Motivator In My Heart (Chapter 8)
Tok! Tok! Tok!
Terdengar suara orang mengetuk pintu kamarnya.
“Mungkin itu Derek,” Rachel beranjak pergi dan membukakan pintu.
Bukannya Derek, tapi seorang pelayan pria yang sekarang sedang berdiri di depannya.
“Nona, ada sebuah pesan untuk anda,” pria itu menyodorkan selembar kertas pada Racel.
Belum sempat Rachel bertanya, pelayan itu sudah pergi.
“Apa ini?” ia masuk kembali ke kamar dan menutup pintu. Ia pun membuka lembaran kertas itu.
Rachel, kamu tidurlah dulu. Nanti pukul empat sore, ada beberapa pelayan yang akan membantumu untuk berdandan.
Setelah kamu selesai, turunlah ke lobi bawah, ke tempat pertama tadi kita tiba. Dan jawaban atas pertanyaan-pertanyaanmu akan terjawab. OK?
See you later.
-Derek-
“Ini lagi,” Rachel menggeleng-gelengkan kepala. “Tambah aneh aja.”
Pukul 17.00 WIB.
Rachel telah selesai berdandan. Ia berpakaiakan gaun yang sangat indah dan membuatnya seperti puteri kerajaan. Dan kemudian, ia pun turun ke lobi sesuai permintaan Derek.
Sementara ia berjalan menyusuri lobi, matanya menelusuri seluruh sudut ruangan. Namun, tak dilihatnya Derek, ataupun yang lain. Disana hanya ada beberapa buah meja set yang tertata rapi dengan lilin di setiap meja.
Namun ada satu yang berbeda, dan ini membuat matanya terfokus ke satu hal. Ada satu meja yang terletak di tengah yang memiliki lilin paling besar dan indah. Lalu ia berjalan mendekat ke meja itu.
“Terima kasih banyak telah mengikuti apa yang aku minta, yang mungkin membuatmu sangat bingung,” sebuah suara terdengar dari balik Rachel.
Dengan segera, Rachel membalikkan tubuhnya ke arah suara itu. Dilihatnya Derek sedang berdiri memandangnya di balik balutan tuxedo mewah.
“Derek?”
Derek pun menghampiri Rachel. Ia meminta Rachel duduk tepat dimana ia sedang berdiri. Meja yang paling tengah dengan lilin yang paling besar itu tentunya.
“Bisakah kamu menjelaskan apa arti dari semua ini?” tanya Rachel segera sesaat setelah mereka duduk saling berhadapan. “Please, for this time, answer my question. I am really confused now and have no idea about all of these things.”
Derek tersenyum. “Sepuluh tahun yang lalu, di kapal ini ada dua orang anak kecil, satu laki-laki dan yang lain perempuan, yang sama-sama tersesat dan kehilangan orang tua. Mereka kemudian bertemu dan saling berkenalan,” ia mulai bercerita. Dalam kapal pesiar yang sangat besar ini, dengan begitu banyak orang, mereka bersama-sama mencari orang tua mereka. Dan selama itu, kesedihan anak laki-laki itu hilang saat ia bersama dengan gadis kecil yang di sampingnya itu. Gadis kecil yang sedang putus asa tapi sanggup membangkitkan semangat anak laki-laki itu. Dan saat mereka berpisah, saat mereka telah menemukan orang tua mereka masing-masing, mereka saling berjanji akan bertemu kembali di tempat ini setelah mereka beranjak dewasa. Dan setelah bertemu lagi, mereka berjanji pula tidak akan pernah berpisah lagi.”
Rachel terpaku. Air matanya yang sejak awal Derek bercerita telah mulai terbendung, akhirnya jatuh dan membasahi kedua pipinya.
“Dan itu kita,” Derek mengakhiri ceritanya.
“Dua belas tahun─,” kata Rachel terbata-bata, “dan kamu masih mengingat perjanjian dua orang anak kecil?”
Derek beranjak dari kursinya dan menghampiri Rachel. Ia membungkuk dan menghapus air mata Rachel.
“Aku tidak pernah sedikitpun melupakannya,” bisik Derek yang kemudian membuat Rachel berdiri, berhadapan dengannya. “Untuk seseorang yang selalu menjadi semangat hidupku, tidak ada satu hal pun yang dapat membuatku lupa tentang kamu.”
Rachel pun memeluk Derek. Ia tak sanggup lagi menahan rindunya. Sementara itu, air matanya terus mengalir deras. Ia tak pernah menyangka akan bertemu lagi dengan orang yang paling ia ingin temui selama ini.
“Selama ini aku mencarimu, dan aku hampir saja putus asa,” Derek angkat bicara lagi. “Tiba-tiba saja, aku mendengar bahwa kamu tinggal di Indonesia. Dengan segera tawaran yang Papaku berikan untuk memimpin perusahaannya di Indonesia, kuterima dengan harapan untuk bertemu denganmu. Jujur, sebenarnya aku takut untuk mengetahui kalau seandainya kamu sudah memiliki kekasih, aku akan merasa sangat kecewa.”
Rachel menghapus air matanya. Lalu ia mendongak dan memandang Derek. “Tapi kekhawatiranmu tidak terbukti kan? Karena aku juga selalu berharap bahwa aku dapat bertemu lagi denganmu,” katanya. “Tapi, aku pun juga berpikir apakah kamu sudah memiliki kekasih di luar sana.”
“Kekhawatiranmu juga tidak terbukti,”kata Derek.
Rachel tertawa kecil. “Tapi, bagaimana kamu mengenaliku?” tanya Rachel. “Bukankah aku yang sekarang dan aku yang dulu berbeda? Dan lagipula, waktu itu kita hanya bersama selama satu hari saja.”
“Kubilang aku tidak dapat melupakanmu,” sahut Derek sambil menghapus air mata Rachel yang menetes lagi. “Semenjak kita bertemu di acara kontes designer itu, aku sudah merasakan sesuatu. Perasaanku mengatakan bahwa itu kamu.”
Rachel tersenyum dengan wajah memerah. “Lalu?”
“Dan aku merasa yakin bahwa itu kamu setelah membaca cerita yang kamu buat di kontes menulis itu,” lanjut Derek. “Kamu menceritakan kisah kita hari itu dan memberi ending yang indah seperti yang aku lakukan sekarang padamu.”
“Jadi kamu membaca ceritaku?” tanya Rachel.
Derek mengangguk. “Dan kamu tahu? Wajahmu boleh saja berubah, tapi tidak dengan sikap dan caramu berbicara,” katanya.
Rachel tersenyum lagi. “Terima kasih untuk terus mencariku,” katanya. “Karena kalau kamu tidak melakukannya, aku tidak akan sanggup melakukannya dengan segala tekanan dan kesibukan yang aku dapatkan disini.”
“I will be wherever you are,” bisik Derek. “Aku tidak akan pernah meninggalkanmu.”
“Eehheemm!!” seseorang berdehem dari kejauhan.
Rachel pun segera melepaskan pelukannya dari Derek dan membersihkan air matanya yang masih tersisa di wajahnya. Lalu ia melongok ke arah suara yang terdengar dari balik punggung Derek.
“Loe sih,” Susan berjalan mendekat dengan Mita di sampingnya, “nggak pernah cerita-cerita tentang ini. Padahal kan kita udah sahabatan bertahun-tahun, atau lebih tepatnya, sejak kita nih lahir ceprot.”
Mita berdecak sambil menyenggong Susan dengan sikunya. “Maafkan dia ya Rachel. Jangan pikirin kata-katanya,” sahutya.
Rachel hanya tertawa.
“Yah, paling enggak, setelah kamu berhasil di kontes menulis, kamu juga nemuin cinta sejatimu,” kata Mita lagi.
“Se─tu─ju,” timpal Susan. “Emang loe tuh beruntung banget. Kehidupan yang loe pikir tadinya nggak berarti, malah ternyata lebih dari berharga. More precious than any diamonds.”
Mita dan Rachel tertawa, dan kemudian disusul Derek.
“Wow, keren ya Susan,” Mita berdecak kagum.
“Heh, nggak usah gitu loe,” celetuk Susan. “Gue juga bisa ngomong kayak para filsuf kalee.”
Rachel, Mita dan Derek tertawa lagi melihat tingkah Susan.
“Oh ya, orang tua kami dimana?” tanya Derek pada Susan dan Mita.
“Orang tua─kita?” Rachel terperanjat.
“Itu mereka,” Mita menunjuk ke sudut lobi di dekat tangga naik, dimana orang tua Derek dan Rachel telah menunggu dan dan sekarang keluar menghampiri kedua anak mereka.
“Why are they here too?” tanya Rachel yang masih kebingungan. “Papa sama Mama?” Ia tersenyum bingung pada orang tuanya. Lalu kepada orang tua Derek. “Mr. And Mrs. Richardson?”
Tanpa menghiraukan komentar Rachel, Derek berlutut di hadapannya. Ia menyodorkan sebuah kotak putih berbentuk hati dengan sebuah cincin berlian di dalamnya. “Will you marry me?”
Rachel tersenyum lebar. Sangat lebar. Wajahnya merona dan sebuah air mata menetes di pipi kanannya. Ia memandang kedua orang tuanya yang mengangguk tanda setuju.
Rachel kembali memandang Derek. “I will,” lalu membuat Derek berdiri.
Kemudian, Derek mengambil cincin itu dari kotaknya dan memakaikannya pada jari manis tangan kanan Rachel.
“This is so beautiful, Derek,” kata Rachel saat memandang cincin itu.
Semua yang hadir disitu bertepuk tangan untuk Derek dan Rachel.
“Tapi yang paling penting bukan cincin ini,” lanjut Rachel. “Karena sekarang, aku telah memiliki seseorang yang more precious than any diamonds. Setuju, Sue?” Ia berpaling pada Susan.
Susan mengangguk.
“Wah, beberapa hari lagi bakal ada yang ganti nama nih,” celetuk Mita.
“Kok bisa?” tanya Susan. “Siapa? Dan jadi apa?”
Mita tersenyum. “Rachel Richardson,” jawabnya. “Lebih tepatnya, Nyonya Rachel Richardson.”
Semua yang ada disitu tertawa bahagia.
“Memangnya akan secepat itu?” Rachel berpaling memandang kepada Derek.
“If you wish,” bisik Derek.
-The End-
Read Users' Comments (0)