Halaman

Motivator In My Heart (Chapter 3)

Dua hari berlalu.
Dengan lesu, Rachel berangkat ke tempat pengumuman pemenang lomba tulis yan ia ikuti, tanpa kedua sahabatnya. Ia hanya pasrah dan berusaha menenangkan dirinya bila datang saatnya ia melihat namanya tidak terdaftar dalam pengumuman itu. Dengan Honda Jazz warna biru miliknya itu, ia melaju dengan kencang.
Ia melangkah masuk ke suatu gedung. Jantungnya berdegup kencang saat langkah pertama ia ambil. Namun, ia membangkitkan semangatnya. Ia meyakinkan dirinya bahwa ia pasti berhasil kali ini.
Matanya menelusuri sebuah kertas yang berisi daftar sepuluh pemenang lomba tulis. Dalam waktu singkat, semangatnya pudar saat nama Rachel Marianne tidak ia temukan.
Ok, it happens again,” katanya lesu sambil berjalan dengan arah tak tentu. Ia terus saja berjalan. Sampai akhirnya ia mendaratkan tubuhnya di suatu bangku di sebuah taman yang tak jauh dari tempat ia memarkirkan mobilnya.
“Kenapa?” ia bergumam. “Kenapa aku selalu gagal? Bukankah saat aku memberikan motivasi kepada teman-temanku, mereka pada akhirnya berhasil. Tapi aku? Sampai berapa banyak orang telah memberiu semangat dan motivasi, tapi tetap saja aku gagal. Tuhan, tolong aku.” Ia menghela nafas dalam dan menghapus air matanya yang telah membasahi pipinya. “Baiklah, sebaiknya aku pulang sekarang.”
Ia pun beranjak dari bangku itu. Namun, belum jauh ia melangkah, tubuhnya menabrak seseorang tanpa sengaja.
Oops, sorry,” kata orang itu.
“Nggak―,” ia terperanjat saat ia mendongak kepada orang yang ia tabrak, “papa kok.” Ia tersadar bahwa orang itu adalah pemuda asing yang ia temui di acara Mita malam lusa lalu. “Oh, you’re the one I’ve met two days ago in the designer contest, right?
Pemuda itu menangguk. “Ya, kita bertemu lagi,” sahutnya dengan lafalnnya yang cadel itu. “Aku Derek.”
“Rachel,” mereka pun saling berjabat tangan. “Kamu bisa berbahasa Indonesia? Bagus sekali caramu bicara.” Rachel tampak berbinar. Sekejap, kesedihannya yang lalu lenyap.
“Terima kasih,” Derek tersenyum. “Aku baru belajar. Aku harap kamu mau membantuku. But, if you don’t mind.
Rachel menggeleng. “Aku tidak keberatan sama sekali kok,” sahutnya. “Lebih baik kita duduk dulu sejenak.” Kemudian ia duduk, disusul dengan Derek tepat di sebelahnya.
Derek berdehem. “Maaf, boleh aku tanya sesuatu?”
Rachel mengangguk pelan.
“Kamu sendiri saja?”
Rachel mengangguk lagi. “Baru saja aku melihat kegagalanku dalam lomb tulis yang ku ikuti,” celetuknya tanpa sadar.
I can see it through your eyes that was full of tears, I think,” kata Derek.
“Maaf, seharusnya aku tidak menceritakan ini kepadamu,” sahut Rachel cepat. “Maafkan aku.”
Derek tersenyum. “You can tell me, mungkin aku bisa meringankan bebanmu,” katanya. “I would be very glad to help you.
Rachel menghela nafas. “Baiklah,” kemudian menghembuskannya kembali. Ia menceritakan segala keluh kesahnya pada orang yang bahkan belum lama ia kenal. Namun, dengan perasaan yang nyaman ia menceritakannya pada Derek.
Derek tertawa tiba-tiba saat Rachel selesai menceritakan masalahnya.
Rachel pun mengerutkan dahinya, ”Kupikir, baru saja aku menceritakan masalah yang telah membuatku sedih, bukan pengalaman terlucuku,” sahutnya bingung, “tapi kenapa kamu justru tertawa?”
Derek pun menahan tawanya. “Kau tahu,” ia memulai.”Thomas Alfa Edison mencoba sembilan puluh sembilan kali untuk menciptakan lampu, namun ia terus gagal. Baru percobaan ke-seratusnya ia berhasil. Albert Einstein, ia lebih banyak lagi berusaha dan gagal. Tapi kemudian ia bangkit dan akhirnya  seluruh penemuannya dipakai sampai ke ujung bumi. Dan kamu? Sudahkah melebihi usaha mereka?”
Rachel menunduk. “Kamu benar, walau sebenarnya aku lebih ingin dihibur dahulu daripada dinasehati,” katanya. “Tapi memang tidak seharusnya aku menyerah secepat ini.” Ia pun mengangkat kepalanya kembali. “Baiklah. Aku harus bangkit! Aku tidak akan menyerah sampai aku bisa.”
“Bagus!” sahut Derek senang. “Cheer up and break your problem! ” Ia menepuk bahu Rachel. “Oh iya. Dan ini,” ia mengambil sesuatu dari dalam tasnya, lalu menyodorkannya pada Rachel, “untuk kamu.”
Rachel melemparkan pandangannya pada Derek. “Apa ini?” tanyanya.
“Ambil dan kemudian bacalah,” Derek membuka telapak tangan Rachel dan meletakkan kertas itu di atasnya.
Rachel pun membacanya. “Kontes-Menulis-Cerita-Seluruh-Indonesia,” ia mengeja perlahan. “Derek ini―”
“Ya, itu undangan untukmu, untuk mengikuti kontes itu,” sahut Derek sebelum Rachel menyelesaikan kalimatnya.
“Tapi bagaimana― siapa sih kamu?” Rachel mengubah pertanyaannya. “Kenapa kamu bisa berikan undangan ini padaku begitu saja? Kurasa undangan ini adalah undangan eksklusif yang mungkin saja sudah ditujukan kepada orang lain.”
Derek mengedikkan pundaknya. “Aku ini hanya seorang distributor yang ditugaskan untuk membagikan undangan itu,” jawabnya. “Dan itu sisa undangan yang terselip di tasku.”
“Begitu ya?” Rachel seolaah tak percaya. “Cukup aneh bagiku jika seorang warga negara asing menjadi seorang distributor biasa di Indonesia.”
Derek tertawa kecil.
But, anyway thank you so much for this,”kata Rachel. “And I think, I have to go home now.
“Mau kuantar?”
“Terima kasih, tapi tidak,” sahut Rachel. “Aku membawa mobil dan kuparkirkan tak jauh dari sini kok.”
Ok then,” Derek tersenyum. “See ya.
See ya,”

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "Motivator In My Heart (Chapter 3)"

Banner Exchange

Neng Hepi Blog, Banner