Imbalance to Perfectly Balance (part 12)
Hari-hari berlalu. Semuanya berjalan seperti biasanya. Aku kembali menjadi Tiffany yang dulu. Aku tidak memikirkan hal-hal yang membebani pikiranku. Dan aku senang sekali.
Liburan sebulan ini aku nikmati bersama orang tuaku di rumah saudara Mama di Sulawesi Utara. Aku menghabiskan waktu di banyak tempat disana, termasuk Taman Laut Bunaken. Tempat yang selalu saja kukunjungi setiap kali kami pergi kesana. Dan kali ini aku puas dengan satu minggu disana.
Lalu aku berlibur bersama Jimmy, sahabat baikku di SMP dulu. Kami bersenang-senang beberapa hari di Bandung dan menginap di penginapan yang murah. Bahkan disana aku berusaha menjodohkannya dengan seorang teman kenalanku yang sepertinya juga menyukai Jimmy. Ah, aku senang sekali kalau aku berhasil.
Seminggu setelahnya, Jimmy meninggalkanku di Jakarta dan pulang ke Semarang. Sementara itu aku masih menginap seminggu lagi di Jakarta Selatan di rumah kakek dan nenek dari papaku. Senang sekali rasanya disana. Seminggu itu aku menjadi incaran beberapa media cetak. Aku diwawancarai dan wajahku terpampang di majalah dan buletin yang cukup terkemuka. Mungkin ini adalah batu loncatan bagiku untuk menjadi lebih dari sekarang. Dan setiap malam, aku membantu saudara sepupuku untuk bernyanyi di kafenya. Ini adalah pengalaman yang sangat menyenangkan bagiku. Hatiku, pikiranku, badanku terasa sangat bebas.
“Udah seminggu,” aku menatap ke kalender yang ada di meja belajar, Reni, sepupuku.
“Iya, kamu mau balik ke Semarang ya?” Reni mendekatiku, dan duduk di sampingku, di atas ranjangnya.
Aku menarik nafas dalam. “Aku pengen lebih lama disini lho padahal,” kataku lagi. “Liburanku juga masih dua minggu lagi. Tapi Papa Mama udah nyuruh pulang. Udah dua minggu aku nggak di rumah sama mereka.”
“Yah,” ia terdengar kecewa. “Tapi kan emang kalo udah orang tua ya harus dituruti, Tiffy.”
Aku mengangguk. “Makasi seminggu ini ya, Ren,” kataku. “Aku bakalan kangen sama kamu.” Aku memberinya sebuah pelukan.
“Kalo liburan lagi, nggak usah segan-segan dateng ke sini lho,” katanya.
“Iya,” aku beranjak dari ranjang dan mengangkat koperku yang sudah kuisi dengan barang-barangku. “Aku sekarang harus berangkat ke bandara. Biar nggak telat. Semoga aja nggak delay hari ini.”
“Maaf juga ya, aku nggak bisa anter kamu gara-gara temenku pinjem mobil terus malah jadinya masuk bengkel,” ia meminta maaf. Aku merasakan ketulusan dari dalam hatinya. Aku mengenalnya sejak kecil, dan ketulusannya yang paling aku sukai dari dirinya.
Lalu ia mengantarkanku keluar rumah. Dan sebuah taksi yang kupesan sudah menunggu disana. Aku berpamitan kepada Kakek dan Nenekku dan juga Reni, lalu masuk ke dalam taksi.
Di sepanjang perjalanan menuju bandara, aku kembali teringat kepada orang yang sudah berjasa dalam hidupku. Ya, Phillip. Dia baik sekali padaku. Tidak pernah sebelumnya aku menemui orang sebaik dia.
Aku tersadar. Lagi-lagi aku memikirkan Phillip secara tidak sadar. Otakku kali ini benar-benar susah sekali dihilangkan dari segala pikiran tentang Phillip.
“Arrgghh,” aku mengerang.
“Kenapa atuh mbak?” tanya supir taksi itu yang mungkin mengira aku sedang merasa kesakitan. “Mbak baik-baik aja kan?”
“Ah, nggak kok, Pak,” aku menutup-nutupi. Aku tidak meyadari bahwa suara eranganku terlalu keras. “Cuman, kakiku rada pegel. Nyantai aja, Pak. Aku baik kok.”
Dan supir taksi itu percaya. Dia kembali berfokus untuk menyetir dan tidak menanyaiku apapun lagi.
Tapi kalau dipikir lagi, baiklah kali ini aku akan membiarkan otakku berpikir tentang Phillip, apa yang ada di pikirannya untuk mengajakku ke pesta pernikahan Damien dan menghadiahkan gaun dan sepatu itu? Apa alasannya ya? Bukannya dia punya banyak teman wanita yang seharusnya bisa diajak selain aku? Tapi kenapa dia memilihku untuk diajak ke pesta itu dan akhirnya menjadi pasangan dansanya?
Pertanyaanku banyak ya? Iya, karena itu memang perlu ditanyakan. Aku tidak mau sampai salah paham tentang kebaikannya padaku. Lagipula dia tidak pernah menceritakan padaku apakah dia sudah punya kekasih atau belum. Kalau ternyata aku salah menangkap sikapnya padaku, dan aku bertepuk sebelah tangan, itu akan jadi sangat buruk. Aku tidak mau mengalami hal itu.
Atau mungkin setelah dia pulang dari Amerika, dia menemukan seorang gadis dan menjadikannya kekasihnya, aku akan merasa kecewa. Aku tidak mau itu terjadi. Lebih baik kuhentikan rasa ini. Rasa dari dalam hatiku yang juga belum tentu bisa diuji kebenarannya. Apakah ini hanya sekadar rasa yang lewat atau memang rasa yang dalam. Dan aku masih tetap tidak berani untuk mengatakannya atau menuliskannya di dalam buku harianku sendiri.
“Makasi ya Pak,” aku memberikan sejumlah uang sesuai dengan tarif yang tertera. Lalu aku melangkah keluar dari dalam taksi.
Aku disambut oleh angin yang cukup kencang dan berhasil membuat rambutku terbang ke samping, dan akhirnya berantakan. Aku tidak peduli. Aku menarik koperku ke dalam bandara.
Setelah beberapa proses administrasi kulakukan dan memasukkan koperku ke bagian bagasi, aku duduk di sudut ruang tunggu dan memasang headphone-ku. Masih satu jam lagi pesawat akan berangkat. Tapi lantunan lagu-lagu kesukaanku membawaku hanyut dalam alunan nadanya sehingga waktu tidak terasa terlalu lama bagiku.
“Pesawat dengan nomor 301 dengan tujuan Semarang akan segera berangkat. Dimohon para penumpang segera menuju ke pesawat,” suara informasi terdengar.
Aku memasukkan headphone-ku ke dalam tas kecilku dan mematikan hapeku. Lalu aku mengangkat tasku yang lebih besar dan berjalan menuju pesawat. Aku mencari dimana seat 17A diantara himpitan penumpang yang lain.
Sampai di bagian tengah aku melihat seat-ku ada di ujung paling kanan. Aku menuju kesitu dan meletakkan tas besarku ke tempat penyimpanan di atas tempat dudukku.
Karena beratnya tasku itu, hampir saja tasku menjatuhi kepalaku. Tapi seseorang tiba-tiba menahannya dan memasukkannya lebih dalam lagi tempat penyimpanan itu.
“Makasi banyak ya,” aku menoleh. Aku membuka mataku lebih lebar dan melihat orang yang ada di sebelahku sekarang yang ternyata adalah, “Phillip?”
“Sama-sama,” balasnya. “Ada yang perlu dibantu lagi?”
Aku menggeleng. “Kamu di seat berapa?” tanyaku.
“19 C,” jawabnya.
Yah, kupikir cerita di film-film akan terjadi padaku. Aku kecewa. Ya, aku mengaku aku kecewa. Aku akan sangat senang kalau Phillip bisa duduk di sampingku. Dia datang tiba-tiba dan secara tidak sengaja mendapatkan tempat duduk di sebelahku. Sepertinya itu romantis.
Aku tersadar lagi. Aku memikirkannya dengan─ kali ini dengan sengaja. Aku, sepertinya aku jatuh cinta padanya.
“Ya udah, kamu cepet duduk,” aku menyuruhnya. “Sebentar lagi mau take off.”
“Kamu duduk dulu dong, baru aku bisa duduk,” katanya.
Aku mengerutkan alisku. Dia tuh aneh ya? Orang dia tinggal ke tempatnya terus duduk kok nunggu aku duduk segala? Tapi aku menuruti perkataannya.
Lalu dia duduk di sebelahku.
“Eh, eh, kamu kok duduk disini sih?” tanyaku. Tapi ia tidak menghiraukan perkataanku tapi malah memasang seat belt-nya. “Nanti kalo orang yang duduk disini gimana, Phill?”
“Nggak bakalan,”
“Kok kamu bisa bilang gitu?”
“Tuh orangnya udah duduk di tempatku,” tunjuknya. “Sebenernya aku kesel diminta tukeran seat sama orang,”
Jadi dia nggak suka duduk di sebelahku ya? pikirku. Mungkin ini tandanya aku sudah salah memiliki rasa ini.
“tapi ya mau gimana lagi?” lanjutnya. “Tapi aku malah seneng soalnya ternyata aku kangen banget sama orang yang duduk di sebelahku sekarang.”
Aku terkejut atas perkatannya. Aku menelan ludahku. Dan kurasa mataku hampir saja melotot sekarang. Apa yang dia katakan barusan? Apa aku tidak salah dengar?
“Aku jadi ngerasa kalo semuanya nggak kebetulan,” lanjutnya lagi. “Tuhan udah rencanain semua ini pasti. Untung tadi aku nggak nolak. Kalo nggak aku bakalan nyesel.”
Nyesel? Kenapa dia nyesel kalo nggak duduk sama aku?
“Eh, diajakan ngobrol diem aja,” sergahnya.
“Oh, maaf,” aku menyeringai dengan ragu. “Emang kenapa kamu bakalan nyesel?”
Dia tersenyum. “Soalnya,” ia menahan perkataannya.
“Soalnya kenapa?” jantungku rasanya berdebar kencang. Aku bertanya-tanya apa yang akan dikatakannya. Aku tidak sabar untuk mendengar perkataannya.
Tiba-tiba tangan kanannya menggenggam tangan kiriku. “Selama sebulan di Amerika aku hampir nggak bisa tidur tiap malem, karena aku cuman mau ngomong sama kamu kalo aku,” dia memandangku lekat-lekat,” kangen banget sama cewekku.”
“Cewekmu? Siapa maksudmu?” tanyaku. Jantungku berdebar makin cepat. Apa yang sebenarnya akan dikatakannya?
“Waktu itu, di pesta pernikahan Damien, aku kan udah bilang kalo mulai hari itu kamu itu jadi pacarku,” ia mengingatkan. Ya, aku ingat waktu dia membelaku dari sikap Ricky yang berusaha menggodaku. Dan dia menyatakan bahwa aku pacarnya. “Toh kamu juga waktu itu nggak nolak. Berarti kamu setuju dong.”
Rasanya ada banyak sekali kembang api yang besar sedang meledak di hatiku. Mungkin sekarang gara-gara kembang api itu, pipiku menjadi merah berseri. Aku, aku tidak bisa menahan untuk tersenyum lebar.
“Aku sayang kamu,” katanya.
“Aku juga sayang kamu,” balasku.
Dan pesawat pun lepas landas. Mulai saat itu hubungan kami sudah berbeda. Kami bukan lagi sebatas seorang pemuda yang mengajari seorang gadis yang tidak seimbang prestasi musik dan akademiknya, tapi sekarang kami adalah pasangan kekasih. I am not imbalance anymore but perfectly balance!
Read Users' Comments (2)