Pemeran Utama - A Short Mixed Bilingual Story (Chapter 5)
♥ Verona ♥
“Natalie
sekarang lagi ngapain ya?” ia bergumam sambil menerawang ke langit.
Udara di
luar kampus cukup sejuk. Ia menikmati kenikmatan ini sendiri sambil beristirahat
menunggu kelas selanjutnya dimulai lagi. Di tangannya ada sebuah hamburger yang ia makan perlahan.
“Aku tuh
sebenernya kepingin ikut, tapi aku males banget,” gumamnya lagi. “Kenapa dia
bisa antusias banget ya? Padahal kayak gitu tuh repot banget. Penelitian ini
lah, itu lah. Hah, paling males kalo gitu.”
“Apanya yang
males, Ve?” sebuah suara terdengar dari belakangnya.
Verona
berpaling dan melihat yang berbicara padanya. Seorang pemuda berbaju putih dan
merupakan keturunan etnis Tionghoa. Tapi ia merasa kurang mengenal siapa dia.
Pemuda
itupun duduk di sebelahnya tanpa meminta ijinnya. “Nggak inget kan sama aku?”
katanya.
Verona
menggeleng.
“Di mall,
waktu kamu sama Ooh-mu, terus kita ketemu,”
Verona
menggeleng, memberi maksud bahwa ia masih tidak ingat.
“kamu
muter-muter cari CD games,”
“Ah, kamu
yang waktu itu nolongin aku cari CD Harvest Moon,” Verona teringat. Dia itu kan yang aku bilang ganteng, pikirnya
dalam hati. “Iya, iya. Aku inget. Tapi aku lupa siapa namamu, Oh.”
“Ricardo,”
ia mengulurkan tangannya pada Verona lalu menjabat tangannya.
Verona
tersenyum. “Kamu masih inget namaku, tapi aku nggak inget namamu,” ia menyeringai.
“Maaf ya.”
Ricardo
menggeleng. “Nggak masalah lah. Waktu itu kan kamu juga masih SMA. Udah lama
kan? Udah tiga tahun kalo nggak salah ya?” ia mengingat-ingat.
“Iya udah
lama,” Verona mengulang kembali kata-kata pemuda yang di sampingnya itu. Ia
merasa agak canggung mengobrol dengannya.
Beberapa
lamanya mereka tidak berbicara satu sama lain. Mereka hanya memandang jauh ke
depan, melihat sesuatu yang tidak tentu.
“Aku barusan
bayar uang SPP adikku,” Ricardo memberitahu walau Verona belum bertanya.
“Adikmu?
Siapa namanya? Di Sastra Inggris juga nggak?”
Ricardo
menggeleng. “Komputer,” jawabnya.
“Kok bukan
adikmu aja yang bayar sendiri, Oh?” tanya Verona.
“Biasanya
sih dia sendiri, tapi nggak tahu kenapa dia kali ini nggak mau bayar sendiri.
Mungkin memang bukan kebetulan,” Ricardo membelai rambutnya sendiri seolah
memberi maksud tersendiri atas kalimatnya yang terakhir.
Verona
tersenyum. Di dalam hatinya ia merasa setuju dengan pernyataan Ricardo.
“Habis ini
kamu ada waktu luang?”
Verona
menggeleng. “Masih ada satu kelas lagi,” jawabnya.
Ricardo
mengangguk-angguk. Keadaan kembali menjadi hening sejenak.
“Boleh minta
nomor handphone?” tanya mereka secara bersamaan.
Mereka
tampak terkejut mengetahuinya. Dengan canggung, mereka mengambil handphone masing-masing lalu bertukar nomor.
“Umm, aku
harus balik ke tempat kerjaku,” ia melirik jam tangannya lalu kembali lagi
memandang Verona. “Kalo aku nggak balik tepat waktu, bisa-bisa Oohmu bakalan
ngaduin aku sama Pak Direktur. Terus dia bakalan nurunin aku dari Manajer ke
pegawai biasa.” Ia tertawa.
“Coba aja
kalo dia berani,” kata Verona sambil tertawa.
“Oke deh,”
Ricardo berdiri disusul Verona. “Sampe ketemu ya.”
Sampe ketemu? pikir Verona. “Sampe ketemu,” ia
membalas.
Ricardo berjalan
menjauh dan masuk ke dalam mobilnya. Ia benar-benar pemuda yang sudah mantap.
“Cewek yang
jadi pacarnya mesti beruntung banget,” Verona bergumam. Kedua tangannya yang
mengepal menopang dagunya. “Kalo gini jadinya, aku jadi ngerasa berterima kasih
banget sama Natalie udah ngomongin kalo aku layak dapet yang lebih baik dari
Bryan.” Ia tersenyum seolah memikirkan sesuatu yang ia harapkan.
Ia melirik
jam tangannya. Sudah waktunya ia kembali masuk ke dalam kelas. Ia beranjak dari
tempat ia duduk dan berjalan masuk ke dalam kampus.
♫ Natalie ♫
Tiga hari sudah
ia lewati. Sementara tugasnya di panti itu hanyalah mengurus anak-anak tanpa
orang tua itu belajar bahasa Inggris. Ia pun merasa senang mengajari anak-anak
itu.
Tempat
dimana ia tidur di malam hari, tidak senyaman yang ia duga. Nyamuk-nyamuk
bertebaran dimana-mana. Sawah dan rimbunnya pohon-pohonan disana yang membuat
nyamuk-nyamuk datang. Tapi lotion anti nyamuk
dan selimutnya cukup membantu untuk menyingkirkan nyamuk-nyamuk itu.
Tapi malam
ini, ia merasa tidak dapat tidur. Memejamkan matapun rasanya berat. Dengan
jaket putih yang selalu ia bawa kemanapun ia pergi, ia memutuskan untuk pergi
menghirup udara malam di luar panti. Pikirnya berdiri sebentar di luar akan
membuatnya lelah dan ingin tidur.
“Apa aku
lagi homesick ya?” ia berbicara pada sendiri. Ia mengelus-elus
lengannya dengan kedua telapak tangannya yang menyilang. “Dulu waktu ada
program live in di SMA, aku juga sempet nggak bisa tidur, malah
nangis.” Ia tertawa mengingat kejadian itu.
Ia berjalan
mondar-mandir di halaman panti itu. Kurang lebih lima belas menit berlalu. Ia
masih merasa tidak mengantuk. Ia pun duduk di sebuah kursi kayu yang ada di
bawah lampu neon yang sudah agak redup nyalanya.
Tiba-tiba ia
dikejutkan oleh suara-suara yang terdengar samar-samar dan tidak jelas. Ia
mendengarkan dengan seksama arah dari asal suara-suara itu. Makin lama
kedengarannya makin berisik. Ia mendengarkan lebih seksama lagi. Tapi kemudian
ikatan rambutnya jatuh ke tanah dan dengan rambutnya yang terurai ke bawah ia
mengambil ikat rambutnya itu.
“Ahh!”
sebuah suara jeritan singkat terdengar di belakangnya.
Dengan cepat
ia berpaling ke arah suara itu.
“There’s a ghost, oh no! That’s a ghost!” seorang
gadis menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya lalu berlari dan berdiri
di belakang seorang pemuda.
Dari
kejauhan ia melihat bahwa mereka bukan orang lokal. Lampu yang redup pun mulai
memperlihatkan siapa mereka ketika mereka berjalan semakin mendekat.
“Oh, I’m sorry. I’m not a ghost. I’m human. A girl like
you,” dengan
merasa sedikit bersalah ia berseru kepada gadis berambut pirang itu. Mungkin
karena ia ada di luar panti sendirian di malam hari dan menimbulkan kesan
menakutkan.
Pemuda itu
menyentuh lengan gadis itu dan terlihat seperti menenangkannya.
“Maaf, saya
tidak tahu,” kata gadis itu dengan lafal yang kurang fasih lalu berjalan
mendekat.
Natalie pun
membuka pintu gerbang yang setinggi pinggangnya itu dan berjalan mendekat. “Kenapa
kalian masih ada di jalan malam-malam seperti ini?” tanyanya.
“Karena tadi
di jalan kami terjebak macèt,” ia menjawab dengan aksen yang kedengaran lucu.
“Terus,
kalian mau kemana?”
“Ke panti
asuhan ini,” pemuda itu akhirnya angkat bicara.
Natalie
mengangguk-angguk.
“Tapi kami
masih menunggu teman-teman kami,” gadis itu menambahi.
“Mau duduk
dulu?” Natalie menawarkan.
“Itu ide
yang bagus. Aku juga sudah merasa capek,” pemuda itu memegangi lehernya dan
memutarnya setengah arah ke kanan lalu ke kiri.
Mereka pun
berjalan masuk ke halaman panti dan duduk di tempat Natalie duduk sebelumnya.
“Oh ya, aku
Natalie,” ia memperkenalkan diri sambil meletakkan telapak tangan kanannya di
dada.
“Aku George,
dia Miriam,” kata pemuda itu.
Beberapa
lamanya mereka menunggu sambil mengobrol satu sama lain. Rupanya kedua orang
asing itu adalah pelajar dari Universitas Yale di Amerika yang mengikuti
program International Workcamp. Mereka tertarik untuk belajar Bahasa Indonesia
dan belajar secara intensif di sebuah kursus sampai mereka mahir.
Karena diutus
oleh pembimbing mereka untuk sampai di panti lebih cepat dari yang lainnya,
mereka menggunakan bantuan sebuah becak dan menerobos kemacetan. Sementara itu
masih ada seorang pembimbing dan empat orang lainnya yang merupakan teman satu
universitas mereka masih ada di mobil dan kemungkinan akan sampai sebentar
lagi.
Setelah setengah
jam menunggu, rombongan yang mereka tunggu pun akhirnya datang. Dari dalam
kantor panti, Pak Handoko yang merupakan kepala panti keluar dari dalam
rumahnya yang ada di sebelah barat panti karena mendengar suara mesin mobil.
Empat orang laki-laki dan dua orang perempuan keluar dari dalam mobil. Ia pun menyambut
kedatangan mereka.
“Selamat
datang,” sambutnya dengan hangat sambil merentangkan kedua tangannya. “Maaf
kalau kemacetan di dekat sini membuat kalian tidak nyaman.”
“Nggak
masalah kok, Handoko,” seorang pria paruh baya memberi pelukan padanya.
“Anak-anakmu
pasti capek sekali, Hans. Biarkan mereka langsung beristirahat,” katanya.
Kemudian Pak Handoko menyadari keberadaan Natalie dan kemudian memintanya untuk
membawa mereka ke tempat dimana kamar laki-laki dan perempuan berada. Sesuai
permintaan, Natalie memimpin mereka ke kamar.
“Laki-laki
kiri, perempuan kanan, bersamaku,” kata Natalie. “Come in, girls.”
Tapi sebelum
ia melangkah, seorang pemuda yang rambutnya berwarna coklat keemasan menahan
tangannya.
“Ada yang
bisa kubantu?” tanyanya.
“Dia belum
bisa bahasa Indonesia,” George yang sudah masuk ke kamar memunculkan kepalanya
dari balik pintu.
Natalie
mengangguk sambil mengacungkan ibu jarinya kemudian George masuk kembali ke
dalam kamar. “What can I help for you?” tanyanya.
“Could you please show me the restroom?” pemuda itu
tampak gelisah seperti tidak bisa menahan untuk buang air.
Natalie pun
berjalan memimpin dan membawanya ke sebuah tempat yang penuh kamar mandi.
“Should I wait?”
“I won’t be long, but if you don’t mind,” katanya
lalu menutup pintu kamar mandi.
Itu artinya
Natalie akan menunggunya. Tak lama ia keluar. Wajahnya terlihat basah karena ia
membasuhnya.
“Thank you,” katanya.
“Anytime,” Natalie tersenyum.
Mereka pun
berjalan kembali ke arah kamar.
“I’m Daniel,” pemuda itu memperkenalkan
dirinya.
“Natalie,”
ia membalas.
“By the way, you were not afraid waiting me outside alone
in the dark?” pemuda itu mengangkat topik pembicaraan selama mereka berjalan
menuju kamar.
Natalie
menggeleng. “I even sat alone before George and
Miriam came surprised me and I surprised them too,” ia menceritakan kembali
kejadian awal ia bertemu dengan mahasiswa-mahasiswa Universitas Yale ini. Kata
terakhir Natalie berhenti tepat saat mereka sampai di depan kamar mereka
masing-masing.
“See you in the morning,” kata Daniel.
“See
you,” balas Natalie lalu mereka masuk ke kamar masing-masing.
0 Response to "Pemeran Utama - A Short Mixed Bilingual Story (Chapter 5)"
Posting Komentar