Halaman

Motivator In My Heart (Chapter 8)

Tok! Tok! Tok!
Terdengar suara orang mengetuk pintu kamarnya.
“Mungkin itu Derek,” Rachel beranjak pergi dan membukakan pintu.
Bukannya Derek, tapi seorang pelayan pria yang sekarang sedang berdiri di depannya.
“Nona, ada sebuah pesan untuk anda,” pria itu menyodorkan selembar kertas pada Racel.
Belum sempat Rachel bertanya, pelayan itu sudah pergi.
“Apa ini?” ia masuk kembali ke kamar dan menutup pintu. Ia pun membuka lembaran kertas itu.

Rachel, kamu tidurlah dulu. Nanti pukul empat sore, ada beberapa pelayan yang akan membantumu untuk berdandan.
Setelah kamu selesai, turunlah ke lobi bawah, ke tempat pertama tadi kita tiba. Dan jawaban atas pertanyaan-pertanyaanmu akan terjawab. OK?
See you later.
-Derek-



“Ini lagi,” Rachel menggeleng-gelengkan kepala. “Tambah aneh aja.”

Pukul 17.00 WIB.
Rachel telah selesai berdandan. Ia berpakaiakan gaun yang sangat indah dan membuatnya seperti puteri kerajaan. Dan kemudian, ia pun turun ke lobi sesuai permintaan Derek.
Sementara ia berjalan menyusuri lobi, matanya menelusuri seluruh sudut ruangan. Namun, tak dilihatnya Derek, ataupun yang lain. Disana hanya ada beberapa buah meja set yang tertata rapi dengan lilin di setiap meja.
Namun ada satu yang berbeda, dan ini membuat matanya terfokus ke satu hal. Ada satu meja yang terletak di tengah yang memiliki lilin paling besar dan indah. Lalu ia berjalan mendekat ke meja itu.
“Terima kasih banyak telah mengikuti apa yang aku minta, yang mungkin membuatmu sangat bingung,” sebuah suara terdengar dari balik Rachel.
Dengan segera, Rachel membalikkan tubuhnya ke arah suara itu. Dilihatnya Derek sedang berdiri memandangnya di balik balutan tuxedo mewah.
“Derek?”
Derek pun menghampiri Rachel. Ia meminta Rachel duduk tepat dimana ia sedang berdiri. Meja yang paling tengah dengan lilin yang paling besar itu tentunya.
“Bisakah kamu menjelaskan apa arti dari semua ini?” tanya Rachel segera sesaat setelah mereka duduk saling berhadapan. “Please, for this time, answer my question. I am really confused now and have no idea about all of these things.
Derek tersenyum. “Sepuluh tahun yang lalu, di kapal ini ada dua orang anak kecil, satu laki-laki dan yang lain perempuan, yang sama-sama tersesat dan kehilangan orang tua. Mereka kemudian bertemu dan saling berkenalan,” ia mulai bercerita. Dalam kapal pesiar yang sangat besar ini, dengan begitu banyak orang, mereka bersama-sama mencari orang tua mereka. Dan selama itu, kesedihan anak laki-laki itu hilang saat ia bersama dengan gadis kecil yang di sampingnya itu. Gadis kecil yang sedang putus asa tapi sanggup membangkitkan semangat anak laki-laki itu. Dan saat mereka berpisah, saat mereka telah menemukan orang tua mereka masing-masing, mereka saling berjanji akan bertemu kembali di tempat ini setelah mereka beranjak dewasa. Dan setelah bertemu lagi, mereka berjanji pula tidak akan pernah berpisah lagi.”
Rachel terpaku. Air matanya yang sejak awal Derek bercerita telah mulai terbendung, akhirnya jatuh dan membasahi kedua pipinya.
“Dan itu kita,” Derek mengakhiri ceritanya.
“Dua belas tahun─,” kata Rachel terbata-bata, “dan kamu masih mengingat perjanjian dua orang anak kecil?”
Derek beranjak dari kursinya dan menghampiri Rachel. Ia membungkuk dan menghapus air mata Rachel.
“Aku tidak pernah sedikitpun melupakannya,” bisik Derek yang kemudian membuat Rachel berdiri, berhadapan dengannya. “Untuk seseorang yang selalu menjadi semangat hidupku, tidak ada satu hal pun yang dapat membuatku lupa tentang kamu.”
Rachel pun memeluk Derek. Ia tak sanggup lagi menahan rindunya. Sementara itu, air matanya terus mengalir deras. Ia tak pernah menyangka akan bertemu lagi dengan orang yang paling ia ingin temui selama ini.
“Selama ini aku mencarimu, dan aku hampir saja putus asa,” Derek angkat bicara lagi. “Tiba-tiba saja, aku mendengar bahwa kamu tinggal di Indonesia. Dengan segera tawaran yang Papaku berikan untuk memimpin perusahaannya di Indonesia, kuterima dengan harapan untuk bertemu denganmu. Jujur, sebenarnya aku takut untuk mengetahui kalau seandainya kamu sudah memiliki kekasih, aku akan merasa sangat kecewa.”
Rachel menghapus air matanya. Lalu ia mendongak dan memandang Derek. “Tapi kekhawatiranmu tidak terbukti kan? Karena aku juga selalu berharap bahwa aku dapat bertemu lagi denganmu,” katanya. “Tapi, aku pun juga berpikir apakah kamu sudah memiliki kekasih di luar sana.”
“Kekhawatiranmu juga tidak terbukti,”kata Derek.
Rachel tertawa kecil. “Tapi, bagaimana kamu mengenaliku?” tanya Rachel. “Bukankah aku yang sekarang dan aku yang dulu berbeda? Dan lagipula, waktu itu kita hanya bersama selama satu hari saja.”
“Kubilang aku tidak dapat melupakanmu,” sahut Derek sambil menghapus air mata Rachel yang menetes lagi. “Semenjak kita bertemu di acara kontes designer itu, aku sudah merasakan sesuatu. Perasaanku mengatakan bahwa itu kamu.”
Rachel tersenyum dengan wajah memerah. “Lalu?”
“Dan aku merasa yakin bahwa itu kamu setelah membaca cerita yang kamu buat di kontes menulis itu,” lanjut Derek. “Kamu menceritakan kisah kita hari itu dan memberi ending yang indah seperti yang aku lakukan sekarang padamu.”
“Jadi kamu membaca ceritaku?” tanya Rachel.
Derek mengangguk. “Dan kamu tahu? Wajahmu boleh saja berubah, tapi tidak dengan sikap dan caramu berbicara,” katanya.
Rachel tersenyum lagi. “Terima kasih untuk terus mencariku,” katanya. “Karena kalau kamu tidak melakukannya, aku tidak akan sanggup melakukannya dengan segala tekanan dan kesibukan yang aku dapatkan disini.”
I will be wherever you are,” bisik Derek. “Aku tidak akan pernah meninggalkanmu.”
“Eehheemm!!” seseorang berdehem dari kejauhan.
Rachel pun segera melepaskan pelukannya dari Derek dan membersihkan air matanya yang masih tersisa di wajahnya. Lalu ia melongok ke arah suara yang terdengar dari balik punggung Derek.
“Loe sih,” Susan berjalan mendekat dengan Mita di sampingnya, “nggak pernah cerita-cerita tentang ini. Padahal kan kita udah sahabatan bertahun-tahun, atau lebih tepatnya, sejak kita nih lahir ceprot.”
Mita berdecak sambil menyenggong Susan dengan sikunya. “Maafkan dia ya Rachel. Jangan pikirin kata-katanya,” sahutya.
Rachel hanya tertawa.
“Yah, paling enggak, setelah kamu berhasil di kontes menulis, kamu juga nemuin cinta sejatimu,” kata Mita lagi.
“Se─tu─ju,” timpal Susan. “Emang loe tuh beruntung banget. Kehidupan yang loe pikir tadinya nggak berarti, malah ternyata lebih dari berharga. More precious than any diamonds.”
Mita dan Rachel tertawa, dan kemudian disusul Derek.
“Wow, keren ya Susan,” Mita berdecak kagum.
“Heh, nggak usah gitu loe,” celetuk Susan. “Gue juga bisa ngomong kayak para filsuf kalee.”
Rachel, Mita dan Derek tertawa lagi melihat tingkah Susan.
“Oh ya, orang tua kami dimana?” tanya Derek pada Susan dan Mita.
“Orang tua─kita?” Rachel terperanjat.
“Itu mereka,” Mita menunjuk ke sudut lobi di dekat tangga naik, dimana orang tua Derek dan Rachel telah menunggu dan dan sekarang keluar menghampiri kedua anak mereka.
Why are they here too?” tanya Rachel yang masih kebingungan. “Papa sama Mama?” Ia tersenyum bingung pada orang tuanya. Lalu kepada orang tua Derek. “Mr. And Mrs. Richardson?”
Tanpa menghiraukan komentar Rachel, Derek berlutut di hadapannya. Ia menyodorkan sebuah kotak putih berbentuk hati dengan sebuah cincin berlian di dalamnya. “Will you marry me?”
Rachel tersenyum lebar. Sangat lebar. Wajahnya merona dan sebuah air mata menetes di pipi kanannya. Ia memandang kedua orang tuanya yang mengangguk tanda setuju.
Rachel kembali memandang Derek. “I will,” lalu membuat Derek berdiri.
Kemudian, Derek mengambil cincin itu dari kotaknya dan memakaikannya pada jari manis tangan kanan Rachel.
This is so beautiful, Derek,” kata Rachel saat memandang cincin itu.
Semua yang hadir disitu bertepuk tangan untuk Derek dan Rachel.
“Tapi yang paling penting bukan cincin ini,” lanjut Rachel. “Karena sekarang, aku telah memiliki seseorang yang more precious than any diamonds. Setuju, Sue?” Ia berpaling pada Susan.
Susan mengangguk.
“Wah, beberapa hari lagi bakal ada yang ganti nama nih,” celetuk Mita.
“Kok bisa?” tanya Susan. “Siapa? Dan jadi apa?”
Mita tersenyum. “Rachel Richardson,” jawabnya. “Lebih tepatnya, Nyonya Rachel Richardson.”
Semua yang ada disitu tertawa bahagia.
“Memangnya akan secepat itu?” Rachel berpaling memandang kepada Derek.
If you wish,” bisik Derek.

-The End-

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Motivator In My Heart (Chapter 7)

“Tunggu, tunggu. Aku punya ide,” sela Derek. “Ini kan masih jam dua belas siang, bagaimana kalau kalian ikut aku saja dan merayakan keberhasilan ini lebih lagi?”
“Tidak masalah,” sahut Mita.
“Aku juga setuju!” timpal Susan.
Mereka pun keluar menuju ke parkiran mobil dan meninggalkan restoran itu dengan mobil Derek.
Walau tak tahu kemana mereka akan pergi, Susan dan Mita tidak peduli asalkan sahabatnya yang baru saja mendapatkan keberhasilan ini, menjadi lebih bahagia lagi. Sementara Rachel hanya mengikuti saja apa yang selanjutnya akan mereka lakukan. Karena hari ini, hatinya merasa sangat bahagia.
Hanya dalam kurun waktu sepuluh menit, mereka sampai ke tempat yang dituju. Pelabuhan. Dan di depan mereka sekarang, ada sebuah kapal pesiar yang sangat besar.
Rachel, Susan dan Mita saling berpandangan. Mereka merasa kebingungan akan rencana Derek yang misterius ini.
“Kenapa kita kemari?” tanya Rachel. “Dan kenapa ada kapal pesiar yang besar? Setahuku, kapal pesiar tidak berlayar dalam hari-hari seperti ini.”
“Merayakan keberhasilanmu dengan berlayar selama dua hari,” jawab Derek. “Ayo masuk.”
“Tapi kita kan belum siap baju tambahan, Derek,” sela Mita.
“Semua sudah tersedia di dalam sana,” sahut Derek.
Mereka pun berjalan masuk ke dalam kapal pesiar itu.
“Wuisss, keren banget nih kapal,” Susan berdecak. “Seumur-umur, ni baru pertama kalinya gue masuk kapal pesiar.”
“Aku juga,” sahut Mita.
Tiba-tiba ada seorang pelayan wanita yang datang menghampiri mereka.
Please bring them to their room,” kata Derek pada pelayan itu sambil menunjuk kepada Susan dan Mita. Lalu ia berpaling kepada Rachel. “And you, aku akan mengantarkan kamu ke kamarmu.”
Rachel menaikkan alisnya. Ia benar-benar merasa bingung akan perlakuan Derek padanya yang semakin aneh ini.
Derek dan Rachel pun berhenti di sebuah kamar yang berada di lantai atas lobi.
“Masuklah,” Derek membukakan pintu kamar itu.
“Tidak sebelum kamu menjelaskan kenapa kamu lakukan ini, tolong jawab aku,” pinta Rachel. “Apa yang sebenarnya terjadi, Derek?”
Sekali lagi Derek hanya tersenyum tanpa menjawab satu pun dari pertanyaan Rachel.
“Tunggu saja nanti,” kata Derek. “Sebentar lagi juga kamu tahu. Sekarang kamu masuk saja ke kamarmu dan beristirahat.”
Karena merasa tidak akan mendapat jawaban dari Derek, walau ia bertanya lagi, Rachel pun melakukan apa yang Derek katakan.
Setelah ia menutup pintu, dilihatnya bahwa di depannya, sebuah gaun berwarna biru muda yang sangat indah, terhampar di atas ranjang. Dan hal ini menambah kebingungan Rachel.
“Kenapa Derek sangat misterius ya?” Rachel berkata-kata sendiri. “Tapi, entah kenapa, aku nggak ngerasa kalo dia bakal ngelakuin sesuatu yang buruk ke aku. Dan kenapa perlakuannya sangat spesial ke aku? Aneh banget sih. Pertama, dia nggak marah ke aku walau aku udah nuduh dia bohong. Kedua, dia ngasi aku kejutan di restoran pagi ini. Ketiga, dia ajak aku dan sahabat-sahabatku ke kapal pesiar ini. Dan sekarang gaun yang bener-bener bagus banget ini.” Ia memandangi gaun itu.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Motivator In My Heart (Chapter 6)

Dua hari berlalu. Rachel belum juga melakukan rencananya. Mengatakan maaf pada Derek atas sikapnya.
“Aku harus minta maaf saat ini juga,” ia bergumam. “Aku tidak mau menyimpan kesalahan lebih lama lagi.
Ia mengambil handphone-nya dan mulai mengetik kata maafnya pada Derek.

Derek, I’m really sorry. Aku kemarin memang keterlaluan. Tapi aku tidak bermaksud untuk bersikap kasar padamu. Aku hanya tidak suka dibohongi. Ya, walau memang itu hanya prasangka yang tidak terbukti dari aku. Kumohon kamu jangan marah ya. Aku benar-benar menyesal. Aku minta maaf ya.
-Rachel-

Send,” ia pun mengirim pesan itu. “Semoga Derek nggak marah.”
Din! Din!
Terdengar suara klakson mobil di depan rumah Rachel.

Rachel, cepatlah keluar dari rumahmu sekarang dan ikut aku pergi. Aku menunggumu.
-Derek-


“Apa maksud Derek ya?” Rachel lalu berlari ke jendelanya. Ia melihat Derek sedang berdiri di depan mobilnya. Ia pun tersentak. “Apa dia bakal menuntut aku? Ya ampun. Gimana nih?” Ia berjalan mondar mandir. “Ok Rachel. Tenang. Derek bukan seperti itu. Tenang.” Ia menghela nafas dan menghembuskannya perlahan.
Ia pun bergegas mengganti bajunya dan keluar dari rumahnya.
Jantungnya sangat berdebar-debar saat ia berjalan menuju Derek. Sebenarnya, ia masih merasa enggan bertemu dengannya. Tapi, sekarang ia tak punya pilihan.
Semakin ia dekat dengan Derek, semakin ia melihat ada senyum di wajah Derek. Ia tak melihat sedikitpun ekspresi marah, kesal atau pun licik. Oh tidak. Ini aneh sekali.
“Hai,” sapa Rachel saat ia telah berada di sebelah Derek.
“Hai,”
“Kenapa tiba-tiba kamu mengajakku pergi?” tanya Rachel. “Apakah kau mau menuntut aku?”
Bukannya menjawab, Derek justru membukakan pintu jok depan bagi Rachel dan mempersilakannya masuk.
“Derek, maafkan aku,” kata Rachel lagi seakan ia enggan masuk ke mobil. “Jangan menuntutku ya.”
“Masuklah dulu,” pinta Derek.
“Baiklah,” Rachel tak punya pilihan. Ia pun masuk ke mobil, dengan disusul Derek yang kemudian masuk ke mobil dan menjalankan mobil.
“Derek,” kata Rachel.
Derek hanya tersenyum. 


 Beberapa waktu kemudian, mereka sampai di sebuah restoran di pinggir pantai. Saat mereka keluar dari mobil, angin pun segera menerpa tubuh mereka.
“Restoran?” gumam Rachel. Ia merasa bingung tapi ia juga merasa sedikit lega karena yang dilihatnya sekarang bukanlah kantor pengadilan.
“Ayo masuk,” Derek menggandeng Rachel.
Mereka berdua pun masuk ke dalam restoran. Suasananya cukup sepi. Tidak banyak orang yang ada disana. Bahkan jumlah orang-orang itu dapat dihitung dengan jari.
Derek menuntuk Rachel untuk duduk di tempat yang berada di ujung, dekat jendela yang langsung menghadap ke pantai.
“Kamu tidak menuntutku ya?” Rachel kembali bertanya hal yang sama.
“Tidak akan pernah,” sahut Derek.
“Benarkah?” senyuman merekah di wajah Rachel.
Derek mengangguk. “Sebenarnya, saat aku mendapat pekerjaan ini di perusahaan papaku, tekanan demi tekanan menimpaku,” ia mulai bercerita panjang lebar. “Karena aku bertemu seseorang yang membuat aku bangkit. Dia dapat membuatku kembali bersemangat walau dia sendiri sedang putus asa.”
“Hebat ya orang itu,” sahut Rachel.
Derek tersenyum dan mengangguk.
“Emm, by the way, apa kamu bawa aku kesini untuk dengar ceritamu?” tanya Rachel penasaran. “Well, i’m ready to be a listener then. Lanjut.”
“Aku ingin memberi dia hadiah,” lanjut Derek. “Menurutmu bagaimana?”
Rachel menaikkan alisnya. “Kamu tanya aku?” kata Rachel. “Ya, pasti semua orang mau lah diberi hadiah. Siapa yang tidak mau?”
“Baiklah. Sekarang yang harus kamu lakukan adalah membalikkan tubuhmu,” katan Derek.
“Membalikkan tubuh?” Rachel mengerutkan dahinya, tapi kemudian melakukan apa yang Derek perintahkan.
Toeett! Toeett! Toeett!
Bunyi terompet mainan anak-anak pun dibunyikan. Sebuah spanduk bertuliskan “CONGRATULATIONS” terbuka. Kertas-kertas yang berkelap-kelip pun turun dari atap. Dan secara serentak, semua orang  yang ada disitu bertepuk tangan untuk Rachel. Rachel pun berdiri tercengang-cengang karenanya.
“Rachel! Selamat ya!” Mita menghampiri Rachel dan memeluknya.
“Lo memenangkan kontes menulis ini!” Susan pun ikut memeluknya.
Rachel pun mulai meneteskan air mata. Ia merasa sangat bahagia akan hal ini. Hal yang dari dulu telah ia impikan, sekarang menjadi kenyataan. Impiannya menjadi nyata!
“Tuhan,” Rachel menangis lebih lagi. “Thank you so much..Dan sahabat-sahabatku, makasi ya.” Ia memeluk Susan dan Mita lebih erat lagi.
Namun, ia tersadar bahwa ada satu orang lagi yang telah sangat baik padanya. Derek. Ia pun berpaling pada Derek.
“Derek,” Rachel menghapus air matanya. “Terima kasih banyak ya. Kamu sudah banyak sekali membantuku. Bahkan di saat aku sudah bersikap tidak baik ke kamu. Dan terima kasih telah membuatku bangkit dari keputusasaanku.”
Derek beranjak dari kursinnya. Ia mendekat pada Rachel. “Anytime untuk orang yang telah membuatku bangkit pula,” bisiknya.
Rachel tersenyum lebar.
“Ehem!” Susan berdehem dan memecahkan suasana. “Ayo kita rayakan bersama! Kita harus bersenang-senang hari ini!”
Mita pun bersorak.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Motivator In My Heart (Chapter 5)

Di dalam mobil Derek, Rachel duduk terdiam. Di tangannya, lembaran-lembaran cerita yang telah ia buat, terkemas rapi dengan sebuah amplop coklat besar.
“Oh, jadi itu cerita yang sudah kamu buat?” Derek membuka pembicaraan.
Yup,” angguk Rachel.
“Kenapa bisa cepat sekali selesainya?”
Rachel mengedikkan kedua bahunya. “Entahlah. Seperti ada sesuatu yang masuk ke otakku dan kemudian aku mencurahkannya ke dalam kata-kata saja,” ujarnya. “Thanks God for it.”
Dua puluh menit kemudian, mereka sampai ke sebuah gedung yang cukup besar di daerah utara. Seorang tukang parkir membantu untuk mengarahkan posisi mobil. Dan Derek pun memarkirkan mobilnya.
This is it,” kata Derek sambil mengisyaratkan untuk turun.
“Terima kasih ya, Derek,” kata Rachel sesaat setelah mereka turun dari mobil, “untuk meluangkan waktu dan mengantarkanku kemari. Maaf jika aku merepotkanmu.
Derek tersenyum. “Tidak masalah,” sahutnya cepat. “Ayo, kuantar kau ke dalam.”
Rachel mengangguk.
Mereka pun berjalan berdampingan dan masuk ke gedung itu. Dengan lift, mereka menuju ke lantai ke lima, dimana lokasi pendaftaran itu berada. Kemudian mereka masuk ke sebuah ruangan yang tepat berada di sebelah kanan lift.
“Selamat pagi,” sapa seorang petugas wanita. “Morning sir,” katanya saat melihat Derek.
Morning,” sahut Derek.
“Ada yang bisa saya bantu?” Ia melihat secara bergantian kepada Rachel dan Derek.
Derek mempersilakan Rachel untuk berbicara. “Aku tinggalkan kamu disini dulu ya. Aku ada beberapa urusan yang harus aku selesaikan,” katanya.
Rachel mengangguk.
“Saya ingin mendaftar dalam kontes menulis cerita,” sahut Rachel.
“Baiklah. Silakan duduk,” kata wanita itu.
Rachel pun duduk di kursi yang berada tepat di depan wanita itu.
“Ini form pendaftarannya,” wanita itu menyodorkan selembar kertas yang berisi penuh dengan tabel dengan sebuah pena, “silakan diisi dengan keterangan yang selengkap-lengkapnya.”
Rachel pun mengambil pena itu dan mulai menulis.
Sementara ia menulis, pikiran yang ada di otaknya tak dapat ditahannya lagi. Ini tentang Derek. Rasanya cukup aneh saat melihatnya diperlakukan secara spesial di perusahaan ini. Pertama, tukang parkir tadi mempersilakan Derek untuk memarkirkan mobilnya di tempat VIP. Kedua, saat ia masuk ke dalam gedung, semua orang menyapanya dengan namanya. Ketiga, mereka terlihat sangat mengenalnya.
“Maaf mbak, saya ingin bertanya sesuatu,” akhirnya Rachel merasa pikirannya yang mengganjal itu harus dikeluarkan.
“Silakan,” sahut wanita itu.
“Kok mbak kenal sama Derek sih?” tanyanya. “Dia kan cuma seorang distributor, segitu kenalnya sama dia? Bukannya distributor itu biasanya di gudang? Apa dia orangnya memang cepet akrab sama semua orang? Atau gara-gara dia itu bule, jadi menarik perhatian banyak orang?”
Wanita itu menggelengkan kepalanya sambil tertawa. Ia tampak kewalahan untuk menahan tawanya.
“Kok malah ketawa sih, mbak?” Rachel mengerutkan dahinya. “Saya kan nggak ngelawak barusan. Saya juga nggak humoris kok. Saya barusan cuma tanya lho.”
“Mbak sih lucu,” sahut wanita itu.
“Lucu?”
“Iya,” sahut wanita itu lagi. “Pertama, pertanyaan mbak tuh, banyak banget. Kedua, beliau itu pemilik perusahaan ini, bukannya distributor, mbak.”
“Hah?” Rachel tersentak.
“Ayah Bapak Derek memiliki perusahaan ini di Amerika, dan itu pusatnya” lanjut wanita itu. “Dan Bapak Derek memegang cabang yang ada di Indonesia.”
“Jadi selama ini─” Rachel tidak melanjutkan perkataannya. Ia cepat-cepat menyelesaikan pengisian formulir itu dan beranjak dari kursinya. “Ini mbak. Saya pergi. Terima kasih banyak.” Lalu berbalik menuju pintu keluar.
Namun, saat ia hendak keluar dari ruangan, rupanya ia menabrak Derek.
Rachel pun mendongak, melihat siapa yang ditabraknya.
“Kenapa kamu cepat-cepat pergi?” tanya Derek yang dapat melihat gelagat Rachel.
“Aku memang harus pergi sekarang,” jawab Rachel dengan agak mengabaikan keberadaan Derek dan berjalan menjauh.
Namun, Derek menahan tangan Rachel. “Apa yang terjadi?” tanyanya lagi, yang kali ini benar-benar kebingungan atas sikap Rachel yang tiba-tiba saja berubah menjadi aneh.
“Kamu tidak merasa telah berbohong padaku?” Rachel memandang Derek dengan tatapan yang tajam.
Derek menggeleng.
“Kenapa kamu mengatakan bahwa kamu seorang distributor, padahal kamu pemilik dari perusahaan ini?” sergah Rachel tanpa basa-basi. “Kau tahu? Aku malu telah lancang padamu di depan petugas wanita itu. Sementara kau adalah orang tertinggi di perusahaan ini. Wanita itu mentertawakanku.”
Derek tersenyum. “Aku memang pemilik perusahaan ini,” jelasnya. “Aku hanya belum bercerita padamu saja. Dan lagipula aku membantu dalam bidang distribusi. Aku juga ingin terjun langsung kepada masyarakat, untuk mengetahui minat mereka dalam produksi dari perusahaan ini.”
Rachel terpaku dengan penjelasan yang cukup panjang itu. Ia terkejut. Ia menyadari bahwa ia telah salah dengan menuduh Derek berbohong, tanpa adanya konfirmasi dulu dengan Derek.
Rachel menarik nafas panjang. “Ak..aku,” ia terbata-bata. “Aku mau pulang sekarang.”
Belum sempat ia berjalan menjauh, Derek menahan tangan Rachel lagi.
“Biar aku yang mengantarmu,” katanya.
“Tidak usah, ak..aku bisa pulang sendiri kok,”
“Tidak. Aku akan mengantarmu,” tanpa menunggu balasan lebih lanjut dari Rachel, Derek pun menarik tangan Rachel dan berjalan menuju ke parkiran mobil.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Motivator In My Heart (Chapter 4)

Malam itu, Rachel memulai aksinya. Ia uduk di sofa favoritnya dengan laptop i pangkuannya. Otaknya berputar. Ia mencari-cari ide apa yang harus ia curahkan ke dalam ceritanya kali ini.
Oh God, I have no idea,” Rachel duduk terkulai. “Aku butuh bantuanMu.” Ia meneguk sedikit susu kotak yang ada di atas meja di sebelahnya.
Tak tahan, Rachel berdiri dan berjalan kesana kemari. Ia benar-benar memeras otaknya sekaligus berharap akan ada keajaiban yang ia terima sesegera mungkin.
“Aha! Aku dapat!” ia bersorak girang. “Aku merasa bahwa aku akan berhasil kali ini. Thanks God! ” Ia pun duduk kembali menghadapi laptopnya.

Jam 08.09 pagi.
“Rachel” seru Mita yang muncul dari pintu kamar Rachel lalu menghampiri sahabatnya yang sedang bekerj di depan laptopnya, disusul Susan yang berjalan di belakang Mita.
“Hai Ta, Sue,” ia mengalihkan pandangannya sejenak kepada kedua sahabat karibnya itu lalu melemparkannya pada jam dinding. “Jam delapan. Kok udah dateng ke rumahku sih? Mau ngapain?”
Mita dan Susan pun duduk di sofa yang terletak tepat di depan Rachel, sementara Rachel kembali berfokus pada cerita yang ia tulis.
“Loe tuh,” kata Susan, “kemaren dicari seharian kagak ketemu-ketemu, eh pas ketemu malah ngadepin laptop. Kemana aja sih loe?”
Rachel tak bergeming, seolah tak mendengar sedikitpun perkataan yang Susan lontarkan.
“Heh, Rachel,” seru Mita. “Bisa nggak sih dengerin kita dulu? Taruh laptopnya dong.” Ia memanyunkan bibirnya.
“Bentar, bentar. Nanggung nih,” sahut Rachel tanpa memandang siapa yang telah mengajaknya bicara. “And, finish.” Ia menghela nafas panjang dan kemudian meletakkan laptopnya di atas meja. “Sorry guys. Aku habis nyelesain cerita.”
Susan mengernyitkan dahinya. “Jadi loe nggak nyerah terus terpuruk berhari-hari kayak biasanya?” ia seolah sedang melihat fenomena yang hebat dan belum pernah terjadi.
“Ato jangan-jangan kamu masuk daftar pemenang kemaren?” timpal Mita.
Rachel menggeleng. “Aku nggak ada di daftar itu,”
Susan dan Mita berpandangan.
“Lha terus?” tanya Mita.
“Ini,” Rachel memperlihatkan undangan yang Derek berikan kemarin.
Susan pun menyabet kertas itu. “KONTES MENULIS CERITA SELURUH INDONESIA,” ia dan Mita mengeja bersamaan.
“Terus?” Mita meminta penjelasan lebih lanjut.
Rachel tersenyum. “Awalnya emang aku terpuruk kayak biasanya. Yah, kalian tahu lah,” ia memulai. “Tapi waktu aku mau pulang ke rumah, aku nabrak seseorang. Sue, kamu inget nggak bule yang kita temuin di acar Mita kemaren malem?”
Susan mengangguk.
“Dia yang buat aku semangat lagi,” ujar Rachel. “Dia juga yang kasi’ undangan inni, gals.”
“Ciee, ciee, ada yang lagi merah ni mukanya,” goda Mita.
“Iya, berarti pertemuan kemaren tuh bukannya kebetulan dong,” timpal Susan. “Jangan-jangan kalian jodoh!”
“Hus, ngomonge itu lho,” sergah Rachel.
“Eh, bule ngomongnya Jowo,” sahut Mita, yang disusul tawa mereka bertiga.
Rachel pun menahan tawanya. “Besok temenin aku ke tempat pendaftarannya ya, guys,” pintanya. “Aduh, tapi kan aku nggak tau tempatnya, ya? Gimana nih?”
Susan pun membalik undangan itu. “Rachel, namanya tuh bule Derek ya?” tanyanya.
“Iya,” sahut Rachel singkat. “Kok, tahu? Perasaan aku belum bilang deh.”
“Nih,” Susan menunjukkan nama itu di bagian belakang undangan yang Rachel terima itu. “Derek William Richardson.”
“Ada nomer HP-nya lagi,” tambah Mita. “ Wah, dia mesti sengaja tuh, biar bisa contact sama kamu,” lalu tertawa.
“Nggak mungkin dong,” sergah Rachel, “ngapain dia susah-susah buat undangan yang nggak ada keterangan tempat sama waktunya? Yang ada malah entar dia ribet sama telepon dari para calon pesertanya. Kamu ngaco ah.”
“Tapi kan, mau nggak mau kamu harus telepon dia,” lanjut Mita. “Eman-eman ceritamu dong. Semaleman udah kerja keras masa mau jadi sia-sia gitu aja?”
Rachel berpikir sejenak. “Iya juga sih,” katanya kemudian. “Entar sore aku telepon dia deh.”
Good,” sahut Mita.
Susan berdehem. “Gerah ni di rumah. Hang out yuks,” ia mengganti topik pembicaraan. “Daripada di rumah elo, entar gue sama Mita dicuekin?”
Rachel tertawa kecil. “Ayo,” katanya. “Aku juga butuh refreshing kok. Semaleman melek mulu. Capek.”



Pukul 07.00 malam.
Rachel mengambil HP-nya dan menekan tombol-tombol nomor sesuai dengan nomor yang tertera di balik undangan itu.
Tuuut. Tuuut. Tuuut.
Nada tunggu terdengar dari seberang untuk beberapa lama. Tuuut─
Hello, it’s Derek,” suara Derek terdengar dari seberang. “Who’s there?”
It’s Rachel,” sahutnya.
“Oh, kamu ya,”
Yup,
“Ada apa? Ada yang bisa kubantu?”
“Begini,” Rachel memulai. “Aku sudah menyelesaikan satu cerita. Dan aku ingin segera mengirimkannya. Tapi di undangan yang kamu berikan kemarin, tidak tertera tempat kemana aku harus mengirimkannya. Disitu hanya ada nama dan nomor ponselmu. Jadi aku meneleponmu.”
“Begitu ya? Maafkan aku, kurasa aku telah salah memberikan undangan,” kata Derek. “Kalau begitu, sebagai permintaan maafku, besok pagi jam sembilan, aku akan menjemputmu di rumahmu dan akan kuantarkan ke tempat pendaftarannya. Okay?”
Hhh, jangan repot,” sahut Rachel cepat. “Kamu katakan saja dimana dan aku akan pergi sendiri kesana. Lagipula ada sahabat-sahabatku yang akan setia menemaniku kok.”
“Bukan begitu” suara Derek tiba-tiba terdengar semakin kecil dan terdengar pula suara lain. “Mmhh, maaf Rachel. Aku harus pergi sekarang. Besok bersiap saja, okay? Bye.
Belum sempat Rachel menjawab. Koneksi mereka terputus.
“Weeiitss, langsung ditutup gitu aja,” ia bergumam. “Apa dia sibuk banget ya?”  Ia menggeleng-gelengkan kepala. “Umh, ya udahlah. Besok pagi-pagi aku harus udah mulai siap-siap.”

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Motivator In My Heart (Chapter 3)

Dua hari berlalu.
Dengan lesu, Rachel berangkat ke tempat pengumuman pemenang lomba tulis yan ia ikuti, tanpa kedua sahabatnya. Ia hanya pasrah dan berusaha menenangkan dirinya bila datang saatnya ia melihat namanya tidak terdaftar dalam pengumuman itu. Dengan Honda Jazz warna biru miliknya itu, ia melaju dengan kencang.
Ia melangkah masuk ke suatu gedung. Jantungnya berdegup kencang saat langkah pertama ia ambil. Namun, ia membangkitkan semangatnya. Ia meyakinkan dirinya bahwa ia pasti berhasil kali ini.
Matanya menelusuri sebuah kertas yang berisi daftar sepuluh pemenang lomba tulis. Dalam waktu singkat, semangatnya pudar saat nama Rachel Marianne tidak ia temukan.
Ok, it happens again,” katanya lesu sambil berjalan dengan arah tak tentu. Ia terus saja berjalan. Sampai akhirnya ia mendaratkan tubuhnya di suatu bangku di sebuah taman yang tak jauh dari tempat ia memarkirkan mobilnya.
“Kenapa?” ia bergumam. “Kenapa aku selalu gagal? Bukankah saat aku memberikan motivasi kepada teman-temanku, mereka pada akhirnya berhasil. Tapi aku? Sampai berapa banyak orang telah memberiu semangat dan motivasi, tapi tetap saja aku gagal. Tuhan, tolong aku.” Ia menghela nafas dalam dan menghapus air matanya yang telah membasahi pipinya. “Baiklah, sebaiknya aku pulang sekarang.”
Ia pun beranjak dari bangku itu. Namun, belum jauh ia melangkah, tubuhnya menabrak seseorang tanpa sengaja.
Oops, sorry,” kata orang itu.
“Nggak―,” ia terperanjat saat ia mendongak kepada orang yang ia tabrak, “papa kok.” Ia tersadar bahwa orang itu adalah pemuda asing yang ia temui di acara Mita malam lusa lalu. “Oh, you’re the one I’ve met two days ago in the designer contest, right?
Pemuda itu menangguk. “Ya, kita bertemu lagi,” sahutnya dengan lafalnnya yang cadel itu. “Aku Derek.”
“Rachel,” mereka pun saling berjabat tangan. “Kamu bisa berbahasa Indonesia? Bagus sekali caramu bicara.” Rachel tampak berbinar. Sekejap, kesedihannya yang lalu lenyap.
“Terima kasih,” Derek tersenyum. “Aku baru belajar. Aku harap kamu mau membantuku. But, if you don’t mind.
Rachel menggeleng. “Aku tidak keberatan sama sekali kok,” sahutnya. “Lebih baik kita duduk dulu sejenak.” Kemudian ia duduk, disusul dengan Derek tepat di sebelahnya.
Derek berdehem. “Maaf, boleh aku tanya sesuatu?”
Rachel mengangguk pelan.
“Kamu sendiri saja?”
Rachel mengangguk lagi. “Baru saja aku melihat kegagalanku dalam lomb tulis yang ku ikuti,” celetuknya tanpa sadar.
I can see it through your eyes that was full of tears, I think,” kata Derek.
“Maaf, seharusnya aku tidak menceritakan ini kepadamu,” sahut Rachel cepat. “Maafkan aku.”
Derek tersenyum. “You can tell me, mungkin aku bisa meringankan bebanmu,” katanya. “I would be very glad to help you.
Rachel menghela nafas. “Baiklah,” kemudian menghembuskannya kembali. Ia menceritakan segala keluh kesahnya pada orang yang bahkan belum lama ia kenal. Namun, dengan perasaan yang nyaman ia menceritakannya pada Derek.
Derek tertawa tiba-tiba saat Rachel selesai menceritakan masalahnya.
Rachel pun mengerutkan dahinya, ”Kupikir, baru saja aku menceritakan masalah yang telah membuatku sedih, bukan pengalaman terlucuku,” sahutnya bingung, “tapi kenapa kamu justru tertawa?”
Derek pun menahan tawanya. “Kau tahu,” ia memulai.”Thomas Alfa Edison mencoba sembilan puluh sembilan kali untuk menciptakan lampu, namun ia terus gagal. Baru percobaan ke-seratusnya ia berhasil. Albert Einstein, ia lebih banyak lagi berusaha dan gagal. Tapi kemudian ia bangkit dan akhirnya  seluruh penemuannya dipakai sampai ke ujung bumi. Dan kamu? Sudahkah melebihi usaha mereka?”
Rachel menunduk. “Kamu benar, walau sebenarnya aku lebih ingin dihibur dahulu daripada dinasehati,” katanya. “Tapi memang tidak seharusnya aku menyerah secepat ini.” Ia pun mengangkat kepalanya kembali. “Baiklah. Aku harus bangkit! Aku tidak akan menyerah sampai aku bisa.”
“Bagus!” sahut Derek senang. “Cheer up and break your problem! ” Ia menepuk bahu Rachel. “Oh iya. Dan ini,” ia mengambil sesuatu dari dalam tasnya, lalu menyodorkannya pada Rachel, “untuk kamu.”
Rachel melemparkan pandangannya pada Derek. “Apa ini?” tanyanya.
“Ambil dan kemudian bacalah,” Derek membuka telapak tangan Rachel dan meletakkan kertas itu di atasnya.
Rachel pun membacanya. “Kontes-Menulis-Cerita-Seluruh-Indonesia,” ia mengeja perlahan. “Derek ini―”
“Ya, itu undangan untukmu, untuk mengikuti kontes itu,” sahut Derek sebelum Rachel menyelesaikan kalimatnya.
“Tapi bagaimana― siapa sih kamu?” Rachel mengubah pertanyaannya. “Kenapa kamu bisa berikan undangan ini padaku begitu saja? Kurasa undangan ini adalah undangan eksklusif yang mungkin saja sudah ditujukan kepada orang lain.”
Derek mengedikkan pundaknya. “Aku ini hanya seorang distributor yang ditugaskan untuk membagikan undangan itu,” jawabnya. “Dan itu sisa undangan yang terselip di tasku.”
“Begitu ya?” Rachel seolaah tak percaya. “Cukup aneh bagiku jika seorang warga negara asing menjadi seorang distributor biasa di Indonesia.”
Derek tertawa kecil.
But, anyway thank you so much for this,”kata Rachel. “And I think, I have to go home now.
“Mau kuantar?”
“Terima kasih, tapi tidak,” sahut Rachel. “Aku membawa mobil dan kuparkirkan tak jauh dari sini kok.”
Ok then,” Derek tersenyum. “See ya.
See ya,”

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Motivator In My Heart (Chapter 2)

Jam 06.38 malam.
“Guys, kalian duduk disini ya,” kata ita  yang terlihat mulai panik. “Aku harus pergi ke belakang panggung sekarang.” Lalu pergi menghilang di balik kerumunan orang.
Rachel dan Susan duduk di kursi paling depan, seperti kata Mita. Mereka duduk tanpa ada orang yang menemani mereka untuk saat ini. Seolah merekalah orang yang terpenting dalam acara itu.
Sambil menunggu acara dimulai, Rachel hanya duduk diam. Sementara itu, Susan celingukan kesana dan kemari, melihat apakah ada yang dapat menghilangkan rasa bosannya karena menunggu cukup lama.
“Hey Sue, aku suka sekali dengan baju ini,” Rache mengamati gaun merah yang sedang dipakainya. “Mita itu memang pintar memilih baju ya. Dia pantas mendapatkan peran sebagai model.” Ia tersenyum sambil memandangi gaun yang dipakainya itu.
Tapi rupanya, Susan tak memperhatikan perkataan Rachel. Ia masih celingukan kesana kemari.
”Susan!!!”
Susan tersentak. Ia langsung memalingkan pandangannya pada Rachel.
”Kamu nggak ndegerin aku, ya dari tadi?” tanya Rachel ketus.
”Denger kok, denger,” Susan berlagak memahami apa yang Rachel katakan. ”Lo kan blasteran, pake apa aja sih pantes.”
Rachel memanyunkan bibirnya. Wajahnya cemberut. Ia paling tidak suka dikatan berbeda karena ia blasteran. ”Aku kan nggak lagi ngomong itu,” gerutunya.
”Blasteran apa aja sih lo?” tanya Susan. ”Cina, Ameria, Filipina, Jawa sama apa tuh satu lagi?” Ia berpikir sejenak. ”Oh aku tahu. Rusia kan?”
”Mulai deh nggak connect,” gerutu Rachel lagi.
”Eh kok cuman bisik-bisik sendiri sih?”
”Bener semua!” sahut Rachel ketus.
Susan menyeringai. ”Berarti ingatan gue bagus ya?” katanya bangga. Dan tiba-tiba, matanya terpaku pada sebuah minuman ringan kesukaannya yang ada di dalam lemari pendingin di dekat seorang bartender yang ada di dekat pintu masuk. ”Rachel ayo kesana.” Ia menarik tangan Rachel.
Rachel yang tak kuasa menahan tarikan sahabat konyolnya itu pun akhirnya berjalan mengikutinya dari belakang.
”Hey, Sue,” Rachel menahan Susan. ”Aku nggak mau buat Mita kecewa karena kita pergi disaat dia butuh kita.”
”Alah, kan cuman sebentar,”
”Tapi kalo tempat duduk kita ditempatin sama orang gimana?” tambah Rachel.
”Nggak bakalan,” Susan meyakinkan. ”Itu kan tempat khusus. Nggak akan ada orang sembarangan yang duduk disana. Tenang aja lah.”
”Kalo yang duduk juga orang khusus dan bahkan lebih penting dari kita?”
Susan tidak menghiraukan kata-kata Rachel barusan.
Rachel mendesis kesal. ”Terserah lah,” katanya mengalah. Ia tahu bahwa ia takkan menang dalam perdebatan ini. Ia pun hanya terus mengikuti Susan.
Tak lama, mereka sampai ke lemari pendingin itu. Susan pun segera mengambil dua gelas. Satu untuknya dan satu untuk Rachel. Mereka pun meneguknya sampai habis.
Dengan sedikit memaksa, Rachel menarik tangan Susan untuk segera kembali ke kursi mereka. Dan rupanya, dugaan Rachel benar. Ada yang telah menduduki kursi mereka.
”Tuh kan, Susan sih!” keluh Rachel  ”Kamu ah yang tanggung jawab. Gimana pun caranya kamu harus buat Mita supaya enggak kecewa!” Rachel melipat kedua tangannya di dada dan bersikap tak mau tahu.
Take it easy, baby,” Susan berlagak tenang. “Dua cowok doang. Gampang. Ayo ikut aku.” Lalu menarik tangan Rachel.
Susan pun menghampiri kedua orang pemuda yang telah duduk di kursi mereka. Ia berdiri di depan mereka dan berlagak menantang.
Tapi tiba-tiba, air muka Susan berubah. Sikapnya yang sok menantang berubah menjadi gelisah.
Rachel yang berdiri di sebelahnya pun tertawa kecil. “Makanya,” bisiknya.
“Jangan diem aja, lo. Ngomong tu sama dua bule itu supaya pindah,” Susan memelototi Rachel. Ia terus menyenggol lengan sahabat blasterannya itu dengan sikunya.
Rachel pun memfokuskan dirinya agar emosinya lebih tertata, karena kedua pemuda itu sepertinya mulai merasa terganggu dengan keberadaan mereka.
Excuse me. These seats were prepared for us. Could you please move to the next two seats? ” pinta Rachel yang terlalu mudahnya untuk berkomunikasi dengan kedua pemuda asing itu. ”But if you don’t mind.
Oh sorry. We don’t mind. Please,” jawab salah satu dari pemuda yang berambut coklat muda, sambil mempersilakan Rachel dan Susan duduk.
Rachel pun terus menertawakan Susan.
“Berhenti nggak ketawanya!” perintah Susan. Wajahnya tampak memerah tidak karuan setelah kejadian itu. “Rachel, dalam hitungan ketiga kalo lo nggak berhenti ketawa―,”
“Iya, iya. Nih aku berhenti,” Rachel berusaha menahan tawanya.
“Bagus,”
“Abisnya kamu sok sih,” celetuk Rachel, “yang gitu deh.” Lalu mulai tertawa lagi.
“Oh, mulai lagi ya,” Susan menutup mulut Rachel dengan telapak tangan kanannya, sementara tangan kirinya menahan tubuh Rachel.
Rachel meronta. “Susan udah ah,” ia menyingkirkan telapak tangan Susan dari mulutnya dengan paksa. “Udah mulai tuh.”
“Apanya?”
“Ya acaranya lah!” gerutu Rachel. “Sekarang diem. Liat tuh Mita cantik banget.” Ia menutup telinganya dan mengacuhkan sahabat berisiknya itu.

“Keren abis gaya lo, Ta!” puji Susan sambil mengacak-acak rambut Mita.
“Muji sih nggak papa, tapi jangan pake acara ngacak-ngacak rambut segala dong, mbak,” gerutu Mita. Ia menata rambutnya kembali.
“Tapi, bagus non. Kamu keren banget deh tadi,” Rachel melingkarkan lengannya di bahu Mita, lalu mengacungkan ibu jarinya. “Maju terus, ya.”
“Makaci,” sahut Mita yang berlagak seperti anak kecil dengan senyum manisnya.
Melihat tingkahnya, Rachel dan Susan tertawa. Wajah lucu Mita selalu menghadirkan tawa di tengah mereka. Dan saat-saat seperti itulah yang membuat mereka bersatu walau kadang mereka berselisih pendapat.
“Oh ya,” kata Mita, “ada yang keselip. Coba tebak apa yang aku dapet dari kesempatan jadi model ini.”
“Apaaaa yaaa?” Rachel menggaruk-garuk kepalanya.
Susan berdiri mematung. Ya, seperti itulah gayanya saat sedang berpikir.
Mita berdecak. “Udah, kelamaan,” katanya. “Dengerin ya. Mulai hari ini aku dikontrak sebagai model oleh perancang busana ini!”
Rachel dan Susan pun bersorak. Mereka memeluk sahabat mungilnya itu.
“Eh, tunggu,” kata Susan. “Gue udah, Mita udah, tinggal elo.” Ia menunjuk Rachel.
“Aku? Kenapa ya?” Rachel mengerutkan keningnya.
“Lah, gimana sih, kok lupa sendiri?” sergah Susan. “Dua hari lagi kan lo bakal terima pengumuman pemenang tulisan itu. Masa gitu aja lo lupa?”
“Rachel, cerita kamu itu lho,” tambah Mita.
Rachel meringis. “Oh iya,” celetuknya. “Hampir aja lupa. Abisnya, udah sering banget aku ikut lomba nulis. Tapi enggak pernah menang satu kalipun. Masuk nominasi aja nggak.”
Susan dan Mita pun larut dalam kesedihan Rachel. Mereka tahu kesedihan sahabatnya ini.
“Kalian selalu berhasil, aku?” lanjut Rachel. “Selalu gagal.”
“Ah Rachel!”Susan menjadi tegar seketika. “Kali ini kamu pasti menang. Percaya aja deh.”
Rachel hanya terdiam, lalu berjalan menjauh dari kedua sahabatnya.
Mita dan Susan pun saling berpandangan. Mereka tak tahu lagi apa yang harus mereka lakukan. Dalam kondisi ini, Rachel tak bisa dibujuk lagi dan akhirnya membuatnya murung selama berhari-hari. Kecuali ada suatu keajaiban.
“Pulang yuk,” ajak Rachel. “Capek.”

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Motivator In My Heart (Chapter 1)

“Semangat, Sue! Kamu pasti bisa!” seru Rachel sambil memukul-mukul galon air yang dibawanya. ”Berjuang Susan Tirtamangunkusumo!”
Stadion Tri Lomba Jung Semarang penuh sekali hari ini. Pertandingan bol voli antar kampus sedang diadakan disana. Susan dan teman-teman satu tim-nya sedang melakukan pemanasan. Rachel dan tiga teman sekampusnya duduk di bangku penonton yang paling depan sambil menyemangati.
”Rachel, kamu apa nggak ngerasa kepanasan, kok teriak-teriak gitu terus?” Mita, seorang sahabatnya mengeluh. ”Pertandingan belum mulai lho. Nanti kalo udah mulai kamu malah tambah kecapekan dong. Udah sekarang duduk aja dulu.”
Rachel menggeleng-gelengkan kepalanya. ”Mita, Mita. Kamu nih. Namanya juga nyemangatin temen, ya jangan setengah-setengah,” sahutnya. ”Lagipula Susan kan sahabat kita, masa kita biarin berjuang gitu aja sih? Sebagai sahabat yang baik, kita harus semangat, supaya dia juga semangat!”
Mita berkomat-kamit,” Iya, iya, nona cerewet,” katanya sambil mengayun-ayunkan kipas di depan wajahnya.
Tanpa mempedulikan keluhan Mita lagi, Rachel pun bersorak. Ia pun membuka lebar spanduk yang telah dipersiapkanny dua hari lalu untuk mendukung tim Susan.

Susan memenangkan pertandingan ini. Selama dua hari selanjutnya, Rachel dan Mita mengikutinya sampai ke pertandingan final. Demi sahabat mereka, teriknya sinar matahari tak membuat mereka malas untuk memberi dukungan pada Susan. Walau selama itu pula, Mita beberapa kali mengeluh harus mengeluarkan banyak keringat.
Priiiiiittt! Peluit panjang dibunyikan. Waktu pertandingan pun telah habis. Wasit menyatakan bahwa kemenangan diperoleh oleh tim Susan.

”Kamu hebat Sue!” seru Rachel sambil membawa dua gelas softdrink.
”Ah elo, itu semua kan karna support yang elo sama Mita kasi’ ke gue,” Susan yang aksen Jakarta-nya masih melekat walau sudah tinggal di Semarang selama lima tahun itu, mengambil salah satu gelas yang Rachel bawa dengan cepat. ”Thanks ya, non.” Ia langsung meneguknya sampai habis.
Rachel menertawakan Susan. ”Kamu tu, haus banget ya?” tanyanya.
Susan mengangguk. ”Omong-omong, mana tu anak satu?” ia mengubah topik pembicaraan.
”Mita bilang, dia mau latihan modelling apa gitu,” sahut Rachel. ”Soalnya selama tiga hari berturut-turut kamu tanding voli, Mita udah absen latihan terus. So, maminya sekarang nyuruh dia latihan keras supaya bagus di kompetisi modelling. Kan itu impian maminya, kalo anaknya bisa jadi model terkenal.”
”Gitu,” tanpa basa-basi, Susan menyambar minuman milik Rachel. ”Gue minum ya.”
“Eh, itu kan punyaku,” kata Rachel yang tak sempat merebut kembali minumannya.
”Lo ngambil lagi aja ya,”
“Ih, biasa deh. Itu tu yang aku nggak suka dari kamu,” gerutu Rachel. “Kebiasaan buruk.” Ia menjulurkan lidahnya pada Susan, lalu berjalan menuju lemari es yang ada di dekat sudut pintu kamarnya.
Tanpa mempedulikan Rachel, Susan pun meneguknya sampai habis. Lalu ia mengambil majalah baru yang tergeletak di meja yang ada di depannya. Kedua kakinya juga ia selonjorkan di atas meja, seolah berada di rumahnya sendiri.
Sementara itu, Rachel duduk di sofa empuknya. Tangannya menggenggam softdrink satu-satunya yang tersisa di dalam lemari es. Ia tak mau teman Jakartanya ini meminum miliknya lagi dengan paksa.
“Nggak usah terlalu was-was gitu deh,” Susan tertawa geli melihat sikap Rachel. “Lagipula gue juga udah nggak haus lagi kok.”
“Ya, aku kan takut kamu ngrebut minumanku lagi,” Rachel menjulurkan lidahnya lagi, “Susan!”
Susan pun membalas menjulurkan lidahya. Ia kembali berfokus pda majalah yang sedang dipegangnya. Sementara Rachel mengotak-atik laptop-nya.
Dalam keheningan yang sesaat itu, Mita menerobos masuk ke kamar Rachel yang pintunya tidak tertutup. Rachel dan Susan pun segera mengalihkan pandangan mereka kepada teman mungilnya itu.
“Dengerin aku ya semuanya!” seru Mita.
Susan menaikkan alisnya. ”What’s going on, babe?
Mita pun menarik nafas dalm-dalam dan mulai mengatur nafasnya yang tak beraturan itu. ”Sahabat-sahabatku,” ia memulai. ”Besok malam, aku akan mengikuti lomba perancang busana terbaik.”
”Hah? Sejak kapan lo jadi perancang busana?” Susan terperanjat.
”Pssst! Susan, dengerin dulu dong!” sergah Rachel.
Mita mengerutkan wajahnya. ”Tau tu! Susan sukanya mutus pembicaraan orang!” katanya ketus. ”Makanya dia putus sama pacarnya.”
”Udah deh, nggak usah mulai berantem ya,” Rachel memperingatkan. ”Lanjutin, Ta.”
Mita kembali menata emosinya sambil bergaya seperti orang yang sedang melakukan yoga. ”Aku yang jadi modelnya!” serunya girang.
”Yang bener, Ta?” Rachel memeluk Mita dan bersorak bersama.
Susan pun tak mau kalah. Ia merapatkan kedua sahabatnya itu dengan kedua tangannya yang cukup panjang.
”Aduh Sue, nggak bisa nafas!” seru Rachel dan Mita sambil meronta untuk lepas dari pelukan Susan.
Susan hanya tertawa puas. Ia paling senang mengerjai sahabat-sahabatnya. ”Maaf,” katanya tanpa dosa.
”Susan sukanya gitu deh!” gerutu Mita. ”Rambutku kan jadi rusak.” Ia merapikan rambutnya dengan jari-jari tangannya.
”Ah, gitu ja marah,” Susan mengacak-acak rambut Mita lebih lagi.
Rachel yang melihat tingkah kedua sahabatnya itu hanya menonton dan tertawa. Mereka selalu menjadi hiburan baginya dimana pun ia berada.
”Udah, udah,” sela Rachel. ”Entar kamarku jadi berantakan gara-gara kalian.”
”Susan kok yang mulai,” kata Mita sambil merapikan rambutnya kembali.
Susan tertawa terbahak-bahak lalu merangkul Mita.
”Terus acaranya jam berapa?” tanya Rachel.
“Tujuh,” Mita membentuk angka tujuh dengan jarinya. ”Kalian udah kusediakan tempat yang paling depan lho.”
“Wuu..baek banget lo,” sahut Susan. “Emang udah ada ijinnya? Bukannya yang dateng tu orang-orang penting, ya?”
”Mita gitu,” Mita mengangkat dagunya.
Rachel dan Susan hanya tertawa.
“Tapi kalian harus dandan yang cantik, supaya nggak malu-maluin aku,” kata Mita. “Makanya, besok pagi kalian udah harus siap. Mami mau bayarin kalian untuk didandanin di salon.”
“Sip deh,” Susan mengacungkan ibu jarinya.
Rachel mengangguk setuju.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Banner Exchange

Neng Hepi Blog, Banner