemuda padahal aku udah santai-santai aja berangkat jam setengah tujuh, ternyata malah terlambat deh.” Ia menyeringai tanpa dosa.
Tasya tertawa kecil. “Sejak kapan lo ngentengin untuk dateng ke sekolah?”
Minami hanya tersenyum penuh misterius.
“Eh, kok cuma senyum sih?” Tasya menaikkan alisnya. Ia sepertinya membaca ekspresi wajah sahabatnya yang hari ini terlihat berbeda. “Misterius gitu pula.”
“Nanti aku cerita ke kamu habis pulang sekolah,” bisik Minami. “Pak Joko udah dateng tuh. Siapkan dirimu untuk menghadapi mate-MATI-ka.” Lalu tertawa kecil.

Seusai sekolah, seperti biasa Minami dan Tasya pergi ke toko aksesoris milik mereka di Paragon Mall yang dinamai seperti nama pemiliknya. MINAMI. Mereka selalu memeriksa secara rutin keadaan toko mereka yang baru saja didirikan itu. Bagaimana pendapatan mereka hari itu, kondisi toko mereka dan berapa banyak pengunjung yang datang kesana. Dan hari ini, hasilnya cukup memuaskan. Hal ini membuat perasaan Minami menjadi semakin senang saja.
“Gimana Mi? Katanya lo mau cerita?” Tasya mengingatkan dengan percakapan mereka yang terputus tadi pagi di kelas.
Minami tersenyum. “Oh,” sahutnya singkat.
“Oh doang?”
“Ke Starbuck yuk,” ajak Minami. “Karena aku bakal ceritain sesuatu yang agak panjang untuk didengerin.”
Mereka pun berjalan menuju ke lantai dasar dimana Starbuck berada. Mereka mengambil tempat yang paling nyaman di sudut ruangan.
Two hot chocolate, please,” kata Minami kepada seorang pramusaji.
“Baik, silakan tunggu sebentar,” kata pramusaji itu yang kemudian berjalan menuju dapur.
“Ehem,” Tasya berdehem. “Aku siap dengerin kok.”
Minami tersenyum lagi. “Begini,” ia memulai ceritanya.
*********************************************************************
Jam 06.02.
Hari ini cerah sekali. Langit berwarna biru muda terang. Seperti warna kesukaannya. Hari pertama dari liburan sebulan penuh adalah waktu yang baik untuk berjalan-jalan ke pantai. Ke tempat yang sudah lama sekali tidak ia kunjungi.
Onechan,” ia memanggil kakaknya perempuan yang sedang berbaring di ranjang kamarnya. “Mau ikut ke pantai nggak?”
Ia menggeleng.
“Ayolah Yuri chan, kakakku yang manis,” rayu Minami. “Aku lagi ngerasa bersemangat ini. Kita kan harus mengisi liburan kita dengan kegiatan yang menyenangkan!”
“Nggak ah, Mi,” Yuri menolak. “Aku lagi asik internetan sama temenku yang di Jepang nih.”
Wajah Minami tiba-tiba tampak berbinar. “Yang bener? Siapa?” tanyanya penasaran. “Kakaknya Ryoko, temen TK-ku ya?”
“Eeh,” Yuri memanyunkan bibirnya. “Itu cuman kenangan lama. Lagian kan cuman cinta monyet. Aku umur enam, dia tujuh. Masih kecil banget kali kita waktu itu. Dia juga wajahnya jelek kok sekarang. Aku nggak suka.”
“Iya, iya,” Minami tiba-tiba ingin mencegah perdebatan dengan kakaknya yang biasanya terjadi hanya karena hal sepele. “Gimana nih? Jadi nggak nemenin aku?” ia kembali berusaha merayu kakaknya.
“Sekali tidak tetap tidak,” Yuri mengatakannya dengan tegas.
Minami mendegus. “Memang kamu tuh, kalo udah di depan laptop aja, lupa segalanya,” lalu pergi meninggalkan Yuri.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Motivator In My Heart (Chapter 8)

Tok! Tok! Tok!
Terdengar suara orang mengetuk pintu kamarnya.
“Mungkin itu Derek,” Rachel beranjak pergi dan membukakan pintu.
Bukannya Derek, tapi seorang pelayan pria yang sekarang sedang berdiri di depannya.
“Nona, ada sebuah pesan untuk anda,” pria itu menyodorkan selembar kertas pada Racel.
Belum sempat Rachel bertanya, pelayan itu sudah pergi.
“Apa ini?” ia masuk kembali ke kamar dan menutup pintu. Ia pun membuka lembaran kertas itu.

Rachel, kamu tidurlah dulu. Nanti pukul empat sore, ada beberapa pelayan yang akan membantumu untuk berdandan.
Setelah kamu selesai, turunlah ke lobi bawah, ke tempat pertama tadi kita tiba. Dan jawaban atas pertanyaan-pertanyaanmu akan terjawab. OK?
See you later.
-Derek-



“Ini lagi,” Rachel menggeleng-gelengkan kepala. “Tambah aneh aja.”

Pukul 17.00 WIB.
Rachel telah selesai berdandan. Ia berpakaiakan gaun yang sangat indah dan membuatnya seperti puteri kerajaan. Dan kemudian, ia pun turun ke lobi sesuai permintaan Derek.
Sementara ia berjalan menyusuri lobi, matanya menelusuri seluruh sudut ruangan. Namun, tak dilihatnya Derek, ataupun yang lain. Disana hanya ada beberapa buah meja set yang tertata rapi dengan lilin di setiap meja.
Namun ada satu yang berbeda, dan ini membuat matanya terfokus ke satu hal. Ada satu meja yang terletak di tengah yang memiliki lilin paling besar dan indah. Lalu ia berjalan mendekat ke meja itu.
“Terima kasih banyak telah mengikuti apa yang aku minta, yang mungkin membuatmu sangat bingung,” sebuah suara terdengar dari balik Rachel.
Dengan segera, Rachel membalikkan tubuhnya ke arah suara itu. Dilihatnya Derek sedang berdiri memandangnya di balik balutan tuxedo mewah.
“Derek?”
Derek pun menghampiri Rachel. Ia meminta Rachel duduk tepat dimana ia sedang berdiri. Meja yang paling tengah dengan lilin yang paling besar itu tentunya.
“Bisakah kamu menjelaskan apa arti dari semua ini?” tanya Rachel segera sesaat setelah mereka duduk saling berhadapan. “Please, for this time, answer my question. I am really confused now and have no idea about all of these things.
Derek tersenyum. “Sepuluh tahun yang lalu, di kapal ini ada dua orang anak kecil, satu laki-laki dan yang lain perempuan, yang sama-sama tersesat dan kehilangan orang tua. Mereka kemudian bertemu dan saling berkenalan,” ia mulai bercerita. Dalam kapal pesiar yang sangat besar ini, dengan begitu banyak orang, mereka bersama-sama mencari orang tua mereka. Dan selama itu, kesedihan anak laki-laki itu hilang saat ia bersama dengan gadis kecil yang di sampingnya itu. Gadis kecil yang sedang putus asa tapi sanggup membangkitkan semangat anak laki-laki itu. Dan saat mereka berpisah, saat mereka telah menemukan orang tua mereka masing-masing, mereka saling berjanji akan bertemu kembali di tempat ini setelah mereka beranjak dewasa. Dan setelah bertemu lagi, mereka berjanji pula tidak akan pernah berpisah lagi.”
Rachel terpaku. Air matanya yang sejak awal Derek bercerita telah mulai terbendung, akhirnya jatuh dan membasahi kedua pipinya.
“Dan itu kita,” Derek mengakhiri ceritanya.
“Dua belas tahun─,” kata Rachel terbata-bata, “dan kamu masih mengingat perjanjian dua orang anak kecil?”
Derek beranjak dari kursinya dan menghampiri Rachel. Ia membungkuk dan menghapus air mata Rachel.
“Aku tidak pernah sedikitpun melupakannya,” bisik Derek yang kemudian membuat Rachel berdiri, berhadapan dengannya. “Untuk seseorang yang selalu menjadi semangat hidupku, tidak ada satu hal pun yang dapat membuatku lupa tentang kamu.”
Rachel pun memeluk Derek. Ia tak sanggup lagi menahan rindunya. Sementara itu, air matanya terus mengalir deras. Ia tak pernah menyangka akan bertemu lagi dengan orang yang paling ia ingin temui selama ini.
“Selama ini aku mencarimu, dan aku hampir saja putus asa,” Derek angkat bicara lagi. “Tiba-tiba saja, aku mendengar bahwa kamu tinggal di Indonesia. Dengan segera tawaran yang Papaku berikan untuk memimpin perusahaannya di Indonesia, kuterima dengan harapan untuk bertemu denganmu. Jujur, sebenarnya aku takut untuk mengetahui kalau seandainya kamu sudah memiliki kekasih, aku akan merasa sangat kecewa.”
Rachel menghapus air matanya. Lalu ia mendongak dan memandang Derek. “Tapi kekhawatiranmu tidak terbukti kan? Karena aku juga selalu berharap bahwa aku dapat bertemu lagi denganmu,” katanya. “Tapi, aku pun juga berpikir apakah kamu sudah memiliki kekasih di luar sana.”
“Kekhawatiranmu juga tidak terbukti,”kata Derek.
Rachel tertawa kecil. “Tapi, bagaimana kamu mengenaliku?” tanya Rachel. “Bukankah aku yang sekarang dan aku yang dulu berbeda? Dan lagipula, waktu itu kita hanya bersama selama satu hari saja.”
“Kubilang aku tidak dapat melupakanmu,” sahut Derek sambil menghapus air mata Rachel yang menetes lagi. “Semenjak kita bertemu di acara kontes designer itu, aku sudah merasakan sesuatu. Perasaanku mengatakan bahwa itu kamu.”
Rachel tersenyum dengan wajah memerah. “Lalu?”
“Dan aku merasa yakin bahwa itu kamu setelah membaca cerita yang kamu buat di kontes menulis itu,” lanjut Derek. “Kamu menceritakan kisah kita hari itu dan memberi ending yang indah seperti yang aku lakukan sekarang padamu.”
“Jadi kamu membaca ceritaku?” tanya Rachel.
Derek mengangguk. “Dan kamu tahu? Wajahmu boleh saja berubah, tapi tidak dengan sikap dan caramu berbicara,” katanya.
Rachel tersenyum lagi. “Terima kasih untuk terus mencariku,” katanya. “Karena kalau kamu tidak melakukannya, aku tidak akan sanggup melakukannya dengan segala tekanan dan kesibukan yang aku dapatkan disini.”
I will be wherever you are,” bisik Derek. “Aku tidak akan pernah meninggalkanmu.”
“Eehheemm!!” seseorang berdehem dari kejauhan.
Rachel pun segera melepaskan pelukannya dari Derek dan membersihkan air matanya yang masih tersisa di wajahnya. Lalu ia melongok ke arah suara yang terdengar dari balik punggung Derek.
“Loe sih,” Susan berjalan mendekat dengan Mita di sampingnya, “nggak pernah cerita-cerita tentang ini. Padahal kan kita udah sahabatan bertahun-tahun, atau lebih tepatnya, sejak kita nih lahir ceprot.”
Mita berdecak sambil menyenggong Susan dengan sikunya. “Maafkan dia ya Rachel. Jangan pikirin kata-katanya,” sahutya.
Rachel hanya tertawa.
“Yah, paling enggak, setelah kamu berhasil di kontes menulis, kamu juga nemuin cinta sejatimu,” kata Mita lagi.
“Se─tu─ju,” timpal Susan. “Emang loe tuh beruntung banget. Kehidupan yang loe pikir tadinya nggak berarti, malah ternyata lebih dari berharga. More precious than any diamonds.”
Mita dan Rachel tertawa, dan kemudian disusul Derek.
“Wow, keren ya Susan,” Mita berdecak kagum.
“Heh, nggak usah gitu loe,” celetuk Susan. “Gue juga bisa ngomong kayak para filsuf kalee.”
Rachel, Mita dan Derek tertawa lagi melihat tingkah Susan.
“Oh ya, orang tua kami dimana?” tanya Derek pada Susan dan Mita.
“Orang tua─kita?” Rachel terperanjat.
“Itu mereka,” Mita menunjuk ke sudut lobi di dekat tangga naik, dimana orang tua Derek dan Rachel telah menunggu dan dan sekarang keluar menghampiri kedua anak mereka.
Why are they here too?” tanya Rachel yang masih kebingungan. “Papa sama Mama?” Ia tersenyum bingung pada orang tuanya. Lalu kepada orang tua Derek. “Mr. And Mrs. Richardson?”
Tanpa menghiraukan komentar Rachel, Derek berlutut di hadapannya. Ia menyodorkan sebuah kotak putih berbentuk hati dengan sebuah cincin berlian di dalamnya. “Will you marry me?”
Rachel tersenyum lebar. Sangat lebar. Wajahnya merona dan sebuah air mata menetes di pipi kanannya. Ia memandang kedua orang tuanya yang mengangguk tanda setuju.
Rachel kembali memandang Derek. “I will,” lalu membuat Derek berdiri.
Kemudian, Derek mengambil cincin itu dari kotaknya dan memakaikannya pada jari manis tangan kanan Rachel.
This is so beautiful, Derek,” kata Rachel saat memandang cincin itu.
Semua yang hadir disitu bertepuk tangan untuk Derek dan Rachel.
“Tapi yang paling penting bukan cincin ini,” lanjut Rachel. “Karena sekarang, aku telah memiliki seseorang yang more precious than any diamonds. Setuju, Sue?” Ia berpaling pada Susan.
Susan mengangguk.
“Wah, beberapa hari lagi bakal ada yang ganti nama nih,” celetuk Mita.
“Kok bisa?” tanya Susan. “Siapa? Dan jadi apa?”
Mita tersenyum. “Rachel Richardson,” jawabnya. “Lebih tepatnya, Nyonya Rachel Richardson.”
Semua yang ada disitu tertawa bahagia.
“Memangnya akan secepat itu?” Rachel berpaling memandang kepada Derek.
If you wish,” bisik Derek.

-The End-

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Banner Exchange

Neng Hepi Blog, Banner