Halaman

Pemeran Utama - A Short Mixed Bilingual Story (Chapter 6)


♥ Verona  ♥
Hari Sabtu pagi. Pukul 04.00 WIB.
Suara alarm handphone-nya membangunkannya tiba-tiba. Tapi matanya sangat berat untuk dibuka. Ini masih terlalu pagi untuk membuka mata. Samar-samar ia melihat ada tanda SMS belum dibaca.

From: Ricardo
Verona, bsk pagi kamu ada waktu? Aku mau ajak kamu jalan pagi. Jam setengah 5.
Tenang aja, Aku sm rombongan temen2 kantor. Nggak cuma kita berdua aja.
Gimana? Bales ya.

Ia terkejut membacanya. SMS ini masuk jam delapan malam lalu dan ia sudah tidur seperti kebiasaannya.
“Aduh, aku belum kasi balesan ke Oh Ric, gimana ya?” matanya pun menjadi terang seketika. “Telat nggak ya kalo ngasi kabar sekarang?” Ia berpikir sejenak. Akhirnya ia memutuskan untuk membalas SMS itu.

To: Ricardo
Oh, Maaf aku baru bales. Aku udah tidur.
Kalo aku ikut, apa masih mungkin?
Sekali lagi maaf ya.

Ia meletakkan handphone-nya lalu berbaring lagi. Belum sempat memikirkan apapun juga di otaknya, handphone-nya berbunyi.

From: Ricardo
Bisa kok. Rumahmu dimana?
Biar aku jemput.

To: Ricardo
Jemput? Rumahku di Graha Candi B 234.
Tapi apa aku nggak ngerepotin kamu, oh?

From: Ricardo
Nggak. Rumahku nggak jauh kok dari Graha Candi.
Kamu siap-siap ya.
15 menit aku nyampe.

To: Ricardo
Ok deh oh.
Thank you ya. J

“Aaahhh!!!” tanpa sadar Verona melompat di atas ranjangnya saking senangnya. Hatinya sangat berbunga-bunga. Tapi akhirnya ia tersadar bahwa hari masih terlalu pagi. Ia pun turun dari ranjang dan segera bersiap-siap.
Ia mendatangi papi dan maminya yang masih tertidur. Ia meminta ijin untuk pergi berolahraga pagi ini. Awalnya maminya tidak mengijinkannya. Tapi ia terus merengek dan meyakinkan maminya dengan jaminan bahwa ia akan pergi dengan teman dekat ooh-nya, akhirnya ia diijinkan untuk pergi.
Tepat pukul 04.15 WIB, Ricardo datang ke rumah Verona untuk menjemputnya. Ia turun dari mobil Mercerdes Benz hitamnya dan menghampiri mami Verona yang menunggui putrinya di depan rumah. Ia pun berpamitan dengannya, kemudian mengajak Verona pergi.
Dari dalam mobil, Verona memperhatikan setiap jalan yang ia lewati. Tak lama mereka sampai di tujuan mereka, yaitu Bundaran Simpang Lima, yang tidak seramai biasanya. Ricardo memarkirkan mobilnya di dekat pusat jajanan di dekat E-Plaza. Setelah ia dan Verona turun dari mobil, beberapa orang yang adalah teman-temannya mulai berdatangan mendekati mereka berdua.
“Kita mau main landskate disini,” kata Ricardo pada Verona.
“Tapi aku nggak bisa mainnya,” nada suara Verona terdengar kecewa.
“Nanti aku ajarin. Kamu pasti cepet bisa,” Ricardo meyakinkannya.
“Tenang aja, aku juga nggak bisa,” sahut seorang wanita.
“Aku juga,” kata seorang lainnya lagi.
“Tuh kan? Kita bakalan belajar sama-sama kok,” kata Ricardo lagi.
Sejenak Verona masih merasa ragu. Ia paling tidak suka jatuh. Pengalamannya di masa kecilnya jatuh dari motor dan meninggalkan goresan kecil bekas luka di kaki kanannya masih membuatnya trauma. Tapi di dalam hati, ia merasa ingin menghilangkan rasa traumanya. Akhirnya, ia menyetujui ajakan Ricardo.
Ricardo membuka bagasi belakang mobilnya dan mengambil dua pasang sepatu roda. Ia memberikan salah satunya kepada Verona. Bersama-sama mereka dan teman-teman Ricardo menyebrang ke bundaran itu.
Sejenak mereka duduk di tepi dan memasang sepatu roda. Saat semua sudah selesai, Verona masih saja berkutat dengan kaki kirinya yang tidak bisa masuk ke dalam sepatu rodanya.
“Susah ya? Kekecilan?” Ricardo menyadari bahwa Verona mengalami kesulitan lalu menghampirinya dan duduk di sampingnya. Sementara itu, semua temannya sudah asik bermain sepatu roda.
“Nggak kekecilan,” Verona menjawab. “Yang kanan fine kok. Yang kiri aja yang susah.”
“Butuh bantuan?” Ricardo menawarkan.
Verona menggeleng. “Aku pasti bisa masukin ini kaki, kesini,” ia menunjuk ke sepatu rodanya.
Sejenak Ricardo memperhatikannya berusaha keras memasukkan kakinya. Tapi tidak lama ia beranjak dan berlutut di depan Verona.
“Aku lihat dulu sepatunya,” Ricardo mengambil sepatu itu. Ia memeriksa apakah ada sesuatu yang membuat sepatu itu tidak bisa dimasuki. Ia membuka dan menutup perekat sepatu itu beberapa kali dan mengotak-atik bagian lainnya.
“Gimana? Kakiku yang kebesaran apa ya?” Verona bertanya sementara matanya memperhatikan sepatu yang Ricardo pegang itu.
“Ternyata ada yang mengganjal di perekatnya sampe nggak bisa dibuka, jadi kakimu nggak bisa masuk,” akhirnya Ricardo berhasil memecahkan masalahnya. Ia membuka lubang sepatu itu. “Masukin kakimu.”
“Hhh, aku bisa masukin sendiri kok,” Verona merasa sungkan.
“Masukin dulu, aku mau lihat itu masalahnya apa enggak,” Ricardo memaksa.
Sesuai permintaan, Verona memasukkan kakinya. Akhirnya, kakinya berhasil masuk ke dalam sepatu roda itu. Ricardo pun menutup semua perekat sepatu itu dan membuat Verona nyaman memakainya.
“Makasi ya Oh,” Verona tersenyum.
“Sama-sama,” sahut Ricardo. Ia berdiri. “Sekarang kamu berdiri.”
Jantung Verona rasanya berdetak makin kencang. Ia masih merasa tidak siap berdiri di atas sepatu roda ini. Rasa cemas dan gelisah melandanya.
“Tenang aja, kamu nggak akan jatuh,” Ricardo meyakinkannya. “Aku bakalan megangin kamu terus.” Ia mengulurkan kedua tangannya.
Verona menarik nafas dalam-dalam. Ia menyambut uluran tangan Ricardo dan berdiri. Rasanya dunia bergetar dan sedang terjadi gempa bumi. Kakinya seperti tidak bisa berdiri dengan tegak.
Perlahan Ricardo mengajaknya berjalan. Verona mulai memberanikan diri melangkahkan kakinya. Semakin lama, rasa cemasnya berangsur-angsur hilang. Ini tidak seperti yang ada dalam pikirannya. Ia mulai merasa semakin baik bermain sepatu roda. Dengan tetap berada di dekat Verona, Ricardo pun perlahan melepaskan pegangan tangannya pada Verona dan membiarkannya berjalan sendiri.
“Ahahaa! Aku bisa!” Verona berseru senang. “Oh, aku bisa!”
“Ayo, lebih cepet lagi jalannya,” pinta Ricardo. “Coba kejar aku!”
“Oke, aku bakalan kejar kamu sampe dapet,” Verona merasa tertantang.
Ricardo pun mulai berjalan menjauh, sementara itu Verona mengejar di belakangnya. Beberapa waktu lamanya kemudian mereka berhenti untuk berolahraga dan merenggangkan sendi. Di sela-sela berolahraga mereka saling bersenda gurau.
Tanpa terasa matahari sudah muncul. Verona melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul 05.25. Karena itu, akhirnya mereka segera pergi meninggalkan Simpang Lima dan kembali ke rumah mereka masing-masing.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "Pemeran Utama - A Short Mixed Bilingual Story (Chapter 6)"

Banner Exchange

Neng Hepi Blog, Banner