Halaman

Pacarku Superstar (Chapter 6)

Tim merasa sangat bahagia atas kejadian malam kemarin. Walaupun ia telah melakukan hal gila pada Ben, ternyata Ben hanya mengambil sikap santai dan riang atas perbuatannya.
Tiga hari menjelang Kejuaraan Baseball, seluruh anggota tim baseball Tim sudah tiba di Amerika Serikat. Selama beberapa hari itu, Tim dan seluruh anggota tim-nya berlatih lagi untuk terakhir kalinya dan memantapkan permainan mereka.
Seharu sebelum pertandinga, setelah pulang latihan baseball, Tim membaringkan dirinya di ranjang.
”Oh, iya. Ingat-ingat pesan Mama,” Tim bersenandung. ”Aku  harus segera mandi. Kalau nggak, aku bakalan lupa terus dimarahin Mama. Oh, no way!”

”Tim! Tim!” suara Georgie terdengar keras diiringi ketukan di pintu kamar Tim yang sama sekali tak berirama.
Tim pun membuka pintu. ”Ada apa?” tanyanya.
”Kenapa kau tidak memberitahuku bahwa kau telah bertemu dengannya?”
Tim tertawa keci. ”Ben? Oh, maaf sekali ya, Georgie. Aku tidak sempat waktu itu,” sahutnya. ”Lagipula malam itu kau sudah tertidur, dan hari-hari ini aku sibuk berlatih baseball terus, jadi aku lupa. Jujur, aku tidak bermaksud buruk kok. Tapi kalau kau ingin bertemu dengannya, datang saja ke pertandingan baseball-ku besok. Dia berjanji akan datang.”
”Benarkah?” Georgie tampak berbunga-bunga, kemudian ia pergi dari hadapan Tim tanpa sepatah kata apapun. Hanya senandung yang dapat Tim dengar dari mulut Georgie.
”Dasar Georgie,” Tim tertawa geli.
***
Hari ini tim baseball Tim melawan tim baseball dari Pennsylvania. Mereka bersiap-siap dan mulai menempatkan diri setelah berdoa bersama. Tim sebagai pitcher akan segera melemparkan bola.
Pertandingan sudah berlangsung selama satu jam. Kini giliran tim baseball Tim yang bermain. Dan sekarang, tinggal satu inning lagi. Dirinya sendiri.
Tuhan, bantu aku,” Tim bergumam. “Aku berharap Indonesia mendapat nama baiknya lagi di mata dunia melalui pertandingan baseball kami. Dan juga aku.
Tim bersiap-siap untuk memukul. Ia menggenggam erat tongkat pemukulnya. Pandangannya terfokus pada bola yang akan dilempar pitcher dari tim lawan.
Bang! Bola terlempar jauh oleh pukulan Tim dan HOME RUN!!!
Tim mematung, dan tongkat pemukul lepas dari tangannya. Ia tak menyangka bahwa ia dapat melakukannya. Skor saat ini antara tim-nya dan tim lawan menjadi 13-12. Itu berarti tim Indonesia memenangkan pertandingan ini.
Seluruh pendukung Indonesia bersorak kegirangan.Suasana pun menjadi riuh sekali.
Papa dan Mama Tim berlari masuk ke lapangan. Mereka memeluk Tim dengan erat.
”Kamu menang, Tim!” seru Papa dan Mama.
Sementara mereka menangis haru, tak jauh dari tempat Tim berdiri, Ben sedang berdiri memegang microphone. Dan ketika orang banyak menyadari kehadiran Ben, suasana berangsur-angsur hening.
”Lagu ini saya persembahkan pada orang yang saya kagumi, yang baru saja saya kenal beberapa hari lalu,” kata Ben. ”Saya berharap, setelah saya selesai menyanyikan lagu ini, dia bersedia menerima saya menjadi salah satu bagian dari hidupnya.”
Mama berdehem. ”Timmy, ” Mama menyeringai sambil menggoda. ”Ternyata Timmy ada yang suka ta? Kirain nggak ada.”
”Mama,” celetuk Tim. ”Aku juga nggak tahu kalo dia suka sama aku. Ah udah. Aku mau dengerin lagunya.
Keep smiling, keep shining
Knowing you can always count on me,for sure
That’s what friends are for
For good times or bad times,
I’ll be on your side forever more
That’s what friends are for…
Ben bernyanyi sambil memandang kepada Tim.

”Bagaimana? Aku menunggu jawabanmu, katanya saat menghampiri Tim; sementara itu, Papa dan Mama Tim meninggalkannya untuk bersama Ben.
”Kurasa kau tahu jawabannya,”
Ben menggeleng. ”Aku mau dengar kau mengucapkannya,”
Tim menghela nafas. ”Aku mau jadi pacarmu,” bisiknya cepat.
”Apa? Aku tidak bisa dengan jelas mendengarnya,”
”AKU-MAU-JADI-PACARMU!” Tim mengucapkannya per kata dengan volume yang cukup keras.
Ben tersenyum, lalu mengusap-usap kepala Tim. ”Kalau begitu, ajari aku Bahasa Indonesia, ya?” ia merangkul Tim.
Tim tersenyum lebar. ”Tidak masalah,” katanya singkat.
Ia merasa sangat bahagia. Dan ia berjanji pada dirinya bahwa ia takkan pernah melupakan hari itu dengan hasratnya yang ingin berkata:

                                                     "PACARKU SUPERSTAR!!!"

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Pacarku Superstar (Chapter 5)

Di tengah jalan, ponsel Tim berdering.
“Untuk mengenaliku, aku memakai baju putih berkotak-kotak hitam dengan celana jeans biru. Kutunggu kau di depan gerbang Dixie Lantz. Ben O’Donell,” itulah kata-kata yang tertera dalam sebuah SMS yang ia terima dari Ben.
Tim pun memberikan pesan singkat kepada Ben mengenai ciri-cirinya.
Di pintu gerbang masuk Dixie Lantz yang penuh dengan kerumunan orang, ia mulai mencari pemuda yang baru saja menyentuh hatinya.
“Baju putih kotak-kotak hitam, jeans biru. Mana ya?” Tim menoleh kanan dan kiri. Matanya menjelajah setiap sudut.
Dan tiba-tiba, sebuah telapak tangan jatuh di bahu kanan Tim. “Jaket jeans, baju biru, celana jeans hitam,”
Tim pun berbalik. ”Ben ya?” katanya terkejut, saat melihat orang yang pernah dilihatnya di sebuah klip video, sekarang ada di dekatnya. Sangat dekat.
Well, it’s me,” kata Ben. ”Ayo kita duduk dulu sebentar.”
Ben dan Tim pun mencari bangku terdekat dan duduk disana.
”Kau belum memperkenalkan dirimu,” kata Ben.
Tim menyodorkan tangan kanannya. ”Aku Tim. Tim Marshal,” mereka saling berjabat tangan.
”Tim? Timberly?”
Tim mengangguk. ”Tapi aku jarang sekali  menggunakan nama itu,”
”I see,” sahut Ben. ”Dari penampilanmu, kau ini tomboy sekali.”
Tim menyeringai
”Kalau menurut pemandanganku, kau bukan dari sini,” tebak Ben.
”Ah, benar sekali,” sahut Tim cepat. ”Aku tinggal di Indonesia.”
”Berarti telepon yang tadi itu hanya sebuah trik kan?”
Ups! Tim tak seharusnya menyebutkan daerah asalnya, yang jelas sekali tidak menunjukkan bahwa ia orang di Amerika. Ia telah membuka rahasianya sendiri tanpa sengaja.
”Tidak mungkin kan orang yang tidak tinggal di tempat ini bertanya mengenai pekerjaan sekolah kepada orang yang tinggal disini?” tanpa basa-basi, Ben langsung membuka kedok Tim.
Dengan tidak tanggung-tanggung, bibir Tim terkunci rapat, seolah tak bisa dibuka lagi. Ia benar-benar merasa bersalah akan apa yang telah ia perbuat pada Ben.
”Tebakanku benar, ya?”
Tim menghela nafas panjang. ”Oke, aku mengaku aku bersalah,” ia pun beranjak dari kursinya dan berdiri. ”Aku benar-benar minta maaf karenanya. Kalau aku boleh mengatakan yang sejujurnya, aku tidak menyangka bahwa aku akan melakukan hal gila itu. Sebenarnya, aku adalah orang yang sangat cuek terhadap lawan jenisku. Jadi kau bisa percaya bahwa aku tidak mungkin merencanakan hal gila seperti ini dengan sengaja.” Ia terdiam. Ragu apakah ia harus menceritakan lebih dalam lagi akan apa yang ia rasakan setelah melihat klip video itu. ”Tapi semenjak aku melihat kau bernyanyi dalam klip video yang sudah menyebar ke seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia, mataku seolah tak berkedip. Mataku terpaku. Dan aku tidak tahu alasannya,” akhirnya menyelesaikan penjelasannya yang panjang.
Sejenak, keadaan di antara mereka menjadi hening. Tapi tiba-tiba tawa Ben meledak dan memecahkan keheningan itu.
Tim memandang lekat pada Ben, lalu duduk kembali di kursi dan memandang lurus ke depan. Ia pun tertawa.
”Kau ini luar biasa! Kau berani melakukan hal itu pada seorang artis yang baru saja naik daun,” kata Ben. ”Memang, banyak orang sanggup melakukan hal yang sama denganmu, tapi yang paling penting, pengakuanmu yang barusan belum tentu akan orang lain lakukan juga saat mereka ditemukan bersalah. Tapi kau baru saja melakukannya. Kau memang sungguh-sungguh berbeda dari semua gadis yang pernah kutemui.”
Tim hanya tertawa. Di dalam hatinya, ia masih merasa malu akan perbuatan gilanya.
Setelah beberapa lamanya mereka tertawa, Ben angkat bicara. ”Aku salut padamu,” katanya. ”Kau juga tidak mengubah penampilanmu dari tomboy menjadi girlie untuk orang yang kau sukai.”
”Orang yang kusukai? Kau ini terlalu percaya diri tahu!”celetuk Tim. “Tapi ya, baiklah, aku SEDIKIT suka padamu.”
Sedikit?”
“Oke, agak banyak,” sahut Tim lagi. “Aku bukan orang yang bisa mengubah image diriku hanya untuk suatu hal. Aku lebih ingin menjadi diriku sendiri. Dan aku ingin orang lain melihat diriku apa adanya. Ya, tomboy dan―kebanyakan cuek.”
Ben tersenyum kecil. “Omong-omong, kalau aku boleh tahu, ada urusan apa kau datang kesini?” Liburan atau yang lainnya?” ia mengubah topik pembicaraan.
“Aku sedang menuju kejuaraan baseball,” jawab Tim.
“Kapan? Boleh aku menonton?”
“Yup,”jawab Tim singkat. “Minggu depan, hari Senin, jam sembilan pagi.”
“Aku pasti datang,” kata Ben cepat.
Trrrrt. Trrrrt. Ponsel Tim bergetar.
Cepet pulang sayang, ini udah malem. Ntar Papa marah kalo kamu pulangnya kemaleman, oke? Mama .
”Dari orang tuamu?” tanya Ben.
Tim mengangguk. ”Aku harus pulang sekarang,”
”Aku akan antar kau,” kata Ben. ”Aku ingin tahu dimana kau menginap.”
”Baiklah,” sahut Tim.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Pacarku Superstar (Chapter 4)

Esoknya, Georgie mengajak Tim untuk mencari informasi tentang pemuda yang mereka idolakan. Liburan musim panas kali ini kelihatannya akan mereka habiskan untuk melakukan satu hal saja. Mencari informasi tentang Ben O’Donnell.
Dengan segala daya dan upaya, Georgie “menggeledah pikiran” setiap orang yang Georgie kenal. Bahkan mereka menanyai semua teman-teman sekelas Ben O’Donnell. Dan rupanya pikiran mereka salah mengenai berapa lama mereka akan dapat mendapatkan informasi lengkap mengenai pemuda yang sedang mereka cari itu. Setelah seharian penuh berkeliling, mereka akhirnya mendapatkan apa yang mereka cari.
“Hei Georgie, apa rasanya tidak cukup aneh kalau kita mendapatkan informasi tentang Ben secepat dan semudah ini?” tanya Tim  yang terheran-heran akan sikapnya yang sudah berbalik 180 derajat dari sikapnya yang normal, semenjak ia tahu akan Ben.
Georgie hanya tersenyum kecil. “Iya sih. Selama ini aku mencari susah sekali. Tapi sekali aku mencari bersamamu segalanya tampak mudah sekali,” kata Georgie.Mmmh, tapi itu mungkin saja karena Ben adalah pendatang baru, jadi belum banyak paparazzi yang akan membuatnya menarik diri dari incaran infotainment.”

Tim merasa sangat gembira karena telah mendapatkan apa yang ia inginkan. Ia akhirnya merasakan apa yang selama ini teman-teman perempuannya rasakan. JATUH CINTA. Dan yang karenanya Tim dapat melakukan hal-hal gila sekalipun.
Tiba-tiba, mata Tim tertuju kepada secarik kertas yang bertuliskan nomor ponsel Ben. Ia ingin mendengar suara orang yang ia idolakan itu barang sesaat. Ia berpikir apaka ia akan memberitahu Georgie tentang ini, tapi ia mengurungkan niatnya. Lalu ia pun mengambil ponselnya dan menekan tombol-tombol ponselnya sesuai dengan nomor yang tertera pada kertas itu.
Halo?” sebuah suara terdengar dari seberang.
Tim terdiam sejenak. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan selanjutnya. Hatinya terlalu berbunga-bunga mendengar suara itu.
Halo?” suara itu terdengar lagi untuk kedua kalinya.
Tim pun terjaga. “Hei! Halo Ben! Aku hanya ingin bertanya apakah besok kita bisa belajar bersama di rumahmu untuk mengerjakan tugas dari Bu Tracy?” sahut Tim spontan. Sungguh ia tak menyangka akan mengeluarkan kata-kata itu dari mulutnya, ditambah dengan nama guru yang benar-benar dikarangnya
Maaf, tapi kurasa kau salah orang,”
Salah orang? Kau Benjamin Campbell, kan?” sahut Tim menutup-nutupi sambil berpikir apa yang harus ia katakan selanjutnya.
Ya, kau salah orang,” kata Ben. “Aku Benjamin O’Donnell, bukan Benjamin Campbell.”
“Oh, aku salah, ya? Maafkan aku kalau begitu, temanku rupanya memberikan nomor yang salah,” kata Tim yang kemudian memutuskan koneksi.
Tim langsung menjatuhkan tubuhnya di ranjang.
“Apakah aku sudah kehilangan akalku? Masa aku telpon orang yang bahkan belum kukenal dengan alas an belajar bersama?” Tim memukul-mukul kepalanya sendiri dengan telapak tangannya. “Seorang artis lagi! Aku ni bener-bener udah nglakuin hal yang malu-maluin. Malu-maluin banget!”
Tim menarik nafas dalam-dalam. Ia berusaha menenangkan dirinya untuk mengembalikan dirinya kembali ke sifatnya yang normal, seperti dulu, dimana ia berlaku acuh tak acuh mengenai lawan jenisnya.
“Aku nggak boleh kayak gini!” kata Tim pada dirinya sendiri. ”Aku harus focus ke pertandingan baseball-ku bukan Ben O’Donnell! Aku harus kembali ke kepribadianku semula!”
Ketika Tim mulai dapat mengendalikan pikirannya untuk tidak memikirkan Ben lagi, ponselnya tiba-tiba berdering. Sebuah nomor tak dikenal muncul pada layar ponselnya.
Tim menekan tombol “answer” pada ponselnya. “Halo? Disini Tim. Siapa ini?” sahutnya.
“Hai, aku orang yang barusan kau telepon,”
Dug! Jantung Tim serasa ditimpa sebongkah batu besar. Itu Ben O’Donnell. Rupanya ia lupa menyimpan nomor ponselnya.
Oh, kau,” kata Tim.Aku sungguh-sungguh minta maaf atas kejadian sebelumnya.”
Jangan kuatir mengenai hal itu. Aku tidak akan menuntutmu atau lain sebagainya,” kata Ben.Tapi, bisakah kita bertemu?”
Apa? Bertemu? Kita bahkan belum pernah bertemu. Apa kau tidak salah bicara?” tanya Tim yang masih merasa cukup kuatir jika Ben akan menyalahkan perbuatannya.
Aku tidak salah bicara,” sahut Ben cepat.Aku hanya butuh teman bicara. Aku sedang berada di rumah sendirian malam ini. Jadi aku mau mengajakmu pergi ke Dixie Lantz. Mau?”
Tim diam sejenak.Baiklah,” jawabnya,
Kutunggu kau disana, ya,” kata Ben yang kemudian memutuskan koneksi.
Dengan terputusnya koneksi itu, ia langsung berlari menuju kamar Papa dan Mamanya.
“Papa! Mama!” teriak Tim.
“Sssh! Jangan teriak-teriak dong, sayang! Nanti orang-orang serumah bisa keganggu sama suaramu yang gede itu,” kata Mama saat melihat Tim muncul di pintu kamarnya.
Tim pun menutup mulutnya dengan kedua tangannya.
Ada apa sih, Tim?” tanya Papa yang kelihatan sangat penasaran atas tingkah Tim yang tidak seperti biasanya.
Tim berdehem. “Tapi janji,” katanya, “Papa sama Mama nggak boleh kaget, oke?”
“Memangnya apa kok bisa sampe buat Papa sama Mama kaget?” sahut Mama cepat.
Tim berdecak. “Mama, janji dulu,” ia mendesak.
“Iya, iya, janji,” kata Papa dan Mama hampir bersamaan.
Tim berdehem lagi. “Aku-diajak-sama-artis-Holywood―” ia mengatakannya perlahan-lahan, “yang baru naik daun-untuk pergi-ke-Dixie Lantz!” Lalu melompat riang.
“Yang bener?” tanya Mama yang rupanya sangat terkejut dan ikut bersorak riang.
Papa mencibir, ”Yakin tuh, bukan artis jadi-jadian?” sergah Papa.
”Hih, Papa!” kata Mama ketus sambil berpaling kepada Papa. ”Anaknya lagi seneng kok dibilang kayak gitu sih?” lalu memandang Tim. ”Udah Timmy, sekarang kamu ganti baju. Mama mintain salah satu supir untuk anterin kamu kesana deh. Oke?”
Tim tersenyum lebar. ”Sip deh, Ma,” katanya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Pacarku Superstar (Chapter 3)

“Anak-anak pada ngributin apa to?” tanya Tim pada John, salah satu anggota Tim baseball-nya. “Kok dari tadi sampe sekarang ngomongin penyanyi ganteng, siapa tuh? Benjamin…”
“Benjamin O’Donnell? Pendatang baru itu?”
“Nah, iya itu kali,” sahut Tim. “Emang seganteng apa to? Kok dipuji-puji segitunya.”
“Kamu nggak tahu?” John mengerutkan dahinya.
Tim menggeleng.
“Nih, coba kamu liat. Kebetulan aku punya MP4-nya di HP-ku,” John mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan menunjukkan sebuah video klip pada Tim.
“Lho, itu kan cowok yang aku liat kemaren,” seru Tim.
“Heh, kamu kok aneh gitu sih?” John mengerutkan dahinya lagi. “Seingetku, ini baru pertama kalinya aku liat kamu antusias sama cowok.”
Tim pun tersadar akan apa yang baru saja ia lakukan. “Ah, kamu aja yang nggak pernah ngerti,” Tim berusaha meyakinkan John dan dirinya sendiri. “Buktinya aku pernah kagum sama cowok, contohnya papaku.”
“Dasar kamu nih!” John mendorong kepala Tim dengan tangannya. “Jangan samain papa kamu sama cowok ini dong!”
Tim hanya meringis sambil mengelus-elus kepalanya.

Jadwal latihan baseball Tim semakin padat. Pertandingan baseball hampir dekat. Ia dan tim-nya benar-benar berjuang dekat keras.
Tapi semua itu tidak bisa menghentikan pikirannya untuk terus memikirkan “cowok Amerika” itu. Bahkan, tidak jarang ia tersenyum sendiri saat memikirkan pemuda yang mempesonanya.
Papa Tim yang pulang dari Australia tiga hari lalu, saat melihat putri satu-satunya terlihat suntuk pun mengajaknya pergi berlibur ke Amerika Serikat. Tim yang sudah cukup lelah dengan latihan baseball-nya pun menyetujui ajakan papanya. Ia memutuskan untuk mendahului teman-temannya ke Amerika Serikat seminggu sebelum pertandingan baseball dimulai.
Lagipula, mungkin ini adalah sebuah kesempatan bagiku agar dapat mengenal lebih dekat sosok Ben O’Donnell,pikir Tim yang rupanya benar-benar telah dimabuk asmara.
***
Di Amerika Serikat, musim panas merupakan musim libur yang sangat menyenangkan. Banyak orang yang berlibur dan bersenang-senang. Tim pun tak mau kalah. Ia bersama dengan Georgie Lawrensky, anak perempuan dari teman papanya berlibur ke pantai.
Apakah di Indonesia sedang musim panas juga?” tanya Georgie.
Tim menggeleng. “Sebentar lagi musim hujan,” jawabnya dengan bahasa Inggrisnya yang sangat fasih itu.
“Bagaimana dengan pertandingan baseball-mu minggu depan?” tanya Georgie yang rupanya tidak bisa diam walau hanya untuk sesaat.Apakah sudah siap?”
Tim mengangguk.
Wah, kelihatannya tim-mu bagus, ya?” puji Georgie.
“By the way, kamu tahu Ben O’Donnell, kan?” Tim memulai aksinya untuk mencari informasi tentang pemuda yang terus membayangi pikirannya.
Tentu saja!” sahut Georgie antusias. “Aku salah satu fans beratnya lho!”
“Begitukah?” Tim terperanjat dengan sikap Georgie yang rupanya sama saja dengan sikap teman-teman perempuannya di Indonesia.
Kau pasti fansnya juga, kan?” tebak Georgie.Kalau begitu, kau pasti akan senang mendengar apa yang akan ku beritahukan padamu.”
“Apa itu?” tanya Tim. Ia berharap ini adalah sebuah kesempatan besar untuk dapat bertemu dengan artis pendatang baru itu.
Aku satu sekolah dengan Ben O’Donnell!”
Benarkah?” sebongkah harapan besar baru saja muncul di depan Tim. ”Apa kau kenal dengannya? Tahu tentang dia, seperti nomor ponsel, alamat rumah, alamat email, atau apapun?”
Georgie diam sejenak.Itu yang selama ini kucari,” katanya.Tapi aku akan berusaha lagi.”
“Georgie,” Tim memeluk Georgie. Ini adalah hal yang pertama kali ia lakukan pada orang lain selain orang tuanya.Thanks.”
***

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Pacarku Superstar (Chapter 3)

“Anak-anak pada ngributin apa to?” tanya Tim pada John, salah satu anggota Tim baseball-nya. “Kok dari tadi sampe sekarang ngomongin penyanyi ganteng, siapa tuh? Benjamin…”
“Benjamin O’Donnell? Pendatang baru itu?”
“Nah, iya itu kali,” sahut Tim. “Emang seganteng apa to? Kok dipuji-puji segitunya.”
“Kamu nggak tahu?” John mengerutkan dahinya.
Tim menggeleng.
“Nih, coba kamu liat. Kebetulan aku punya MP4-nya di HP-ku,” John mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan menunjukkan sebuah video klip pada Tim.
“Lho, itu kan cowok yang aku liat kemaren,” seru Tim.
“Heh, kamu kok aneh gitu sih?” John mengerutkan dahinya lagi. “Seingetku, ini baru pertama kalinya aku liat kamu antusias sama cowok.”
Tim pun tersadar akan apa yang baru saja ia lakukan. “Ah, kamu aja yang nggak pernah ngerti,” Tim berusaha meyakinkan John dan dirinya sendiri. “Buktinya aku pernah kagum sama cowok, contohnya papaku.”
“Dasar kamu nih!” John mendorong kepala Tim dengan tangannya. “Jangan samain papa kamu sama cowok ini dong!”
Tim hanya meringis sambil mengelus-elus kepalanya.

Jadwal latihan baseball Tim semakin padat. Pertandingan baseball hampir dekat. Ia dan tim-nya benar-benar berjuang dekat keras.
Tapi semua itu tidak bisa menghentikan pikirannya untuk terus memikirkan “cowok Amerika” itu. Bahkan, tidak jarang ia tersenyum sendiri saat memikirkan pemuda yang mempesonanya.
Papa Tim yang pulang dari Australia tiga hari lalu, saat melihat putri satu-satunya terlihat suntuk pun mengajaknya pergi berlibur ke Amerika Serikat. Tim yang sudah cukup lelah dengan latihan baseball-nya pun menyetujui ajakan papanya. Ia memutuskan untuk mendahului teman-temannya ke Amerika Serikat seminggu sebelum pertandingan baseball dimulai.
Lagipula, mungkin ini adalah sebuah kesempatan bagiku agar dapat mengenal lebih dekat sosok Ben O’Donnell,pikir Tim yang rupanya benar-benar telah dimabuk asmara.
***
Di Amerika Serikat, musim panas merupakan musim libur yang sangat menyenangkan. Banyak orang yang berlibur dan bersenang-senang. Tim pun tak mau kalah. Ia bersama dengan Georgie Lawrensky, anak perempuan dari teman papanya berlibur ke pantai.
Apakah di Indonesia sedang musim panas juga?” tanya Georgie.
Tim menggeleng. “Sebentar lagi musim hujan,” jawabnya dengan bahasa Inggrisnya yang sangat fasih itu.
“Bagaimana dengan pertandingan baseball-mu minggu depan?” tanya Georgie yang rupanya tidak bisa diam walau hanya untuk sesaat.Apakah sudah siap?”
Tim mengangguk.
Wah, kelihatannya tim-mu bagus, ya?” puji Georgie.
“By the way, kamu tahu Ben O’Donnell, kan?” Tim memulai aksinya untuk mencari informasi tentang pemuda yang terus membayangi pikirannya.
Tentu saja!” sahut Georgie antusias. “Aku salah satu fans beratnya lho!”
“Begitukah?” Tim terperanjat dengan sikap Georgie yang rupanya sama saja dengan sikap teman-teman perempuannya di Indonesia.
Kau pasti fansnya juga, kan?” tebak Georgie.Kalau begitu, kau pasti akan senang mendengar apa yang akan ku beritahukan padamu.”
“Apa itu?” tanya Tim. Ia berharap ini adalah sebuah kesempatan besar untuk dapat bertemu dengan artis pendatang baru itu.
Aku satu sekolah dengan Ben O’Donnell!”
Benarkah?” sebongkah harapan besar baru saja muncul di depan Tim. ”Apa kau kenal dengannya? Tahu tentang dia, seperti nomor ponsel, alamat rumah, alamat email, atau apapun?”
Georgie diam sejenak.Itu yang selama ini kucari,” katanya.Tapi aku akan berusaha lagi.”
“Georgie,” Tim memeluk Georgie. Ini adalah hal yang pertama kali ia lakukan pada orang lain selain orang tuanya.Thanks.”
***

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Pacarku Superstar (Chapter 2)

“Apa? Hari ini kamu nemenin mamamu pergi ke pesta pertunangan?” Rita, teman sekelas Tim, tertawa terbahak-bahak. Ia tahu bahwa Tim akan terlihat aneh dengan gaun yang akan dipakainya. Ia pasti terlihat seperti anak laki-laki yang diberi gaun.
“Heh, kamu mesti lagi mikirin kalo aku pake gaun kan?” tebak Tim ketus. “Kamu salah besar! Mamaku udah beliin baju pesta yang nggak feminim. Wek!”
“Masa?”
“Hih, Rita! Jangan buat aku jengkel,” celetuk Tim.
Din! Din! Sebuah mobil Mercedes hitam muncul di depan gerbang sekolah Tim, sekolah favorit di kota Semarang.
“Mama?” Tim terperanjat saat melihat mamanya muncul.
“Timmy-ku sayang,” mama mendekati Tim.
Mendengarnya, Rita berusaha menahan tawanya yang hampir meledak itu.
“Mama, kan aku udah pernah bilang, kalo manggil aku di rumah pake nama Timmy sih fine-fine aja. Tapi kalo di sekolah panggil aku Tim dong, Ma,” bisik Tim. “Lagipula nggak biasanya Mama njemput.”
“Iya, kan Mama mau kamu tampil cantik di pesta nanti,” kata Mama.
“Iya, tapi kan nggak harus sekarang, kan?” gerutu Tim.”Lha terus sepeda  motorku gimana?”
“Aha! Mama udah mikirin itu,” sahut Mama. “Mama udah ajak Pak Diro supaya bawa motormu.”
Cape deh!” Tim menempelak dahinya sendiri. “Emang tukang kebun kita bisa bawa motor?”
“Bisa, bisa,” kata Mama. “Ya udah, Rita. Kami pulang duluan, ya.”
“Iya, tante,” kata Rita yang masih berusaha menahan tawanya.

Tim dan mamanya pun pergi ke sebuah salon yang ada di pusat kota. Mulai dari pukul tiga sampai pukul lima sore mereka berada dalam salon ternama itu. Spa, penataan rambut, periasan wajah, manicure dan pedicure dilakukan.
“Fuih! Udah selesai deh,” kata Tim. “Bener-bener ngrepotin ya jadi cewek. Dandan aja kok lama.”
“Jangan gitu dong, sayang, kamu kan anak perempuan,” kata Mama sambil melihat wajahnya di sebuah kaca kecil. “Ayo kita berangkat sekarang.”
Dengan pak Tanto sebagai supir, Tim dan mamanya melesat ke sebuah rumah yang sangat besar di Perumahan Gombel Indah, dimana teman dari mama Tim tinggal.
“Rame banget ya, Ma,” Tim melihat sekelilingnya. Rumah megah dikelilingi taman bunga yang sungguh indah terhampar di hadapannya.
“Iya dong. Namanya aja pesta pertunangan anak satu-satunya,” sahut Mama. “Ayo masuk.”
Pesta pun dimulai. Tim dan mama duduk di tengah. Namun di tengah pesta, Tim sudah sanang kegerahan dengan baju yang dipakainya. Ia pun memutuskan untuk keluar dari rumah itu dan menghirup udara segar di taman.
Di sebuah bangku besi ia duduk. Rupanya, dengan mengabaikan penampilannya yang terlihat aneh itu, wajahnya yang manis tetap memberi pesona pada pemuda yang ada di sana dan mengundang mereka untuk datang mendekat.
Satu pemuda dating dan mengajaknya berkenalan. Tak lama, dua orang pemuda dating lagi. Dan sekarang sudah ada tujuh orang pemuda yang megelilinginya. Walaupun begitu, sikapnya yang acuh tak acuh membuatnya tak tertarik pada mereka seperti biasanya. Baginya belum ada seorang pun yang mempesonanya. No one special at this moment.
Tanpa sepatah kata pun, Tim meninggalkan ketujuh pemuda tampan dan kaya raya itu. Lalu ia berjalan mengelilingi seluruh rumah itu. Tak ada yang menarik yang dapat ia temukan malam itu, walau sebenarnya udara yang sangat sejuk dan angin sepoi-sepoi meniup rambutnya yang tergerai itu.
Tim pun melayangkan pandangannya ke seberang rumah itu. Ada sebuah restoran besar yang memasang sebuah layar LCD besar yang menayangkan video-video klip musik.
That’s what friends are for,” Tim membaca judul video klip tersebut. “Bagus deh judulnya.”
Seketika itu juga, pandangannya tak bisa lepas dari penyanyi lagu itu. Ia terus memperhatikan seorang pemuda yang tampan berambut blondy yang menyanyikan lagu itu, mulai dari wajah, baju hingga caranya bergerak, sampai lagu itu berakhir.
Tim pun tersadar akan apa yang baru saja ia lakukan. “Kenapa aku ni? Aku nggak pernah merhatiin cowok kayak gini deh,” kata Tim pada dirinya sendiri. “Aneh.”
Belum lama, Mama Tim datang. “Timmy,” panggil Mama.
Tim berbalik. “Mama? Ngagetin aja,” kata Tim. “Kenapa, Ma?”
“Pulang yuk, Mama capek nih,” kata Mama.
“Ayo,”
                                                                               ***

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Pacarku Superstar (Chapter 1)

“PACARKU SUPERSTAR!”
“Whooaaa! Capek banget hari ini,” kata Tim. “Baseball, baseball, baseball. Oh my goodness, aku harus berjuang!”
Tim, Timberly Marshal. Anak perempuan yang super tomboy itu baru saja pulang dari latihan baseball di sekolahnya. Ia yang menjadi kepala tim, benar-benar ingin berjuang dengan keras demi kemajuan tim-nya, yang akhir-akhir ini agak menurun.
Tim membaringkan tubuhnya di ranjang. Seperti biasa, setiap pulang dari latihan baseball-nya ia langsung tertidur hingga malam tanpa mandi terlebih dahulu. Atau akan bergerak untuk mandi setelah mendapat omelan dari mamanya.
“Weeee..! Udah malem to?” Tim mengusap-usap matanya yang masih mengantuk. “Yah nggak mandi lagi deh.”
“Tim! Timmy-ku sayang,” Mama Tim memanggil dari luar kamarnya.
“Masuk, Ma,” sahut Tim.
Mama pun membuka pintu kamar Tim dan masuk. Ketika melihat Tim dengan wajahnya yang kucel itu, Mama langsung menyilangkan kedua tangannya di dada sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Nggak mandi lagi karna ketiduran?” tebak Mama.
Tim meringis. “Hehe, iya nih, Ma,” sahut Tim seolah tak bersalah. “Habisnya, Ma, kalopun aku mandi padahal udah malem, lama-lama kan aku jadi reumatik, jadi…”
“Aku nggak mandi, Ma,” sahut Mama yang sudah terbiasa dengan alasan yang selalu Tim keluarkan saat ia ketiduran. “Pokoknya Mama nggak mau tahu ya. Mulau besok, habis pulang latihan baseball, capek nggak capek, kamu harus langsung mandi! Mengerti?”
Tim mengangguk. “Oh, iya. Kenapa Mama ke kamarku? Mama pasti mau ngomong sesuatu, kan?” tanya Tim untuk mengalihkan pembicaraan.
“Gini, besok mama ada undangan pesta pertunangan anak temen mama,” kata Mama.
“Terus?”
“Terus, ya, Mama minta tolong kamu temenin Mama kesana,” jawab Mama. “Soalnya selama nggak ada Papa kan cuma kamu yang bisa Mama andalin.”
“Oke deh, no problemo,” kata Tim. “Asal aku nggak didandanin yang aneh-aneh, ya.”
“Tenang aja, sayang, Mama udah cari baju pesta yang bakal kamu suka,” kata Mama sambil merangkul anak perempuan satu-satunya itu. “Mama udah beliin baju pesta yang pake celana.”
Tim tersenyum sambil mengacungkan jempolnya.
“Ya udah, sekarang cuci muka terus tidur ,ya,” kata Mama lagi. “Oke?”
Tim mengangguk. “Oh, ya, Ma. Satu lagi,” cegah Tim yang teringat pada kejuaraan baseball yang akan dilaksanakannya tiga minggu lagi di Amerika Serikat. “Papa pulangnya kapan sih, Ma? Kok keliatannya betah banget di Australia,” kata Tim.
Three days more, sweetheart,” sahut Mama. “Kenapa? Kamu kangen?”
“Ya. Selain itu aku pengen seluruh keluarga menontonku di kejuaraan baseball nanti,” kata Tim.
Mama tersenyum. “Oke deh. Selamat tidur, sayang,”kata Mama yang kemudian berjalan keluar dan menutup pintu kamar Tim.
***

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

The BEST (Chapter 5)


Hari ke hari kulalui. Semakin lama aku semakin kebal akan apa yang teman-temanku lakukan. Bahkan beberapa kali aku dapat menghindari ‘permainan’ mereka. Namun aku belum juga mengetahui siapa otak dari ‘permainan’ ini.
Hari ini aku terperangkap dalam ‘permainan’ mereka lagi. Telur-telur mentah menyelubungi tubuhku. Tapi untungnya, mereka ‘bermain’ setelah pulang sekolah. Aku pun membersihkannya di toilet, sementara Green, Mandy dan Brenda kuminta untuk menungguku di kantin.
Tiba-tiba suatu suara tepukan tangan terdengar. “Rupanya si pujaan hati para lelaki masih bertahan,” kata seseorang sambil mendengus kesal.
Namun aku sama sekali tak melihat batang hidungnya.
“Siapa kau? Apa kau yang selama ini mengerjaiku? Apa maumu?”
“Sudahlah, jangan berpura-pura lagi, Keanny,”
“Apa maksudmu berpura-pura? Aku sama sekali tak berpura-pura,” aku membela diri. “Siapa kau? Keluarlah kalau kau berani! Berbicaralah denganku muka dengan muka.”
Aku sangat terkejut saat melihat sosok yang berdiri di depanku.
“Green?” aku terpaku.
“Terkejut melihatku?” Green berjalan mendekatiku. “Kau tidak menyangka hal ini akan terjadi bukan? Memang seharusnya hal ini tidak terjadi, kalau kau tidak menyulut api di sumbunya.”
“Tapi kenapa, Green?”
“Sudah kukatakan jangan berpura-pura lagi!” bentaknya. “Kau sudah merebut semua yang seharusnya menjadi milikku! Akulah yang seharusnya masuk dalam kejuaraan musik, akulah yang seharusnya paling dibanggakan oleh para guru, akulah yang seharusnya menjadi pujaan para lelaki, dan akulah yang seharusnya menjadi yang utama dalam THE BEST!”
“Green, dalam THE BEST semua adalah yang terutama. Lagipula, apa kau tidak merasa bangga akan apa yang kau miliki? Kau memiliki apa yang tidak kumiliki. Kau memiliki otak yang luar biasa pintar dalam semua ilmu pengetahuan, kau dapat tersenyum dalam segala situasi, dan kaulah orang yang paling kusayang dalam THE BEST!” jelasku. “Aku sudah menganggapmu sebagai saudaraku sendiri, Green. Kau ini adik kecilku yang lucu dan manis. Tapi, kenapa kau lakukan semua ini padaku, Green?”
“Hentikan!” bentak Green. “Pertama, kau sudah merebut semua yang seharusnya menjadi milikku, termasuk Kyle, orang yang kupuja.”
“Kyle? Jangan berpikir buruk dulu, Green,” pintaku. “Antara aku dan dia tak ada…”
“Diam!” bentak Green sekali lagi. “Kedua, aku bukanlah adik kecilmu yang lucu dan manis, dan namaku bukan Green tapi Pauline Bradley! Ketiga, kau adalah gadis Asia yang seharusnya tidak tergabung dalam THE BEST, karena kau adalah gadis terburuk yang pernah ada!”
“Hanya bagimu,”
“Kyle?” aku terperanjat ketika melihat Kyle.
“Kau tahu? Keanne adalah gadis terbaik yang pernah ada,” lanjut Kyle. “Kalau bukan karena dia, aku akan terus menganggap bahwa THE BEST adalah sekumpulan gadis biasa yang menjadi maskot sekolah melalui jalan belakang yang licik! Namun karena dia, aku sadar bahwa THE BEST bukanlah seperti yang sudah kubayangkan. Karena dia, aku tahu THE BEST memanglah yang terbaik. Namun hari ini aku menyadari ternyata aku salah. Tidak semua yang tergabung dalam THE BEST layak disebut The Best. Dan itu kau, Pauline Bradley! Kaulah gadis terburuk yang pernah ada!”
“Kyle!” seruku. “Jangan katakan apa-apa lagi.”
“Kenapa? Kau mau membelanya setelah selama ini dia terus mempermalukanmu dan memperlakukanmu begitu buruk?” tanya Kyle. “Dia pantas disebut seperti itu.”
“Seburuk-buruknya Green, dia adalah temanku, Kyle!” kataku. “Dan kau Green, aku tak akan pernah mau merebut apapun darimu! Termasuk Kyle! Karena bagiku sahabat-sahabatku lebih penting dari apapun juga, bahkan dari diriku sendiri!”
Sejenak kami bertiga terdiam dan saling memandang. Kyle masih terlihat kesal karena ulah Green, sementara Green menundukkan kepalanya.
“Kau tahu, Green? Dulu demi persahabatan kita, aku hampir kehilangan nyawaku,” lanjutku. “Saat itu kau terbaring di rumah sakit. Dan saat itu kau meneleponku dan memintaku untuk menemanimu karena kedua orang tuamu pergi ke luar negeri saat itu. Saat kau meneleponku, aku sedang berada di kampus kakakku, karena dia berjanji padaku untuk mengajakku berjalan-jalan dan membelikan barang kesukaanku. Tapi karena aku lebih mementingkan sahabatku, aku bergegas menuju rumah sakit dan meninggalkan momen yang sudah lama kutunggu. Dan di dalam perjalananku menuju rumah sakit, sebuah truk kontainer besar meluncur ke arahku dengan cepat. Tapi aku bersyukur, aku diselamatkan. Seseorang mendorongku dan membuatku jatuh ke tepi jalan. Aku hanya lecet sedikit ketika aku terpelanting. Demi persahabatan kita, Green, aku melakukannya hanya untuk persahabatan kita.”
Aku mendekati Green. Dia mulai meneteskan air matanya.
“Aku akan selalu menyayangimu sebagai sahabat terbaikku, Green. Walau kau telah melakukan hal yang terburuk sekalipun padaku,” kataku.
“Aku juga,” kata Mandy dan Brenda yang ternyata mendengar percakapan kami di luar toilet.
Kami berempat saling berpelukan.
“Hey, apa kalian akan mengacuhkan aku seperti itu terus?” sela Kyle.
Aku mendekati Kyle. “Maaf,” kataku. “Dan terima kasih untuk tidak membenciku seperti teman-teman yang lainnya saat pertama kali kita bertemu.”
“Kurasa, itu bukan pertama kalinya bertemu,” kata Kyle.
“Maksudmu?” tanyaku. “Bukannya pertama kali kita bertemu adalah saat hari pertama di kelas sebelas ini?”
“Bukan,” jawabnya. “Seperti yang kau ceritakan tadi. Kecelakaanmu itu. Orang yang mendorongmu adalah aku. Itulah saat pertama kita bertemu.”
“Wow, tidak kusangka,” aku tertawa kecil.
“Aku baru menyadarinya juga barusan,” kata Kyle.
“Berarti kalian jodoh,” sindir Mandy.
“Mandy, jangan begitu. Nanti ada yang cemburu,” aku balas menyindir.
“Kurasa aku tidak akan menyukai Kyle lagi,” kata Green yang tahu bahwa dia yang aku maksud. “Karena kau kan disukai banyak anak laki-laki, jadi kau harus punya pacar. Dan barusan, aku pura-pura menyukai Kyle untuk mendekatkan kau dengannya!”
“Apa??? Green!!!”
***
Bulan yang ditunggu pun datang. Kejuaraan musik datang lagi. Seperti biasa, aku mengikuti kejuaraan itu. Dan aku bersyukur, sekali ini pun aku memenangkan kejuaraan tersebut, berkat dukungan dari teman-temanku juga tentunya.
Bukan hanya aku saja. “Science Olympiad” tahun ini dimenangkan lagi oleh Green. Mandy, dia menciptakan fashion baru dengan gaun pestanya yang simple namun menawan, yang akhirnya memenangkan fashion festival tahun ini. Dan Brenda saat ini ada di Amerika untuk mengikuti final Basketball League Championship. Dan tentu saja, aku, Mandy dan Green menyertainya untuk mendukungnya. Aku yakin bahwa sekali inipun Brenda dan tim-nya akan mendapat kemenangan.
THE BEST Will Be The Best Forever!

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

The BEST (Chapter 4)

“Oh, Tuhan, aku mengampuni mereka yang melakukan hal ini padaku,” kataku kesal sambil memegangi rok belakangku.
“Kenapa bisa sampai tidak mengetahuinya?” tanya Green.
“Kan aku tidak pernah membayangkan hal ini akan terjadi padaku,” kataku. “Lagipula saat aku melihat kuriku tak ada yang aneh. Dan lem yang mereka gunakan benar-benar tak terlihat oleh mataku.”
“Keanne, biarkan aku menghajar orang-orang yang melakukan hal ini padamu,” kata Brenda.
“Jangan, Brenda,” pintaku. “Biarkan saja. Kalau mereka sudah sangat keterlaluan, dan aku merasa tidak tahan lagi, kau baru boleh menghajar mereka.”
“Masa tidak ada yang memberitahumu? Apa jangan-jangan mereka semua bersekongkol untuk mengerjaimu?” duga Mandy.
“Entahlah,” aku mengangkat bahuku. “Aku tidak mau memikirkannya lagi.”
“Kalau begitu, cepat masuk ke mobil,” kata Brenda yang sudah menyalakan mesin mobilnya.
***
Besoknya, aku membawa seragam cadangan. Kurasa, mereka akan mengerjaiku lagi hari ini.
“Kenapa pintu ini ditutup ya?” aku terkejut saat melihat pintu kelasku tertutup. “Kata Pak Owen pelajaran tambahan pagi kan dimulai minggu depan? Lagipula pelajaran tambahan kan hanya pada hari Senin dan Jumat, sedangkan ini hari Selasa. Apa ada perubahan?”
Aku mengintip melalui kaca kecil yang ada di pintu. Tak ada guru dan baru ada beberapa anak di dalam sana. Akupun memutuskan untuk langsung masuk.
Byuur!
Seember air dingin jatuh di kepalaku saat aku membuka pintu. Sekujur tubuhku pun menjadi basah kuyup seketika.
“Oh Tuhan,” aku menutup mataku sekejap dan membukanya kembali sambil menyeka wajahku.
Ketika aku memperhatikan para siswa laki-laki yang ada di dalam kelas satu per satu, mereka semua mengangkat kedua tangannya seolah ingin membuktikan bahwa mereka tidak melakukan hal itu. Dan kurasa, memang bukan mereka pelakunya.
Aku pun masuk ke kelas dengan rambutku yang masih basah. Saat aku masuk, kelas sudah dipenuhi dengan para siswa dan siswi. Mereka tak berkomentar dan tak tertawa sedikit pun.
“Kau baik-baik saja kan?” tanya Kyle.
Aku mengangguk. “Tak usah hiraukan aku. Aku baik-baik saja,” kataku kesal.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

The BEST (Chapter 3)

Jam istirahat tiba. Aku berawas-awas kalau-kalau apa yang Kyle katakan benar. Mungkin saja dia benar kalau para siswi akan mengeroyokku.
Tapi, tak ada tanda-tanda dari mereka. Semua berjalan normal-normal saja. Karena itu, aku mengabaikan kata-kata Kyle. Kurasa, dia memang berlebihan. Dia hanya ingin mengerjaiku.
Saat aku keluar dari kelas, rupanya Green, Mandy dan Brenda sudah menunggu.
“Bagaimana keadaan kelasmu?” tanya Green.
“Menegangkan,” jawabku.
“Apa maksudmu?” tanya Mandy.
“Aku duduk sebangku dengan seorang anak laki-laki. Dia berkata padaku agar aku selalu berawas-awas terhadap para siswi di kelasku karena kebanyakan dari mereka yang merasa iri padaku. Katanya, mereka iri padaku karena banyak siswa yang menyukaiku karena prestasiku. Dan anehnya, apa yang dia katakan itu benar. Kejadiannya saat Pak Owen, wali kelasku melakukan absensi, tepatnya saat giliranku dipanggil, semua mata dalam kelasku tertuju padaku,” jelasku.
“Masa sampai begitu, sih?” tanya Mandy seolah tak percaya.
“Ya, kurasa, Mandy juga cantik, tapi tidak berlebihan seperti yang kau ceritakan,” sela Brenda.
“Apa kalian tidak percaya akan perkataanku? Aku tidak bohong,” aku meyakinkan. “Oh, ya. Kyle juga berkata bahwa corak Asia-ku berpengaruh.”
“Apa? Mentang-mentang kau adalah anak yang satu-satunya berketurunan Asia, mereka pikir dapat mengerjaimu?” Brenda mulai geram. “Siapa yang berani mengganggu temanku akan kuhajar habis!”
Semua mata di sekeliling kami, menatap tajam saat mendengar seruan Brenda.
“Brenda, hentikan itu!” pintaku sambil berbisik.
“Tenang saja, Keanne. Aku melakukannya agar mereka tak berani mengganggumu,” kata Brenda. “Panggil saja aku kalau ada yang berani mengganggumu.”
“Brenda, aku tahu kau sayang padaku sebagai temanmu. Tapi kumohon jangan lakukan hal seperti itu lagi karena kau membuatku terlihat lemah di hadapan mereka,” kataku.
“Baiklah. Maafkan aku, Keanne,” Brenda berusaha menahan geramnya.
“Tak apa. Terima kasih untuk pembelaanmu, teman,” kataku.
“Tahu tidak teman-teman? Kita sudah menghabiskan jam istirahat disini. Dan kita tidak jadi ke kantin,” kata Green dengan senyumnya yang manis itu. “Padahal aku kan lapar.”
“Iya, aku juga haus,” sambung Mandy.
“Maafkan aku teman-teman,” kataku. “Gara-gara aku kalian kelaparan.”
“Sudahlah. Demi kau, kami bersedia melakukan apa saja. Kau kan teman kami, iya tidak, teman-teman?” kata Mandy. “And ‘cause we are…”
“THE BEST FOREVER!” kami menyatukan tangan kami dan menghentakkannya ke bawah, seperti yang biasa kami lakukan.
“Okay, kami kembali ke kelas kami ya,” kata Green. “See you.”
“See you,” aku membalas lambaian tangan mereka bertiga.
“Wah, kompak sekali kalian,” kata Kyle saat aku akan berjalan masuk ke kelas.
“Tentu saja!” sahutku riang. “Dan aku mendahuluimu ke tempat duduk!”
Aku berlari mendahuluinya dan duduk di kursiku.
“Na na na na,” aku bersenandung.
Kudengar, beberapa suara berbisik-bisik. Dan kudengar lagi ada tawa-tawa kecil di sekelilingku. Untuk beberapa saat aku berhenti bersenandung. Aku mengamati mereka satu per satu. Tak ada yang mencurigakan. Aku pun kembali bersenandung.
Lama kelamaan, aku merasa tidak enak. Ada sesuatu yang aneh.
“Hey, ada apa? Kenapa kau tampak gelisah?” tanya Kyle.
“Kurasa ada sesuatu yang aneh di kursiku,” aku menduga-duga.
Aku pun mencoba berdiri. Tapi…
“Mmhh! Sulit,” aku mencoba meraih bagian bawah rokku. Jantungku terasa berhenti seketika. “Tidak mungkin.”
“Ada apa?” tanya Kyle.
“Kurasa rokku menempel di kursi,” jawabku.
Kyle tertawa.
“Kenapa tertawa?” tanyaku. “Apa memang benar rokku menempel?”
“Ya,” jawabnya. “Dan kurasa pertempuran sudah dimulai.”
“Apa maksudmu?”
Kyle terus tertawa.
“Jangan tertawa terus. Sekarang bantu aku melepaskan rokku dari kursi,” pintaku pada Kyle. “Huh, rasanya seperti di dalam film-film saja! Mereka tidak kreatif! Bisanya hanya seperti ini! Dasar anak-anak kurang kerjaan!”
Kyle pun membantuku melepaskan rokku dari kursi. Sementara itu, mulutku rasanya belum bisa berhenti untuk mengeluh. Tapi akhirnya, dengan bersusah payah, rokku pun terlepas dari kursi.
Aku mencoba melihat seluruh rokku bagian belakang. “Yah, rokku kotor sekali,” keluhku.
“Untung saja belum ada guru yang masuk. Sekarang lebih baik kau membersihkan rokmu,” kata Kyle.
“Kau benar,” aku pun berjalan keluar kelas, sementara seluruh anak dalam kelas menertawaiku.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Banner Exchange

Neng Hepi Blog, Banner