Halaman

Pemeran Utama - A Short Mixed Bilingual Story (Final)


Verona - Natalie
Kedua sahabat itu bergandengan tangan saat keluar dari kampus setelah menyelesaikan seluruh kuliah mereka hari ini. Mereka berjalan menuju teras samping dan duduk disana sambil menikmati angin sepoi-sepoi.
“Lagi seneng, dapet Beasiswa Djarum nih,” Verona menyenggol sahabatnya.
Praise the Lord, penelitianku untuk ngembangin bahasa Inggris di panti asuhan diterima,” kata Natalie senang.
“Aneh ya?” kata Verona.
“Aneh?” Natalie tidak mengerti.
“Iya aneh,” sahut Verona. “Waktu kita pisah, kita malah nemuin pasangan masing-masing.”
Natalie tertawa. “Kamu nggak nyambung deh. Anyway, aku sama sekali nggak ngerencanain itu lho, Ve,” katanya. “Aku aja nggak nyangka.”
Verona mengangguk-angguk. “Emang aku juga nyangka kalo selama ini ooh-ku udah buat rencana-rencana itu?” katanya lalu tertawa juga.
“Berarti aku bener kan kalo you deserve the best kayak siapa namanya? Ricardo?”
Verona mengiyakan.
“Tuh bener kan. Asal percaya aja Tuhan sediain yang terbaik buat kita,” kata Natalie.
“Tul betul,” Verona setuju. Ia mencubit pipi kanan Natalie.
“Ih, jangan nyubit-nyubit dong,” keluh Natalie.
“Oh ya, Daniel kapan mulai jadi volunteer disini?” Verona mengalihkan pembicaraan tanpa mempedulikan keluhan Natalie sebelumnya.
Natalie mengelus-elus pipinya yang dicubit itu. “Besok mungkin. Soalnya dia balik ke Amerika cuman dua minggu untuk ngambil barang-barangnya plus ngabarin om tantenya,” jawabnya. “Tapi dia udah nyampe disini kemarin malem. Jadi habis ini aku sama dia mau makan siang sama-sama.”
“Kalo gitu, kalian barengan aku sama Ricardo aja,” sahut Verona senang. “Kita lunch bareng. Setuju?”
“Setuju lah,” Natalie tersenyum. “Tapi pulangnya minta tolong Ricardo anterin ke rumahku ya.”
“Ah, itu sih gampang,” kata Verona dengan yakin. “Kalo gitu aku kabarin oh Ricardo, kamu kabarin Daniel.”
“Sip,” sahut Natalie lalu mengambil handphone­-nya dan menelepon Daniel.

 

Di kisah ini, siapakah yang menjadi pemeran utamanya? Well, tentukan saja sendiri, siapa bagimu yang merupakan pemeran utamanya. Bagiku sebagai penulisnya, semuanya pemeran utama, karena aku yang membuatnya. Haha. And I like them all, including the quote, ‘Nothing can stop love’. J

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Pemeran Utama - A Short Mixed Bilingual Story (Chapter 9)


Natalie
Hari-hari berlalu dengan cepat. Sesuai dengan ancaman Cindy, Natalie mulai menjauh dari Daniel. Ia paling merasa malas untuk bermusuhan dengan orang lain. Pikirnya, daripada perang terjadi, lebih baik ia yang mengalah.
Dari hari ke hari, setiap kali Daniel mendekatinya untuk meminta bantuan, ia selalu menghindar. Layaknya sedang berada di medan perang, ia berawas-awas kalau-kalau musuhnya, Daniel muncul. Karena itu, ia jauh lebih sering untuk berada di dalam kamar dan menyelesaikan catatan-catatan untuk penelitiannya. Ia merasa lega hal ini bisa menjadi alasan yang sangat baik untuk tidak bertemu dengan Daniel. Larangan mutlak untuk laki-laki memasuki kamar perempuan.
Setelah semalam-malaman Natalie tidak dapat memejamkan matanya karena suara-suara berisik katak dan jangkrik yang tidak biasanya mengganggunya, pagi pun tiba. Ini adalah hari terakhir ia ada di panti asuhan ini. Karenanya seluruh peserta dibebastugaskan dari segala pekerjaan apapun untuk menikmati hari terakhir mereka di panti.
Sekitar pukul tujuh pagi, saat semua peserta berada di luar kamar dan berolahraga, Natalie justru kembali lagi menghadapi buku jurnalnya dan menambahkan sedikit catatan setelah membersihkan tempat tidurnya. Ketika ia catatannya hampir ia selesaikan, tiba-tiba terdengar pintu kamarnya dibanting dengan keras. Ia pun berpaling dengan cepat ke arah pintu kamar yang dibanting itu. Ia melihat Cindy berdiri di ambang pintu dengan wajah gusar.
Natalie pun merasa terkejut melihatnya, tapi ia tetap berusaha tenang. Ia menutup buku jurnalnya dan duduk menghadap Cindy yang kemudian datang mendekatinya.
“Kamu tuh ya! Ngeselin banget !!!!” ia berteriak pada Natalie sambil menunjuk-nunjuknya.
Natalie pun berdiri di hadapan Cindy. “Bukannya aku selama ini udah ngelakuin apa yang kamu mau? Aku udah nggak deket lagi sama Daniel sampe aku selalu ada di kamar supanya nggak ketemu sama dia? Udah ada kesempatan banyak banget kan seminggu ini untuk deketin Daniel? Udah bilang kamu suka sama dia belum?” katanya.
Cindy berteriak melengking dengan keras. Lalu ia terduduk di lantai dan menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Ia menangis tersedu-sedu.
Merasa bingung, Natalie duduk di depan Cindy. Awalnya ia ragu untuk menyentuhnya, tapi Natalie memberanikan diri dan kemudian membelai lengan Cindy.
“Kenapa Cindy?” tanya Natalie. “Aku ngomong salah sama kamu? Aku minta maaf kalau perkataanku salah.” Ia bersikap lapang dada kalau-kalau Cindy akan meneriakinya lagi dan menyalahkannya atas hal yang sebenarnya tidak ia mengerti.
“Aku udah berusaha deketin Daniel,” Cindy terisak. “Awalnya dia nggak bisa dideketin tapi akhirnya bisa. Tapi waktu aku udah mulai ngobrol sama dia, bukannya bahas tentang aku atau dia sendiri, dia selalu ngomongin tentang cewek lain.”
“Cewek lain?” gumam Natalie. “Aku ngerasa dia belum punya pacar deh.”
“Terus waktu kemarin malam, pas aku ngelakuin apa yang kamu bilang ke aku untuk nyatain perasaanku ke dia, kalau aku suka dia,” Cindy terisak lebih lagi, “dia nolak aku.”
Natalie membelai punggung Cindy. “Cindy, jangan nangis gitu,” ia berusaha menghiburnya.
“Dia bilang dia udah suka sama orang lain,” lanjutnya. “Dia tuh suka sama, sama─” tanpa menyelesaikan kalimatnya, Cindy berlari ke luar dari kamar dan meninggalkan Natalie.
Merasa bingung dan seperti tidak bisa mengatakan apapun, Natalie duduk termenung. Ia tidak mengerti dengan sikap Cindy. Sebentar-sebentar, ia bisa menjadi musuh, sebentar-sebentar, ia seperti seorang anak kecil yang menangis dan marah karena permintaannya tidak dipenuhi.
Natalie menggaruk kepalanya. Ia tidak mau berurusan lagi dengan Cindy dan masalahnya dengan Daniel itu. Masa bodoh lah sama mereka. Aku punya urusan yang lebih penting untuk ada di panti ini. Dapet beasiswa! pikirnya dalam hati.
Ia pun memutuskan untuk kembali pada buku jurnalnya. Ia mengambil pulpennya dan mulai menulis lagi. Beberapa lama kemudian, seluruh kegiatan, aktivitas, dan hal-hal baru yang ditemukannya di panti ini yang ia ingin jadikan sebagai bahan penelitiannya pun sudah tercatat dalam buku jurnalnya. Ia pun membereskan alat-alat tulisnya dan memasukkan semuanya ke dalam tasnya.
Natalie melirik jam tangannya. Sudah pukul 7.24 pagi. Sebentar lagi sarapan pagi disiapkan. Seperti yang sudah dilakukannya sebelumnya, ia selalu datang lebih awal untuk sarapan agar tidak bertemu dengan Daniel.
Sesuai dugaannya, ruang makan sepi. Tidak ada orang satu pun disana, tapi sarapan sudah siap tersedia. Dengan cepat ia mengambil sarapan dan menghabiskannya. Saat ia akan kembali lagi ke dalam kamar, ia berpapasan dengan Daniel.
Natalie, wait,” Daniel menahan tangan Natalie saat ia akan pergi menghindar.
Excuse me. I need to go to my room now,” Natalie berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Daniel.
Tapi Daniel semakin erat menggenggam tangan Natalie.
Daniel,”
Oh, you still remember my name after a full week you prevented from meeting me! Praise the Lord!” kata Daniel.
It’s not funny,” kata Natalie ketus. “Let go off my hand.”
But it’s true that I’m glad to know this,” bukannya melepaskan tangan Natalie, Daniel tetap saja menggenggam tangannya. “I’m just wondering, why did you avoid to see me suddenly?
Natalie tidak menjawab. Ia hanya memandang jauh ke arah lain dan berusaha untuk tidak melihat Daniel.
Natalie, please asnwer me and don’t just be quiet,” pinta Daniel.
Don’t you realize that there’s a girl who likes you?”
Who?”
Oh goodness, you really don’t know?”
Did you mean Cindy?
Natalie mendengus. “Yes! Cindy likes you! Don’t you know that? Don’t you remember she told you that she liked you?” serunya. “I don’t want to dispute with her. I avoided to see you because I want to give her more space, more chance and more time to be with you!
I do remember that, Natalie,” kata Daniel pelan. Ia pun melepaskan genggamannya dari Natalie. “You don’t have to shout at me like that.”
Natalie menjadi sadar bahwa ia telah bersalah dengan berteriak pada Daniel. Tapi ia terlalu gengsi untuk meminta maaf. Tanpa sepatah kata lagi ia berjalan meninggalkan Daniel menuju ke kamarnya.
Natalie duduk terkulai di atas kasur tipisnya. Ia termenung memikirkan perbuatannya pada Daniel. Ia merasa sangat menyesal. Ia kejam sekali padanya dengan membentaknya. Seharusnya ia bicara baik-baik padanya dan menjelaskan bahwa Cindy menyukainya.
Sehari-harian Natalie pun duduk di tempat yang sama sambil membuka internet melalui handphone-nya karena novel impornya tertinggal di rumahnya. Tanpa tujuan, ia asal membuka berbagai situs yang berisi artikel yang akhirnya tidak ia baca.
Peserta perempuan lainnya sudah berulang kali mengajak Natalie untuk berjalan-jalan atau melakukan hal lainnya setiap kali mereka masuk ke dalam kamar. Tapi Natalie selalu menolak ajakan mereka. Lama kelamaan tanpa sadar, karena merasa suntuk, akhirnya ia tertidur dengan posisi bersandar di dinding. Cukup lama ia tertidur dengan pulas karena malam lalu ia tidak bisa tidur.
Tapi tiba-tiba saja ia dibangunkan karena ia merasa tubuhnya diguncang-guncang. Ia membuka matanya dan melihat Daniel ada di sebelahnya.
What are you doing here?” Natalie merasa terkejut. “You must know that boys are not allowed to enter the girls’─”
Don’t talk, just come with me because there’s a big fire!” Daniel memutus perkataan Natalie.
Natalie benar-benar terkejut. “Fire? Where is the fire?” tanyanya dengan ketakutan.
We don’t have time! We have to go out now!” Daniel pun menarik tangan Natalie dan menggandengnya keluar dari kamarnya.
Dengan penampilan Natalie yang agak berantakan karena baru saja bangun tidur, ia dan Daniel berlari ke lapangan belakang panti. Di tengah-tengah lapangan, mereka berhenti.
I don’t see any fire or smoke, Daniel. Where’s the fire?” tanya Natalie. Jantungnya masih berdegup kencang karena merasa cemas. “And why there are only us? Where’s the other? Have they already been saved before you found me?
Daniel menggenggam kedua tangan Natalie. “Your hands are so cool,” katanya dengan agak sedikit terkejut.
“Of course. It always happens when I am anxious of something,” sahut Natalie. Ia melihat ke sekelilingnya lalu kepada Daniel. “You haven’t answer my question.”
Questions,” Daniel mengoreksi.
Yes, that’s what I meant,” sahut Natalie. “Hey, just answer. Where’s the big fire like you have said?
Daniel menarik kedua tangan Natalie dan meletakannya di depan dadanya. “It’s here. There’s a big fire here. I really can’t extinguish it,” katanya seraya memandang Natalie lekat-lekat.
Don’t kidding me, Daniel,” Natalie masih merasa cemas sampai ia tidak mengerti perkataan Daniel.
Listen,”
Natalie pun memandang Daniel.
there’s no fire in the orphanage,” lanjutnya. “There’s only a big fire of my love for you, here in my heart.” Daniel erat menggenggam kedua tangan Natalie.
Natalie menelan ludahnya. Ia hampir tidak percaya akan perkataan Daniel. Ia tercengang mendengar pengakuan Daniel padanya.
How about Cindy?” Natalie teringat kembali.
Daniel menggeleng dan tersenyum. “She won’t care about me or you anymore,” jawabnya. “I’ve talked to her.
That’s true!” seseorang berseru dari belakang mereka.
“Cindy?” cepat-cepat Natalie melepaskan tangannya dari genggaman Daniel.
It’s impossible to make him stop talking about you,” Cindy berjalan mendekati mereka. Ia menyentuh lengan Natalie. “Thank you for being nice even though I was so rude to you. You’re a really nice girl, and you deserve to have him. On the contrary, Daniel will be so lucky to have you.
Natalie mengerutkan alisnya. “Ini beneran Cindy yang tadi marah-marah sama nangis di deketku?” tanyanya. “Kenapa jadi kayak malaikat penolong? Baik banget?”
Cindy tertawa. “Makasi nggak ngomong pake Inggris tentang ini. Tapi iya ini aku lah,” katanya.
What are you girls talking about? Talking about me?” tanya Daniel.
No, it’s girl’s stuff,” sahut Cindy. “Now, my business is over. I need to go now. Can’t hold to get some rest. Bye.” Ia pun pergi tanpa menunggu respon dari Natalie maupun Daniel.
Is it clear enough for you? Is there another barrier to be taken away to let me love you?” Daniel mengalihkan perhatian Natalie.
Natalie tidak menjawab. Ia menggigit bibir atas dan bawahnya bergantian.
Nate,”
No, there’s no more,” kata Natalie, wajahnya terlihat tidak ceria.
So, why do you look so hesitate and unhappy?” tanya Daniel. “Is it because you don’t like me? Or you like somebody else?
Natalie menggeleng. “No, it’s not that,” sahutnya.
So what?
Our meeting ends tomorrow,” ungkap Natalie.
Daniel tersenyum. “Who said so?
What do you mean?
Your campus needs a volunteer to be a lecturer,” kata Daniel.
Natalie memiringkan kepalanya “How could you know that?” tanyanya.
Umm,” sesaat Daniel menahan perkataannya.
Daniel, c’mon. Don’t make me so curious,” Natalie mendesaknya.
Well, this whole week, I’ve searched any ways to stay longer with you. It was so hard. But finally, I figured out that one of the participants is your senior. I asked him anything and I found that I can be a volunteer in your campus for a year,” Daniel menjelaskan panjang lebar.
You really did that to be with me?” tanya Natalie seolah tak percaya dengan usaha yang Daniel lakukan. “But you’re kidding to be a volunteer for a year. Maximum time to be a volunteer is only 6 months.
Nothing can stop love,” kata Daniel mantap.
Natalie tertawa kecil. “I’m dreaming,” katanya. “Aww! It’s hurt!” Ia mengeluh karena Daniel mencubitnya.
It means you’re not,” kata Daniel.
Natalie tertawa. “I mean, I’ve been dreaming for this for the whole time,” ia meneruskan kata-katanya yang sempat terputus.
Daniel mengacak-acak rambut Natalie. “I love you, Nate,” katanya lembut.
Bukannya membalas perkataan Daniel, Natalie celingukan ke sekeliling kanan dan kirinya.
Hey, I told you that I love you. Why don’t you say to me the same in return and not watching something around you?” keluh Daniel. Ia menyilangkan kedua tangannya di dada.
Where is the other? Why, I don’t see anybody around here. Where are they? Why this place is so quiet? Why there are only both of us here?” tanya Natalie seperti menembakan peluru-peluru yang banyak dari senapannya tanpa henti.
Why don’t you just ask me to do something you want and not asking those questions unstoppably, Natalie?”
Because I know you’ll do everything I ask you,” sahut Natalie cepat. Ia tiba-tiba jongkok dan merapikan tali sepatunya. “I love you too and I’m so sorry I have shouted at you.” Lalu ia berdiri lagi.
What did you say?
You know it,” kata Natalie cuek untuk menutupi rasa malunya. Ia beruntung karena kulitnya tidak mudah memerah, jadi tidak terlalu terlihat bahwa ia malu untuk mengungkapkan perasaannya.
Say it again,”
Natalie menggeleng. “Not before you asnwer all of my questions,” katanya. “Do you remember all?
Daniel menghela nafas. “I should not talk about this,” ia berbisik pada Natalie. “But okay, if it makes you say you love me. They are hiding behind us and they are planning to make a surprise for you, that’s why there are only both of us here. So when they make surprise you have to look surprised.
Natalie tertawa kecil.
I’m the smartest student. I’m good at memorizing,” Daniel seolah menyombongkan diri.
And I love that smartest student who is good at memorizing,” sahut Natalie cepat.
Daniel pun memeluk Natalie dengan erat. Saat itu juga, petasan-petasan terdengar meletus di samping mereka.
Tanpa ia sangka, tapi seperti permintaan Daniel, Natalie terkejut. Petasan-petasan itu membuatnya takut.
Kemudian, teman-teman Daniel, seluruh peserta camp dan seluruh anak-anak panti asuhan menampakkan diri dan bersorak riang.
Natalie menjadi lebih terkejut lagi. “Daniel,” ia tertawa tidak percaya sambil memandang Daniel dan sekelilingnya bergantian. “I don’t believe this. You make me like in a movie. Feel that I’m a princess now. But princess who wears jeans. How could you arrange this?” Ia tertawa lagi.
Nothing can stop love,” Daniel kembali mengulang perkataannya.
George datang bersama Henry, Phoebe, Miriam dan Renee. Mereka mengelilingi Daniel dan memeluknya dengan serentak. Sementara itu, Natalie berdiri sambil tertawa melihat mereka.
I’ve known this since you and Natalie were in the side of the river,” kata George mantap. Lalu mereka tertawa bersama-sama.
Saat menikmati pemandangan itu, Natalie berpaling ke belakangnya karena ada yang menarik-narik bajunya. Rupanya ada Siti dan Ami berdiri di belakangnya dan tersenyum. Masing-masing mereka menyodorkan seikat bunga indah berwarna pink dan putih padanya.
What’s this, Daniel?” Natalie berpaling sejenak padanya dan kemudian kembali lagi pada Siti dan Ami. Ia berlutut di depan mereka untuk menyamakan tinggi tubuhnya dengan mereka. “Makasi ya Siti, Ami. Kalian baik banget.”
“Kita disuruh kak Daniel kok,” kata Siti dengan polosnya sambil tersenyum.
Ami pun menyenggol lengannya. “Jangan ngomong dong. Bilang aja dari kita,” ia berbisik. Tapi Natalie mendengarnya.
Natalie tertawa. “Nggak papa, aku juga udah tahu kok,” katanya.
Siti menjulurkan lidahnya pada Ami, dan Ami juga balas menjulurkan lidah.
Natalie berdiri dan berbalik dari Ami kepada Daniel dan teman-temannya. “You,” ia tertawa. “How could you do this? I can’t really believe that you do this. It’s like a fantasy, you know. I can’t say anything.
Daniel melangkah ke depan mendekati Natalie. “You don’t have to say anything, but three,” katanya.
Three?” Natalie memicingkan sebelah matanya dan memiringkan kepalanya.
Dengan jari-jari tangannya, Daniel membentuk huruf I-L-U. “I Love U,” ia mengeja. “It’s an easy thing to say.”
Natalie menunduk sambil tertawa. Tangannya menyokong dahinya dan menggeleng-geleng.
Any more questions to make you say you love me?” goda Daniel.
No,” sahut Natalie. Ia menegakkan kepalanya. “I will say everytime you want, ‘I love you, Daniel.I love you, and I love you, and I love you. And Daniel, thank you for forgiving me, for loving me, for being someone that I will love forever.
Daniel pun memeluknya lagi. Semua orang yang ada disitu pun bersorak dan membuat suasana yang tadinya sunyi menjadi sangat riuh.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Pemeran Utama - A Short Mixed Bilingual Story (Chapter 8)


♥ Verona  ♥
Bagi Verona, dunia rasanya seperti sedang mengalami musim semi. Dimanapun ia berada, rasanya bunga-bunga bertebaran di sekelilingnya. Sejak pertemuannya dengan Ricardo yang kedua di kampus yang akhirnya membawanya kepada perasaan ini, apapun yang ia lakukan selalu berpusat untuk mempercantik dirinya. Bahkan ketika ia sedang kuliah, makan, dan tidur, yang ada di pikirannya adalah Ricardo.
 “Apa aku lagi jatuh cinta ya?” Verona tersenyum sendiri saat ia sedang menyisir rambutnya di depan cermin dalam kamarnya. Perlahan ia menata rambutnya yang baru ia cuci. Kemudian ia mendandani wajahnya secantik mungkin. Sebagai sentuhan akhir, ia pun memakai kalung berbentuk dadu kesayangannya. Sore ini ia akan pergi ke mall menemani kakaknya untuk mencari CD games yang kakaknya suka. Ia pun bersiap dan

“Oh, aku pergi cari makan di lantai dua ya,” kata Verona yang merasa jenuh setelah menunggu kakaknya yang berputar-putar mencari CD games.
“Tungguin bentar,” desak Natan, kakaknya.
Verona berdecak. “Kamu tuh kelamaan banget, oh. Aku udah laper nih,” keluhnya. “Aku cari makan dulu ya, ya?”
Natan melirik. “Ya udah, sana,” sergahnya. “Beliin aku juga tapi.”
Verona tersenyum. “Sip deh,” ia mengacungkan jempol.
Dengan senang ia berjalan menuju ke lantai dua menggunakan lift karena tempatnya lebih dekat dengan lift. Sesampainya di lantai dua, ia segera mencari tongkrongannya yang biasa ia datangi. Baru saja ia duduk, seorang pelayan mendatanginya dan ia pun memesan makanan.
Sambil menunggu pesanannya datang, ia membuka handphone­-nya. Yang ada di otaknya sekarang adalah Natalie. Ia benar-benar merasa rindu pada sahabatnya itu setelah hampir seminggu lamanya mereka berpisah.

To: Natalie
Nate, kamu nggak kangen ya sama aku?
Kok nggak pernah sms aku sih?
Dasar... Ketemu orang ganteng ya disana?
Ah, kamu kan nggak mungkin jatuh cinta
kalo nggak sama orang bule ya..haha

From: Natalie
Eh, nonik Verona...
Aku sibuk banget disini woi..
Kamu kira aku disini main doang?
Penelitian tau..
Well, disini sih emang ada bule. Ganteng2..
Tapi aku disirikin sama satu cewek..

To: Natalie
Disirikin? Emang kamu deket sm bulenya?
Ato bulenya yang seneng sm kamu?
Terjang aja tuh cewek..

From: Natalie
Terjang? Ih, emang aku cewek apaan?
Ngapain ngrebutin cowok? Toh aku tau
Tuhan sediain jodoh buat aku. Haha J
Kamu sendiri gimana?

To: Natalie
Aku deket sama satu cowok..
Ganteng...banget....

From: Natalie
Ihir...ada yang lagi jatuh cinta nih...
Siapa namanya?

To: Natalie
Ricardo. Dia tuh baik banget sama aku Nate.
Selama ini, banyak cowok yang aku temui
nggak setulus dia. Beda bgt lah dia itu.

To: Natalie
Well, asal kamu nggak cuman main-main
aja kayak dulu sih ya..haha..becanda..
Ya udah tetep semangat. Jangan lalai.
Kalo ada kesempatan apa gitu, ambil.
Jangan sampe kamu nyesel lho, Ve.

To: Natalie
Iya, iya.. Pokoknya aku tetep berusaha trs.
Toh aku disini seneng, nggak ada kamu
jadinya aku yang paling pinter,hahaha :p
Oke. Kamu juga ya, Nate.
Aku juga mau makan nih. Talk later. J

Tepat setelah ia selesai mengobrol dengan Natalie, ayam asam manis pesanannya pun datang. Dengan segera, ia menyantapnya dengan lahap. Rasa lapar di perutnya benar-benar tidak tertahan lagi.
“Verona!” ia mendengar seseorang menyebut namanya sesaat ia melahap suapan terakhir.
Tidak jauh di depannya, Bryan terlihat di depannya bersama kedua temannya laki-laki dengan tampilan perlente layaknya orang yang benar-benar kaya dan terkenal. Beberapa gadis pun terlihat sedang mengerumuninya meminta tanda tangan.
“Kamu sendirian disini?” tanya Bryan saat ia menerobos gadis-gadis itu dan berjalan ke arah Verona.
Verona mengangguk. “Duduk, oh,” ia mempersilakan.
Bryan pun duduk di depannya. “Sendirian aja?” tanyanya.
Verona mengangguk lagi.
“Ngapain disini selain makan?”
“Nemenin ooh-ku beli CD games. Tapi dia lama banget, padahal aku laper. Jadi aku tinggal tadi,” jawab Verona cepat.
Kedua teman Bryan kemudian datang dan bergabung duduk di samping kanan dan kiri Verona.
“Siapa nih cewek?” seseorang dari antara pemuda itu berbisik pada Bryan.
“Junior di kampus lamanya,” sahut Verona menjawab pertanyaan pemuda itu yang terdengar olehnya.
“Cantik ya kamu. Pantesan,” seseorang lainnya di sebelah kiri Verona memberi komentar.
“Kok pantesan? Pantesan apa oh?” Verona menaikkan alisnya. Ia merasa tidak mengerti dengan perkataanya.
“Emang deh. Kamu bener-bener tipenya Bryan,” celetuknya.
Verona terkejut mendengar perkataannya.
“Jadi pacarnya Bryan aja kamu. Nanti kamu bakalan jadi terkenal. Kan asik tuh,” pemuda di sebelah kanannya menambahi.
Perkataan itu menusuk perasaannya. Bahkan rasanya kedua orang pemuda itu seperti menjatuhkan harga dirinya sebagai perempuan. Ia berharap untuk mendapatkan pembelaan dari Bryan atas perkataan teman-temannya yang sudah ia kenal sebagai temannya. Tapi rupanya ia hanya tertawa menyenggol teman-temannya itu seperti merasa senang-senang saja.
Tidak tahan berada di antara mereka, Verona menyangking tasnya dan beranjak dari kursinya. “Maaf, aku nggak jomblo. Dan maaf, aku bukan cewek gampangan. Orang yang jadi pacarku bukan tipe orang yang nggak gentle kayak kalian dan udah mapan,” katanya ketus. Ia berbalik dengan cepat meninggalkan mereka.
“Verona!” seru Bryan. Ia berlari mengejar Verona yang sudah berada cukup jauh darinya. Ia berdiri di depannya dan menghentikannya. “Maaf, mereka cuman bercanda. Jangan dimasukin hati lah.”
“Kamu bilang jangan dimasukin hati?” Verona seolah tak percaya akan perkataan Bryan. “Emang bener yang Natalie bilang. Kamu tuh nggak ngerti perasaan cewek. Nggak sadar kan kalo tadi temen-temenmu udah ngrendahin harga diriku? Itu udah cukup. Aku nggak mau tahu lagi.”
“Verona,” Bryan menyentuh bahunya.
“Jangan pegang aku,” Verona mengibaskan tangan Bryan.
“Verona,” sekali lagi Bryan menyentuhnya.
“Lepas,”
“Ver─”
“Dia udah minta kamu jangan sentuh dia kan?” Ricardo datang dan berdiri di antara Bryan dan Verona.
Melihat kehadiran Ricardo, Bryan menyilangkan kedua tangannya di depan dada dan bersikap sombong. “Oh, jadi kamu pacarnya Verona? Nggak usah sok deh. Ini urusan antara aku sama Verona,” katanya ketus.
“Kalo aku pacarnya, aku berhak untuk ngelindungi dia dari hal-hal yang buat dia nggak nyaman,” kata Ricardo tenang. “Jadi sekarang, jangan ganggu Verona kalau kamu nggak mau ada keributan disini yang bakalan buat ketenaranmu turun.”
Mendengar gertakan mengenai ketenarannya yang baru saja ia dapatkan, akhirnya Bryan mundur. Dengan wajah gusar ia pergi meninggalkan mereka. Ia pun mengajak kedua temannya pergi serta.
Ricardo pun berbalik dan menghadap Verona. “Kamu nggak papa kan?” tanyanya dengan lembut.
Verona mengangguk pelan. Perasaan sedihnya masih membekas di dalam hatinya.
“Dia ngapain kamu tadi?”
Verona menggeleng lalu berusaha tersenyum. “Cuman tingkah anak kecil aja kok. Bukan masalah besar,” katanya.
“Beneran?”
Yup,”
“Oke deh kalo gitu,” Ricardo mengangguk-angguk.
Anyway, kok bisa kebetulan kamu disini oh?” Verona memiringkan kepalanya dan mengganti topik pembicaraan.
Ricardo menyeringai.
“Kok cuman nyengir gitu sih oh?” Verona menjadi bingung.
“Ya bisa aja,” kata Ricardo seperti sedang menyembunyikan sesuatu.
Seolah tidak mau berhenti mencari tahu, Verona menyilangkan kedua tangannya di depan dada. “Oh, aku tahu kamu nyembunyiin sesuatu. Kelihatan dari matamu sama tingkahmu. Coba jawab yang jujur, iya kan kamu sembunyiin sesuatu dari aku?” ia menginterogasinya.
“Aku laper nih, temenin aku ya?” tiba-tiba saja Ricardo mengganti topik pembicaraan seolah ia tidak mendengar pertanyaan Verona.
“Nggak sebelum kamu jawab aku,” Verona mendesaknya.
Ricardo menggigit bibir bawahnya dan celingukan ke kanan dan ke kiri.
“Oh, kamu tahu kan barusan aku bilang aku nggak suka dianggap rendah sama cowok? Apa kamu juga mau gitu ke aku?” Verona melontarkan kata-kata itu tanpa basa-basi. Ia sudah cukup dianggap remeh oleh Bryan dan teman-temannya.
Ricardo menarik nafas dalam.
“Oh? Kamu juga mau gitu ya ke aku?”
“Ya, nggak mungkin lah, orang aku suka sama kamu,” sahut Ricardo cepat.
Verona terbelalak saat mendengarnya. Ia tidak tahu bahwa kata-kata itulah yang akan keluar dari mulut Ricardo, orang yang sudah meluluhkan hatinya dalam sekejap dan membuat hatinya berpaling dari Bryan.
“Maksudku, emm─,” Ricardo terbata-bata seolah ia tidak mendapat satupun kata untuk memberi alasan. Ia pun menarik nafas lagi lalu diam. Ia menundukan kepalanya dan tidak memandang Verona.
Verona pun hanya diam. Tapi ia menyentuh lengan Ricardo. “Oh,” katanya, lalu Ricardo mengangkat wajahnya, “kamu nggak lagi bohong kan ngomong suka ke aku?”
I love you from the very first sight,” suara Ricardo begitu lirih terdengar di antara kerumunan orang-orang yang lalu lalang di sekelilingnya.
Tapi Verona mendengarnya dengan jelas. Ia pun tersenyum sedikit kemudian menahannya karena ia tahu bahwa ia sedang berbunga-bunga mendengar pengakuan pemuda yang sedang berdiri di depannya itu.
Beberapa lamanya, mereka berdiri berhadap-hadapan tanpa bicara sedikit pun. Ricardo memalingkan wajahnya ke sebelah kanan dan Verona ke sebelah kiri. Kemudian, karena tidak dapat menahan rasa malunya dan pipinya yang putih itu pasti sudah memerah sekarang, Verona pun tertawa.
Karenanya, Ricardo pun berpaling dengan cepat dan memandang Verona. “Kok ketawa sih?” tanyanya, bingung.
Verona tidak menjawab, hanya tertawa.
Well, emang awalnya ooh-mu yang nunjukin ke aku fotomu di meja kantornya yang akhirnya buat aku suka sama kamu. Karena dia tahu aku suka sama kamu, dia ngerencanain untuk nemuin aku ke kamu. Jadi waktu kamu cari CD games waktu pertama kali kita ketemu, itu udah direncanain sama ooh-mu. Di kampusmu, juga udah direncanain, walau emang adikku kuliah disitu. Sekarang pun kita bisa ketemu itu gara-gara ooh-mu juga yang ngerencanain,” Ricardo menjelaskan panjang lebar.
Akhirnya Verona berhenti tertawa. “Aku nggak minta penjelasan sepanjang itu kok, oh,” katanya. “Aku cuman nggak tahan aja ketawa.”
Masih merasa bingung, Ricardo hanya menaikkan alisnya.
“Aku ketawa,” kata Verona, “karena seneng. Soalnya aku juga suka sama kamu semenjak kita ketemu lagi waktu itu di kampusku.”
Mendengar pengakuan Verona yang rupanya membuktikan bahwa rasa cintanya tidak bertepuk sebelah tangan, Ricardo pun tertawa.
“Ya, aku bisa ngerti apa yang lagi kamu rasain waktu ketawa,” kata Ricardo sambil memalingkan wajahnya karena malu.
Mungkin orang-orang yang duduk di dekat mereka mulai merasakan keanehan pada Ricardo dan Verona yang tidak beranjak dari tempat dimana mereka berdiri karena yang mereka lakukan hanya tertawa saja.
Setelah beberapa lamanya mereka tertawa, Verona pun diam. Mengetahuinya Ricardo juga menghentikan tawanya. Mereka pun saling memandang.
“Verona,” kata Ricardo lembut.
“Iya?” jawab Verona dengan lembut. Melihat pandangan Ricardo yang dalam padanya, ia berpikir bahwa sebentar lagi Ricardo akan menembaknya.
“Anterin aku makan yuk, laper,”
Verona menelan ludahnya lalu tertawa lagi disusul dengan Ricardo yang ikut tertawa. “Woi, kirain kamu mau ngomong apa gitu,” ia menggelengkan kepalanya sambil menunduk lalu tertawa lagi.
“Ya, emang aku mau ngomong sesuatu tapi masalahnya aku pengen ketawa lagi, jadi kata-kata yang keluar itu,”
“Kamu ah, nggak romantis banget sih, oh,” Verona meninju lengan Ricardo.
Ricardo menahan tawanya. “Tadi kan kamu udah bilang ke cowok itu kalo aku pacarmu dan aku juga udah ngomong yang sama waktu belain kamu,” katanya, “jadi udah resmi ya. Kamu sama aku pacaran.”
Verona tertawa lebih keras lagi dan tidak mempedulikan orang-orang di sekelilingnya yang memperhatikannya dan Ricardo yang memang mencuri perhatian.
“Ya udah, kita resmi pacaran. Sekarang aku temenin kamu makan,” kata Verona. “Dasar nggak romantis.”
Ricardo menyeringai lalu ia menggandeng tangan Verona. “Ayo,” katanya.
Mereka pun berpaling dan berjalan ke arah pusat makanan lagi.
“Eheem!!!” seseorang berdehem tepat di belakang mereka dengan merangkul Ricardo dan Verona.
Verona pun berpaling dan melihat Natan menyeringai tanpa dosa dan berdiri di antaranya dan Ricardo.
“Kamu kok udah disini oh? CD games-nya udah ketemu?” tanya Verona. Ia sedikit cemas kalau-kalau kakaknya akan meledeknya.
“Aku kan emang cuman mau buat kalian berdua ketemu disini, bukan nyari CD games,” jawab Natan dengan sangat jujur.
Verona menggeleng-gelengkan kepalanya. “Dasar kalian para cowok,” katanya sambil mengepalkan kedua tangannya,
Ricardo dan Natan terlihat agak cemas. Mereka takut kali ini Verona tersinggung dengan tiba-tiba.
“paling pinter ya buat aku seneng,” Lalu Verona tertawa. Perkataan yang tidak disangka itu keluar dari mulutnya. Verona yang cepat tersinggung sekarang bisa membuat lelucon. “Makan juga sama kita yuk oh.”
“Yuk,” sahut Natan riang, “kan aku juga mau ikut ngerayain pasangan baru.”
“Ooh!!” Verona meninju lengan kakaknya itu.
Tapi kemudian ia berjalan di tengah kedua pemuda itu dan menggandeng mereka berdua. Mereka pun pergi memilih salah satu tempat untuk makan dan bersenang-senang bersama-sama malam itu.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Banner Exchange

Neng Hepi Blog, Banner