Halaman

Motivator In My Heart (Chapter 2)

Jam 06.38 malam.
“Guys, kalian duduk disini ya,” kata ita  yang terlihat mulai panik. “Aku harus pergi ke belakang panggung sekarang.” Lalu pergi menghilang di balik kerumunan orang.
Rachel dan Susan duduk di kursi paling depan, seperti kata Mita. Mereka duduk tanpa ada orang yang menemani mereka untuk saat ini. Seolah merekalah orang yang terpenting dalam acara itu.
Sambil menunggu acara dimulai, Rachel hanya duduk diam. Sementara itu, Susan celingukan kesana dan kemari, melihat apakah ada yang dapat menghilangkan rasa bosannya karena menunggu cukup lama.
“Hey Sue, aku suka sekali dengan baju ini,” Rache mengamati gaun merah yang sedang dipakainya. “Mita itu memang pintar memilih baju ya. Dia pantas mendapatkan peran sebagai model.” Ia tersenyum sambil memandangi gaun yang dipakainya itu.
Tapi rupanya, Susan tak memperhatikan perkataan Rachel. Ia masih celingukan kesana kemari.
”Susan!!!”
Susan tersentak. Ia langsung memalingkan pandangannya pada Rachel.
”Kamu nggak ndegerin aku, ya dari tadi?” tanya Rachel ketus.
”Denger kok, denger,” Susan berlagak memahami apa yang Rachel katakan. ”Lo kan blasteran, pake apa aja sih pantes.”
Rachel memanyunkan bibirnya. Wajahnya cemberut. Ia paling tidak suka dikatan berbeda karena ia blasteran. ”Aku kan nggak lagi ngomong itu,” gerutunya.
”Blasteran apa aja sih lo?” tanya Susan. ”Cina, Ameria, Filipina, Jawa sama apa tuh satu lagi?” Ia berpikir sejenak. ”Oh aku tahu. Rusia kan?”
”Mulai deh nggak connect,” gerutu Rachel lagi.
”Eh kok cuman bisik-bisik sendiri sih?”
”Bener semua!” sahut Rachel ketus.
Susan menyeringai. ”Berarti ingatan gue bagus ya?” katanya bangga. Dan tiba-tiba, matanya terpaku pada sebuah minuman ringan kesukaannya yang ada di dalam lemari pendingin di dekat seorang bartender yang ada di dekat pintu masuk. ”Rachel ayo kesana.” Ia menarik tangan Rachel.
Rachel yang tak kuasa menahan tarikan sahabat konyolnya itu pun akhirnya berjalan mengikutinya dari belakang.
”Hey, Sue,” Rachel menahan Susan. ”Aku nggak mau buat Mita kecewa karena kita pergi disaat dia butuh kita.”
”Alah, kan cuman sebentar,”
”Tapi kalo tempat duduk kita ditempatin sama orang gimana?” tambah Rachel.
”Nggak bakalan,” Susan meyakinkan. ”Itu kan tempat khusus. Nggak akan ada orang sembarangan yang duduk disana. Tenang aja lah.”
”Kalo yang duduk juga orang khusus dan bahkan lebih penting dari kita?”
Susan tidak menghiraukan kata-kata Rachel barusan.
Rachel mendesis kesal. ”Terserah lah,” katanya mengalah. Ia tahu bahwa ia takkan menang dalam perdebatan ini. Ia pun hanya terus mengikuti Susan.
Tak lama, mereka sampai ke lemari pendingin itu. Susan pun segera mengambil dua gelas. Satu untuknya dan satu untuk Rachel. Mereka pun meneguknya sampai habis.
Dengan sedikit memaksa, Rachel menarik tangan Susan untuk segera kembali ke kursi mereka. Dan rupanya, dugaan Rachel benar. Ada yang telah menduduki kursi mereka.
”Tuh kan, Susan sih!” keluh Rachel  ”Kamu ah yang tanggung jawab. Gimana pun caranya kamu harus buat Mita supaya enggak kecewa!” Rachel melipat kedua tangannya di dada dan bersikap tak mau tahu.
Take it easy, baby,” Susan berlagak tenang. “Dua cowok doang. Gampang. Ayo ikut aku.” Lalu menarik tangan Rachel.
Susan pun menghampiri kedua orang pemuda yang telah duduk di kursi mereka. Ia berdiri di depan mereka dan berlagak menantang.
Tapi tiba-tiba, air muka Susan berubah. Sikapnya yang sok menantang berubah menjadi gelisah.
Rachel yang berdiri di sebelahnya pun tertawa kecil. “Makanya,” bisiknya.
“Jangan diem aja, lo. Ngomong tu sama dua bule itu supaya pindah,” Susan memelototi Rachel. Ia terus menyenggol lengan sahabat blasterannya itu dengan sikunya.
Rachel pun memfokuskan dirinya agar emosinya lebih tertata, karena kedua pemuda itu sepertinya mulai merasa terganggu dengan keberadaan mereka.
Excuse me. These seats were prepared for us. Could you please move to the next two seats? ” pinta Rachel yang terlalu mudahnya untuk berkomunikasi dengan kedua pemuda asing itu. ”But if you don’t mind.
Oh sorry. We don’t mind. Please,” jawab salah satu dari pemuda yang berambut coklat muda, sambil mempersilakan Rachel dan Susan duduk.
Rachel pun terus menertawakan Susan.
“Berhenti nggak ketawanya!” perintah Susan. Wajahnya tampak memerah tidak karuan setelah kejadian itu. “Rachel, dalam hitungan ketiga kalo lo nggak berhenti ketawa―,”
“Iya, iya. Nih aku berhenti,” Rachel berusaha menahan tawanya.
“Bagus,”
“Abisnya kamu sok sih,” celetuk Rachel, “yang gitu deh.” Lalu mulai tertawa lagi.
“Oh, mulai lagi ya,” Susan menutup mulut Rachel dengan telapak tangan kanannya, sementara tangan kirinya menahan tubuh Rachel.
Rachel meronta. “Susan udah ah,” ia menyingkirkan telapak tangan Susan dari mulutnya dengan paksa. “Udah mulai tuh.”
“Apanya?”
“Ya acaranya lah!” gerutu Rachel. “Sekarang diem. Liat tuh Mita cantik banget.” Ia menutup telinganya dan mengacuhkan sahabat berisiknya itu.

“Keren abis gaya lo, Ta!” puji Susan sambil mengacak-acak rambut Mita.
“Muji sih nggak papa, tapi jangan pake acara ngacak-ngacak rambut segala dong, mbak,” gerutu Mita. Ia menata rambutnya kembali.
“Tapi, bagus non. Kamu keren banget deh tadi,” Rachel melingkarkan lengannya di bahu Mita, lalu mengacungkan ibu jarinya. “Maju terus, ya.”
“Makaci,” sahut Mita yang berlagak seperti anak kecil dengan senyum manisnya.
Melihat tingkahnya, Rachel dan Susan tertawa. Wajah lucu Mita selalu menghadirkan tawa di tengah mereka. Dan saat-saat seperti itulah yang membuat mereka bersatu walau kadang mereka berselisih pendapat.
“Oh ya,” kata Mita, “ada yang keselip. Coba tebak apa yang aku dapet dari kesempatan jadi model ini.”
“Apaaaa yaaa?” Rachel menggaruk-garuk kepalanya.
Susan berdiri mematung. Ya, seperti itulah gayanya saat sedang berpikir.
Mita berdecak. “Udah, kelamaan,” katanya. “Dengerin ya. Mulai hari ini aku dikontrak sebagai model oleh perancang busana ini!”
Rachel dan Susan pun bersorak. Mereka memeluk sahabat mungilnya itu.
“Eh, tunggu,” kata Susan. “Gue udah, Mita udah, tinggal elo.” Ia menunjuk Rachel.
“Aku? Kenapa ya?” Rachel mengerutkan keningnya.
“Lah, gimana sih, kok lupa sendiri?” sergah Susan. “Dua hari lagi kan lo bakal terima pengumuman pemenang tulisan itu. Masa gitu aja lo lupa?”
“Rachel, cerita kamu itu lho,” tambah Mita.
Rachel meringis. “Oh iya,” celetuknya. “Hampir aja lupa. Abisnya, udah sering banget aku ikut lomba nulis. Tapi enggak pernah menang satu kalipun. Masuk nominasi aja nggak.”
Susan dan Mita pun larut dalam kesedihan Rachel. Mereka tahu kesedihan sahabatnya ini.
“Kalian selalu berhasil, aku?” lanjut Rachel. “Selalu gagal.”
“Ah Rachel!”Susan menjadi tegar seketika. “Kali ini kamu pasti menang. Percaya aja deh.”
Rachel hanya terdiam, lalu berjalan menjauh dari kedua sahabatnya.
Mita dan Susan pun saling berpandangan. Mereka tak tahu lagi apa yang harus mereka lakukan. Dalam kondisi ini, Rachel tak bisa dibujuk lagi dan akhirnya membuatnya murung selama berhari-hari. Kecuali ada suatu keajaiban.
“Pulang yuk,” ajak Rachel. “Capek.”

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "Motivator In My Heart (Chapter 2)"

Banner Exchange

Neng Hepi Blog, Banner