Halaman

Imbalance to Perfectly Balance (part 12)

Hari-hari berlalu. Semuanya berjalan seperti biasanya. Aku kembali menjadi Tiffany yang dulu. Aku tidak memikirkan hal-hal yang membebani pikiranku. Dan aku senang sekali.
Liburan sebulan ini aku nikmati bersama orang tuaku di rumah saudara Mama di Sulawesi Utara. Aku menghabiskan waktu di banyak tempat disana, termasuk Taman Laut Bunaken. Tempat yang selalu saja kukunjungi setiap kali kami pergi kesana. Dan kali ini aku puas dengan satu minggu disana.
Lalu aku berlibur bersama Jimmy, sahabat baikku di SMP dulu. Kami bersenang-senang beberapa hari di Bandung dan menginap di penginapan yang murah. Bahkan disana aku berusaha menjodohkannya dengan seorang teman kenalanku yang sepertinya juga menyukai Jimmy. Ah, aku senang sekali kalau aku berhasil.
Seminggu setelahnya, Jimmy meninggalkanku di Jakarta dan pulang ke Semarang. Sementara itu aku masih menginap seminggu lagi di Jakarta Selatan di rumah kakek dan nenek dari papaku. Senang sekali rasanya disana. Seminggu itu aku menjadi incaran beberapa media cetak. Aku diwawancarai dan wajahku terpampang di majalah dan buletin yang cukup terkemuka. Mungkin ini adalah batu loncatan bagiku untuk menjadi lebih dari sekarang. Dan setiap malam, aku membantu saudara sepupuku untuk bernyanyi di kafenya. Ini adalah pengalaman yang sangat menyenangkan bagiku. Hatiku, pikiranku, badanku terasa sangat bebas.
“Udah seminggu,” aku menatap ke kalender yang ada di meja belajar, Reni, sepupuku.
“Iya, kamu mau balik ke Semarang ya?” Reni mendekatiku, dan duduk di sampingku, di atas ranjangnya.
Aku menarik nafas dalam. “Aku pengen lebih lama disini lho padahal,” kataku lagi. “Liburanku juga masih dua minggu lagi. Tapi Papa Mama udah nyuruh pulang. Udah dua minggu aku nggak di rumah sama mereka.”
“Yah,” ia terdengar kecewa. “Tapi kan emang kalo udah orang tua ya harus dituruti, Tiffy.”
Aku mengangguk. “Makasi seminggu ini ya, Ren,” kataku. “Aku bakalan kangen sama kamu.” Aku memberinya sebuah pelukan.
“Kalo liburan lagi, nggak usah segan-segan dateng ke sini lho,” katanya.
“Iya,” aku beranjak dari ranjang dan mengangkat koperku yang sudah kuisi dengan barang-barangku. “Aku sekarang harus berangkat ke bandara. Biar nggak telat. Semoga aja nggak delay hari ini.”
“Maaf juga ya, aku nggak bisa anter kamu gara-gara temenku pinjem mobil terus malah jadinya masuk bengkel,” ia meminta maaf. Aku merasakan ketulusan dari dalam hatinya. Aku mengenalnya sejak kecil, dan ketulusannya yang paling aku sukai dari dirinya.
Lalu ia mengantarkanku keluar rumah. Dan sebuah taksi yang kupesan sudah menunggu disana. Aku berpamitan kepada Kakek dan Nenekku dan juga Reni, lalu masuk ke dalam taksi.
Di sepanjang perjalanan menuju bandara, aku kembali teringat kepada orang yang sudah berjasa dalam hidupku. Ya, Phillip. Dia baik sekali padaku. Tidak pernah sebelumnya aku menemui orang sebaik dia.
Aku tersadar. Lagi-lagi aku memikirkan Phillip secara tidak sadar. Otakku kali ini benar-benar susah sekali dihilangkan dari segala pikiran tentang Phillip.
Arrgghh,” aku mengerang.
“Kenapa atuh mbak?” tanya supir taksi itu yang mungkin mengira aku sedang merasa kesakitan. “Mbak baik-baik aja kan?”
“Ah, nggak kok, Pak,” aku menutup-nutupi. Aku tidak meyadari bahwa suara eranganku terlalu keras. “Cuman, kakiku rada pegel. Nyantai aja, Pak. Aku baik kok.”
Dan supir taksi itu percaya. Dia kembali berfokus untuk menyetir dan tidak menanyaiku apapun lagi.
Tapi kalau dipikir lagi, baiklah kali ini aku akan membiarkan otakku berpikir tentang Phillip, apa yang ada di pikirannya untuk mengajakku ke pesta pernikahan Damien dan menghadiahkan gaun dan sepatu itu? Apa alasannya ya? Bukannya dia punya banyak teman wanita yang seharusnya bisa diajak selain aku? Tapi kenapa dia memilihku untuk diajak ke pesta itu dan akhirnya menjadi pasangan dansanya?
Pertanyaanku banyak ya? Iya, karena itu memang perlu ditanyakan. Aku tidak mau sampai salah paham tentang kebaikannya padaku. Lagipula dia tidak pernah menceritakan padaku apakah dia sudah punya kekasih atau belum. Kalau ternyata aku salah menangkap sikapnya padaku, dan aku bertepuk sebelah tangan, itu akan jadi sangat buruk. Aku tidak mau mengalami hal itu.
Atau mungkin setelah dia pulang dari Amerika, dia menemukan seorang gadis dan menjadikannya kekasihnya, aku akan merasa kecewa. Aku tidak mau itu terjadi. Lebih baik kuhentikan rasa ini. Rasa dari dalam hatiku yang juga belum tentu bisa diuji kebenarannya. Apakah ini hanya sekadar rasa yang lewat atau memang rasa yang dalam. Dan aku masih tetap tidak berani untuk mengatakannya atau menuliskannya di dalam buku harianku sendiri.
“Makasi ya Pak,” aku memberikan sejumlah uang sesuai dengan tarif yang tertera. Lalu aku melangkah keluar dari dalam taksi.
Aku disambut oleh angin yang cukup kencang dan berhasil membuat rambutku terbang ke samping, dan akhirnya berantakan. Aku tidak peduli. Aku menarik koperku ke dalam bandara.
Setelah beberapa proses administrasi kulakukan dan memasukkan koperku ke bagian bagasi, aku duduk di sudut ruang tunggu dan memasang headphone-ku. Masih satu jam lagi pesawat akan berangkat. Tapi lantunan lagu-lagu kesukaanku membawaku hanyut dalam alunan nadanya sehingga waktu tidak terasa terlalu lama bagiku.
Pesawat dengan nomor 301 dengan tujuan Semarang akan segera berangkat. Dimohon para penumpang segera menuju ke pesawat,” suara informasi terdengar.
Aku memasukkan headphone-ku ke dalam tas kecilku dan mematikan hapeku. Lalu aku mengangkat tasku yang lebih besar dan berjalan menuju pesawat. Aku mencari dimana seat 17A diantara himpitan penumpang yang lain.
Sampai di bagian tengah aku melihat seat-ku ada di ujung paling kanan. Aku menuju kesitu dan meletakkan tas besarku ke tempat penyimpanan di atas tempat dudukku.
Karena beratnya tasku itu, hampir saja tasku menjatuhi kepalaku. Tapi seseorang tiba-tiba menahannya dan memasukkannya lebih dalam lagi tempat penyimpanan itu.
“Makasi banyak ya,” aku menoleh. Aku membuka mataku lebih lebar dan melihat orang yang ada di sebelahku sekarang yang ternyata adalah, “Phillip?”
“Sama-sama,” balasnya. “Ada yang perlu dibantu lagi?”
Aku menggeleng. “Kamu di seat berapa?” tanyaku.
“19 C,” jawabnya.
Yah, kupikir cerita di film-film akan terjadi padaku. Aku kecewa. Ya, aku mengaku aku kecewa. Aku akan sangat senang kalau Phillip bisa duduk di sampingku. Dia datang tiba-tiba dan secara tidak sengaja mendapatkan tempat duduk di sebelahku. Sepertinya itu romantis.
Aku tersadar lagi. Aku memikirkannya dengan─ kali ini dengan sengaja. Aku, sepertinya aku jatuh cinta padanya.
“Ya udah, kamu cepet duduk,” aku menyuruhnya. “Sebentar lagi mau take off.”
“Kamu duduk dulu dong, baru aku bisa duduk,” katanya.
Aku mengerutkan alisku. Dia tuh aneh ya? Orang dia tinggal ke tempatnya terus duduk kok nunggu aku duduk segala? Tapi aku menuruti perkataannya.
Lalu dia duduk di sebelahku.
“Eh, eh, kamu kok duduk disini sih?” tanyaku. Tapi ia tidak menghiraukan perkataanku tapi malah memasang seat belt­-nya. “Nanti kalo orang yang duduk disini gimana, Phill?”
“Nggak bakalan,”
“Kok kamu bisa bilang gitu?”
“Tuh orangnya udah duduk di tempatku,” tunjuknya. “Sebenernya aku kesel diminta tukeran seat sama orang,”
Jadi dia nggak suka duduk di sebelahku ya? pikirku. Mungkin ini tandanya aku sudah salah memiliki rasa ini.
“tapi ya mau gimana lagi?” lanjutnya. “Tapi aku malah seneng soalnya ternyata aku kangen banget sama orang yang duduk di sebelahku sekarang.”
Aku terkejut atas perkatannya. Aku menelan ludahku. Dan kurasa mataku hampir saja melotot sekarang. Apa yang dia katakan barusan? Apa aku tidak salah dengar?
“Aku jadi ngerasa kalo semuanya nggak kebetulan,” lanjutnya lagi. “Tuhan udah rencanain semua ini pasti. Untung tadi aku nggak nolak. Kalo nggak aku bakalan nyesel.”
Nyesel? Kenapa dia nyesel kalo nggak duduk sama aku?
“Eh, diajakan ngobrol diem aja,” sergahnya.
“Oh, maaf,” aku menyeringai dengan ragu. “Emang kenapa kamu bakalan nyesel?”
Dia tersenyum. “Soalnya,” ia menahan perkataannya.
“Soalnya kenapa?” jantungku rasanya berdebar kencang. Aku bertanya-tanya apa yang akan dikatakannya. Aku tidak sabar untuk mendengar perkataannya.
Tiba-tiba tangan kanannya menggenggam tangan kiriku. “Selama sebulan di Amerika aku hampir nggak bisa tidur tiap malem, karena aku cuman mau ngomong sama kamu kalo aku,” dia memandangku lekat-lekat,” kangen banget sama cewekku.”
“Cewekmu? Siapa maksudmu?” tanyaku. Jantungku berdebar makin cepat. Apa yang sebenarnya akan dikatakannya?
“Waktu itu, di pesta pernikahan Damien, aku kan udah bilang kalo mulai hari itu kamu itu jadi pacarku,” ia mengingatkan. Ya, aku ingat waktu dia membelaku dari sikap Ricky yang berusaha menggodaku. Dan dia menyatakan bahwa aku pacarnya. “Toh kamu juga waktu itu nggak nolak. Berarti kamu setuju dong.”
Rasanya ada banyak sekali kembang api yang besar sedang meledak di hatiku. Mungkin sekarang gara-gara kembang api itu, pipiku menjadi merah berseri. Aku, aku tidak bisa menahan untuk tersenyum lebar.
“Aku sayang kamu,” katanya.
“Aku juga sayang kamu,” balasku.
Dan pesawat pun lepas landas. Mulai saat itu hubungan kami sudah berbeda. Kami bukan lagi sebatas seorang pemuda yang mengajari seorang gadis yang tidak seimbang prestasi musik dan akademiknya, tapi sekarang kami adalah pasangan kekasih. I am not imbalance anymore but perfectly balance!

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Imbalance to Perfectly Balance (part 11)

Beberapa hari berlalu setelah malam itu. Dan hari ini adalah hari pertama aku akan menjalani ujian akhir semester selama satu minggu ke depan. Aku sudah mempersiapkan segala materi yang akan diujikan dan tentu saja juga mentalku. Aku sudah belajar keras bersama Phillip sebulan ini. Pasti aku bisa!
Trrt trrt. Hapeku bergetar di dalam kantong kanan celana jeansku sebelum aku masuk ke dalam kelas.


Aku berdoa kamu pasti berhasil di ujianmu. Hari ini kamu
General Linguistic kan? Kamu pasti bisa!
God bless ya!
Phillip.


“Heh, kok senyum-senyum sendiri sih?” tanya Bonita saat melihatku tersenyum membaca SMS dari Phillip. Dan ternyata aku tidak sadar aku melakukannya. “Ujian tau. Masuk, masuk.”
Aku menyeringai. “Iya, iya,” sahutku. Aku memasukkan hapeku ke dalam tas dan bergegas masuk ke dalam kelas.
Hari ini berlalu. General Linguistic sudah lepas dari pikiranku. Tapi masih enam hari lagi untuk menyelesaikan ujianku yang lain. Kali ini aku harus membuktikan bahwa aku bisa. Aku harus menyeimbangkan prestasi musikku dengan prestasi akademikku. Aku tidak mau mendengar alasan yang sama akan orang tuaku buat untuk menutupi kelemahanku. Ketidakseimbanganku, dalam tanda kutip maksudnya.
Selama beberapa hari ini tidak ada SMS dari Phillip semenjak SMS-nya yang terakhir itu. Tapi itu bukan sesuatu yang seharusnya ada di pikiranku. Aku hanya akan belajar dan belajar. Aku mempersiapkan banyak sekali hal di ujian akhir ini. Entah kenapa rasanya selalu ada dorongan dalam diriku untuk memberi yang terbaik. Dan memang, aku selalu belajar dengan keras untuk dapat menyelesaikan setiap ujian yang diberikan setiap harinya.
Aku sudah berusaha dengan keras. Aku percayakan semuanya ke Tuhan. Aku tidak tahu hasil akhirnya berapa. Tapi yang aku yakini di dalam hatiku, aku akan mendapatkan hasil yang terbaik, sebaik aku mempersiapkan diriku.
Dan hari ini aku menyelesaikan ujian akhir semester satu. Aku merasa lega aku selesai. Papa, Mama, aku selesai. Aku seneng banget. Aku lega, aku menarik nafas panjang saat aku melangkahkan kakiku keluar dari dalam kelas.


Phillip, aku seneng banget rasanya. Aku bisa selesain ujian
dan aku ngerasa puas banget. :)


Aku menekan tombol send. Aku berharap Phillip juga merasa senang karena usahanya tidak sia-sia. Usahanya mengajar seorang gadis yang kurang baik, em ralat, tidak baik dalam hal teori. Berkat seorang pemuda blasteran yang tadinya tidak mengetahui tipe gadis seperti apa aku, tapi tetap mengajariku.
“Udah hampir setengah jam,” aku melirik jam tanganku, “kok nggak biasanya dia belum bales? Padahal biasanya maksimal dia bales tuh lima belas menitan. Kenapa ya dia?”
Yang ada di otakku sekarang adalah alasan-alasan kenapa Phillip tidak membalas SMSku. Alasan pertama, mungkin dia sedang pergi dan lupa membawa hapenya. Alasan kedua, baterenya habis. Alasan ketiga, dia sedang sibuk. Alasan keempat, apa ya? Aku tidak tahu. Apa lebih baik aku ke rumahnya?
Otakku mengalami dilema. Kalau ternyata dia di rumah dan lagi tidur di waktu ini, dan tiba-tiba aku datang mengganggu tidurnya, itu akan jadi hal yang tidak baik. Apalagi aku ini kan seorang gadis. Masa cewek dateng ke rumah cowok? Nanti dikiranya aku cewek agresif, posesif, ah gengsi aku. Otakku berputar, dan kupaksa pikiranku untuk mengeluarkan sebuah ide brilian. Aha! Bu Rini!
Aku bergegas menuju ke ruang dosen. Aku masuk dan mencari keberadaan Bu Rini. Dan dia sedang duduk sambil mengerjakan sesuatu di atas mejanya dengan serius. Mungkin itu ujian mahasiswa-mahasiswanya. Mungkin juga milikku ada disana.
“Permisi Bu,” aku menyela pekerjaannya. Aku merasa agak tidak enak.
Tangan kanannya berhenti menulis dan kedua matanya ia alihkan kepadaku. “Kenapa Tif? Kamu takut ya nilaimu jelek?” goda Bu Rini.
Aku menggeleng. “Enggak gitu, Bu,” sahutku.
“Terus?”
“Ibu tahu, em─”
“Phillip?”
“Iya,”
“Oh, dia sekeluarga lagi pulang ke Amerika, ke rumah neneknya,” jawab Bu Rini. “She just passed away seminggu lalu.”
Otakku berputar lagi. Jadi itu alasannya kenapa Phillip nggak SMS lagi semenjak minggu lalu?
“Dan mungkin dia bakalan disana sebulan,” lanjutnya. “Itu sih yang Damien ceritain kemarin malem.”
Aku mengangguk-angguk. “Oh gitu ya?” kataku.
“Emang kamu kangen ya sama dia?” godanya. “Ngaku hayo.”
Aku menggeleng-gelengkan kepalaku sambil menggerak-gerakkan kedua tanganku. “Nggak bu,” aku menyangkal. “Nggak gitu bu.” Memangnya aku rindu pada Phillip. Aku tidak merasa seperti itu. Kayaknya sih.
“Masa?” godanya lagi. “Berarti sebulan nggak masalah dong kalo nggak ketemu dia.”
Aku berpikir. Sepertinya bukan masalah. Tapi karena sebulan ini aku selalu bersamanya tiap sore sampai malam, jadi mungkin aku akan menyesuaikan diri lagi untuk tidak bertemu dengannya.
“Iya lah bu,” sahutku. “Ya udah bu. Lanjutin aja kerjaan ibu. Saya mau pulang dulu. Capek.”
Bu Rini tertawa. “Segitu aja capek kamu,” ia menyindir. “Ya udah deh, daripada kerjaan ibu nggak kelar-kelar gara-gara kamu disini. Daa.”
“Daa Ibu,” aku keluar dari ruangannya.
Baiklah. Sebulan tanpa Phillip tiap sore. Itu bukan hal yang besar. Toh dulu tanpa Phillip pun aku baik-baik saja. Aku masih punya orang tua dan teman-temanku yang lainnya yang pastinya bisa bercengkerama denganku.

Di dalam kamarku, aku memandangi gaun dan sepatu yang Phillip hadiahkan kepadaku. Aku ingat malam itu. Aku ingat cara dia memandangku. Aku ingat cara dia mengajariku berdansa. Aku ingat cara dia membelaku dan aku ingat cara dia tertawa. Rasanya aku bahagia sekali malam itu.
Tapi aku tersadar. Aku tersadar bahwa aku sudah memikirkannya secara tidak sadar. Apa yang kurasakan? Aku bahkan tidak berani mengatakan apa yang sedang kurasakan. Kenapa aku bisa memikirkannya seperti itu? Tiffany, sadarlah. Kembalilah seperti semula.
Daripada aku terjaga dan nantinya pikiranku malah berkonsen ke hal-hal yang seharusnya tidak kupikirkan, lebih baik aku tidur sekarang. Besok di pagi hari, aku harus kembali normal. Kembali ke cara berpikir dan cara bersikap Tiffany Harmony Setiawan yang dulu.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Imbalance to Perfectly Balance (part 10)

Lalu kami bertiga berjalan ke tengah ruangan yang lebar dan tidak ada kursi ataupun meja disana. Phillip menggandeng tanganku menuju ke tempat itu. Kami memposisikan diri kami, sementara Ricky juga bersama dengan pasangan dansanya.
“Aku bener-bener nggak bisa dansa lho,” aku memperingatkannya. “Nanti aku nggak tau  ya kalo tiba-tiba aku nginjak sepatumu. Aku juga nggak mau sampe jatuh.”
“Tenang aja, aku ajarin,” Phillip meyakinkanku. “Ini gampang. Asal kamu ngikutin gerakanku aja.”
Aku menarik nafas dalam lagi dan mengangguk. “Aku pasrah,” kataku. Aku meletakkan tangan kananku di tangan kirinya dan tangan kiriku di bahunya. Hanya itu yang kutahu tentang dansa. Karena itulah yang aku lihat di film-film kebanyakan.
Musik dansa pun terdengar. Aku bersyukur ini bukan salsa atau tango. Ini hanya dansa biasa.
Phillip mulai bergerak. Aku berusaha mengikutinya. Rasanya susah untuk mengikuti gerakannya. Sempat beberapa kali aku menginjak kakinya, dan membuatnya agak kesakitan. Tapi meskipun begitu dia tetap tertawa.
Dag dig dug! Dag dig dug! Kenapa rasanya jantungku berdetak lebih kencang? Apa yang terjadi? Kenapa aku merasa begini? Apa mungkin karena aku berada terlalu dekat dengan Phillip? Ya, sekarang jarak kami tidak lebih dari satu inchi. Aku kenapa?
“Muter,” bisiknya. Lalu aku berputar ke arah luar sementara tangan kananku masih menggenggam tangannya. Lalu aku berputar kembali ke arahnya, tepatnya ke pelukannya.
Terlalu dekat. Jantungku, jantungku. Semakin cepat berdetak rasanya. Tenanglah. Aku nggak mau jadi salah tingkah ato apapun. Ayo balik tenang lagi jantung.
Aku benar-benar berusaha meredam segala rasa apapun yang mungkin muncul di dalam hatiku. Aku hanya ingin menyelesaikan dansa ini. Tidak mungkin aku berhenti di tengah jalan.
Aku mengikuti gerakan Phillip dengan lebih mudah sekarang. Aku semakin terbiasa dengan gerakan-gerakan yang diulang-ulang ini sampai akhirnya musik pun berhenti tanda dansa sudah selesai. Praise God, aku bersyukur dalam hati.
“Panas ya?” kata Phillip. Ia mengipas tubuhnya dengan menarik-narik kerahnya.
“Oh iya, aku juga ngerasa gitu,” aku menyeringai. Aku menggerak-gerakkan telapak tanganku di depan wajahku.
“Kita ambil minuman dingin yuk, biar lebih ngerasa adem,” ajaknya.
Kami pun berjalan menuju ke tempat minuman-minuman dan mengambil dua gelas orange juice, lalu meneguknya sampai habis. Lalu kami mengobrol dan bercanda lagi, sampai akhirnya tiba-tiba seorang pemuda dengan kasarnya menabrakku dan membuatku hampir terjatuh. Tapi Phillip menopangku dan membuatku berdiri tegak lagi.
“Tunggu disini ya, Tif,”
“Jangan,” aku menahannya. Aku tahu dia pasti akan menemui pemuda yang telah menyenggolku tadi dan mungkin akan marah padanya, seperti saat dia melindungiku dari Ricky. Tapi itu pasti akan membuat keadaan pesta ini menjadi tidak baik. “Biarin aja. Aku nggak papa.”
“Aku cuma mau ngomong sama dia kok,” katanya.
Aku menggeleng. “Kamu disini aja,” pintaku. Aku mengelus-elus bahu kananku yang baru saja ditabrak tadi. Rasanya mulai nyeri.
“Sakit pasti?”
Aku mengangguk. “Nyeri, tapi nggak papa,” kataku. Aku melirik ke jam tanganku. “Udah jam sembilan? Aduh, aku harus pulang sekarang.”
“Oke, oke, kita pulang sekarang,” katanya.
Setelah berpamitan dengan Damien, Sylvi, Ricky, Bu Rini, dan juga beberapa temannya yang lain, kami pun keluar dari tempat itu dan masuk ke dalam mobil. Dengan cepat Phillip mengantarkanku sampai ke rumah.
“Biar aku yang ngomong sama papa mamamu,” kata Phillip sesaat setelah ia menutup pintu mobilnya.
Aku membuka pagar dan berjalan masuk, sementara Phillip berjalan di sampingku. Aku berjalan dengan hati berdebar-debar. Ini sudah jam 21.35. Aku tahu pasti aku akan dimarahi. Terlebih lagi aku takut kalau sampai orang tuaku tidak mempercayai Phillip lagi.
Belum sempat aku mengetuk pintu, pintu terbuka.
“Ma, maaf ya aku ter─”
“Kamu dandan begini?” Mama memicingkan matanya padaku. Ia tampak terheran-heran melihat penampilanku. Ia memandangiku dari atas kepala sampai ke kaki. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kamu kok, bisa mempengaruhi Tiffany dandan sampe segininya?”
Aku tercengang melihat respon Mama. Begitu juga Phillip.
“Nggak bermaksud gitu, Tante,” jawabnya. “Dia nurut-nurut aja tadi.”
“Yang bener?” Mama masih terdengar tidak percaya.
Ih, mama, kenapa tanya-tanya melulu? Pertanyaan Mama membuatku malu. Seolah-olah aku mau berdandan karena aku menyukai Phillip. Ah Mama.
“Kan Phillip udah banyak bantu aku,” aku membela diri,” apa salahnya sekali-sekali bantuin dia?”
“Tapi kenapa pulang jam segini?” pertanyaan yang paling kutakuti saat ini akhirnya keluar dari mulut Mama.
Aku menelan ludah. Aku tidak tahu harus menjawab bagaimana.
“Ini saya yang salah, Tante,” sahut Phillip. Dia tahu aku tidak bisa menjawab. “Tadi saya terlalu lama kenalin dia ke temen-temen, jadinya nggak inget waktu.”
Lalu mama tersenyum. “Yang penting sekarang kamu udah bawa Tiffy pulang dengan selamat,” kata mama, “lagian dia udah nggak SMA lagi, jadi ada kompensasi untuk dia lah.”
Rasanya hatiku senang sekali. Peraturan sudah berubah. Mama sudah menganggapku cukup umur untuk boleh pulang lebih dari jam sembilan malam. Thanks God.
“Kalo gitu, sekarang saya pamit dulu ya tante,” kata Phillip. “Mari tante. Sampe ketemu, Tif.”
Bye,” aku melambaikan tanganku padanya.
Tapi sebelum Phillip melangkah keluar dari pagar rumahku, aku tiba-tiba teringat akan gaun dan sepatu yang kupakai. “PHILLLIP!” seruku. Dia berpaling dan aku berjalan ke arahnya.
“Kenapa?” tanyanya.
“Ini,” aku menunjuk ke gaun dan sepatu yang kupakai. “Aku kembalikan dua hari lagi ya. Supaya masih bagus kalo aku cuci. Aku janji bakal hati-hati.”
Tapi dia tertawa kecil. Lalu memberantakkan poniku. “Nggak usah tau,” katanya. “Itu untuk kamu. Hadiah karna kamu udah nemenin aku.”
“Eh, jangan dong. Ini mesti harganya mahal. Gaun sama sepatu ini terlalu bagus untuk aku,” sahutku.
“Terus kalo aku bawa balik untuk apa? Aku kan nggak punya adik ato kakak perempuan,”
“Beneran?”
Dia mengangguk. “Untuk kamu,” sekali lagi dia menegaskan.
“Tapi tuh,” aku bersikeras.
“Mamamu udah nunggu disana tau,” Phillip mengingatkan. “Jangan sampe kemurahan yang mamamu kasi jadi sia-sia lho.”
Aku mendesis. “Iya, iya,” sahutku. “Bye.
Bye,” balasnya. Lalu ia masuk ke mobil.
Aku berdiri di depan pagar sampai ia melaju pergi dan tidak terlihat lagi. Dan aku menutup pagar rumahku. Malam ini, malam yang luar biasa.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Imbalance to Perfectly Balance (part 9)

Tapi aku teringat kepada Phillip. Aku mengalihkan pandanganku ke tempat dia duduk tadi. Tapi dia tidak disana. Mataku pun menelusuri seluruh ruangan itu mencari keberadaan Phillip, sampai aku tidak sadar aku masih berdiri di depan orang-orang itu.
Ketika aku akan melangkahkan kakiku pergi dari panggung, seseorang menahanku. “Jangan pergi dulu,” seorang wanita yang adalah penyanyi sekaligus MC itu menepuk bahuku.
Aku berpaling padanya. Aku hanya menyeringai.
“Sebenernya kamu Tiffany Harmony yang masuk di majalah itu kan?” ia memastikanku. Dan setelah perkataannya itu, terdengar orang-orang saling berbisik. “Wah, Jeniffer seneng banget ketemu sama artis kamu.” Ah, Jeniffer, itu namanya. Ya, dan tingkahnya ternyata seperti tren anak muda jaman sekarang. Lebay banget, pikirku.
Aku menyeringai lagi. Mataku masih menelusuri seluruh ruangan itu. Dimana sih Phillip nih? Masak sih dia ninggalin aku disini?
“Eh, kamu tuh ditanyain kok diem aja?” ia menyadarkanku.
“Oh,” aku tertawa kecil. “Iya, iya itu aku.”
“Wah, berarti seharusnya Damien sama Sylvi seneng dong, kedatangan tamu spesial nih,” ujarnya sambil menghadap ke arah kedua mempelai itu. “Damien, mau ngomong sesuatu atau mungkin Sylvi?”
Sementara aku masih saja tetap merasa was-was karena aku tidak melihat Phillip dimana pun, Damien datang mendekat. Tapi bukannya mengambil microphone dari tangan Jeniffer, tapi membisikkan sesuatu kepadaku.
“Apa?” aku sebenarnya cukup terkejut dengan perkataannya, tapi baiklah aku lakukan apa yang dia mau. Dia yang punya acara hari ini. Lalu Damien membisikkan hal yang sama kepada Jeniffer lalu kembali ke tempat dimana ia duduk sebelumnya. “Happy birthday, happy birthday.... Happy birthday, Phillip.
“Woaaa, ternyata, hari ini adalah hari yang nggak cuman spesial buat Damien dan Sylvi, tapi juga buat sahabat mereka, Phillip,” seru Jeniffer. Efek piano pun dimainkan dan membuat suasana menjadi semakin meriah. “Mari saya panggil Phillip untuk berdiri di depan panggung.”
Dari tengah-tengah kumpulan orang-orang itu, Phillip muncul. Tapi dia maju bukan dengan sendirinya. Beberapa temannya terpaksa harus mendorongnya dari belakang, termasuk Damien. Dan, dan ada seseorang yang kukenal di sebelahnya. Seorang wanita paruh baya yang modis dan yang sudah memperkenalkanku kepada Phillip. Bu Rini.
Sampai di depan panggung, aku memberikan mic kepada Damien. “Nah, hari ini aku nggak seneng-seneng berdua doang sama istriku,” katanya. “Kayak yang Jeniffer udah bilang, hari ini sahabatku yang paling deket sama aku, yang sukanya nraktir aku pas SMA, kemana-mana bareng, dan juga yang ngenalin aku ke Sylvi, ulang tahun tepat hari ini 28 Januari 2012, yang ke, ke berapa Phill? Oh ke-23. Bener kan?” Ia menyenggol lengan Phillip.
Phillip tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. Sementara aku berdiri di paling ujung, menatap orang-orang itu sambil tersenyum.
Tiba-tiba Ricky ikut maju ke panggung dan mengambil mic dari tangan Damien. “Sebenernya tadi tuh aku nggak tahu mau ngerjain kamu gimana. Eh, ada Tiffany. Aku pake dia aja. Sori ya Tif,” ia memiringkan kepalanya ke arahku.
Aku menggeleng sambil tersenyum. “It’s okay,” aku membentuk ‘OK’ dengan jariku.
“Dan aku berhasil! YES!” serunya senang. “Malah sampe kamu kesel gitu. Ya, mending kamu pacaran aja sama Tiffany.” Dia tertawa puas lalu merangkul Phillip.
Phillip hanya tertawa melihat tingkah Ricky. Ya, kamu harus seneng-seneng, Phillip. Jangan marah lagi. Temen-temenmu disini pasti uudah ngrencanain segala sesuatunya untuk kamu, pikirku dalam hati.
Damien kembali mengambil mic dari tangan Ricky. “Pokoknya sekali lagi selamat ulang tahun buat Phillip Montgomery! Tepuk tangan semuanya,” serunya. Dan semua orang disana bertepuk tangan. Kami turun dari panggung dan Jeniffer kembali mengambil alih panggung.
“Udah, kalian seneng-seneng sana. Aku mau ngumpul sama yang lainnya,” Ricky menepuk lengan Phillip lalu pergi.
Have fun,” Damien pun pergi meninggalkan Phillip dan aku.
Sejenak aku dan Phillip saling berdiam diri. Tapi aku angkat bicara,” Tadi aku lihat Bu Rini deh kayaknya,” kataku.
“Iya, aku disini,” suara seorang wanita terdengar dari belakangku. Itu Bu Rini.
“Ibu kok bisa disini?” tanyaku.
Bu Rini melingkarkan lengannya di pinggangku. “Gimana nggak disini kalo yang menikah anak laki-lakiku sendiri?” ujarnya.
“Oh, Damien tuh anaknya ibu to?”
“Iya Tif,” sahutnya. Bu Rini berpaling kepada Phillip. “Phil, gimana ngajarin si Tiffy nih? Susah nggak? Bandel kan dia?”
Phillip tertawa kecil. “Ya gitu, bu,” katanya. “Agak ngeselin gitu, Tante.”
Aku menyenggol lengan Phillip. “Oh jadi selama ini Phillip yang kayaknya cool itu mikir kalo aku nih ngeselin?” aku beraksen seperti orang alay. Lalu aku tertawa sendiri. “Tapi karna kamu ulang taun hari ini, ya udah deh nggak papa kalo kamu ngatain aku gitu.”
Bu Rini menertawaiku. “Nggak pantes,” katanya.
“Dengerin tuh Bu Rini ngomong apa,” balas Phillip.
Aku menyeringai.
“Ya udah, ibu mau balik ngobrol-ngobrol sama besan dulu ya, cin,” akhirnya Bu Rini mengeluarkan aksen ‘itu’.
Aku dan Phillip tertawa mendengarnya.
Bye bye,” Bu Rini berpaling dan meninggalkan kami.
Aku menggeleng-gelengkan kepala. “Kamu tau? Bu Rini tuh emang orang yang keren banget buat aku,” aku bercerita. “Kalo Bu Rini nggak ngotot nyuruh aku belajar sama kamu, ya mesti aku masih nggak mudeng tuh mata kuliah. Dia dosen satu-satunya yang paling sayang sama aku kayak anaknya sendiri.”
Phillip mengangguk-angguk. “Waktu aku masih SMA, aku juga sering ke rumah Damien,” katanya. “Aku juga diperlakuin sama Tante Rini, eh Bu Rini, kayak anaknya sendiri. Dia emang orang tua yang baik banget. Walopun suaminya udah meninggal.”
“Iya,” kataku. Aku menarik nafas dalam. “Rasanya aku agak capek pake sepatu high heels nih. Duduk yuk.”
“Ayo,”
Kami berjalan dan kembali duduk ke tempat semula. Sambil mengobrol dengan Phillip, kami menikmati musik dan nyanyian yang diperdengarkan. Aku bersyukur hari ini aku punya teman baru.
Anyway, selamat ulang tahun ya Phil,” kataku. “Berarti kamu udah tua ya.” Aku menertawakannya.
“Tua apanya? Wajah ganteng begini dibilang tua,” sahutnya.
“Kan aku nggak bilang wajahmu, aku cuman bilang kamu udah tua. Itu kan artinya bisa jadi umur,”
“Tapi nggak tua juga kali ngomongnya, kan ada kata dewasa,”
Aku tertawa. “Oh, iya ya,” kataku. “Ya, maksudku itu.”
“Aku juga makasi banget sama kamu, Tif,”
Aku berpaling padanya. “Makasi apa? Aku yang makasi,” sahutku. “Aku bisa kenal sama temen-temen baru, dapet link lebih banyak lagi. Mungkin suatu kali salah satu dari mereka ato mungkin lebih bisa nolong aku kalo aku lagi butuh bantuan.”
“Kamu tuh,” katanya. “Sebenernya selain udah nemenin aku disini, aku juga mau terima kasih udah nemenin aku di hari ulang taunku.”
Aku berfokus pada perkataannya barusan. Di hari ulang tahunnya? Aku bahkan tidak tahu sama sekali kalau aku sedang menemaninya di hari ulang tahunnya waktu dia mengirim pesan padaku. Sepertinya aku merasa semua ini sudah diatur. Ya, pastilah. Tuhan membuat segala sesuatunya. Aku berdoa Phillip seneng di hari ulang tahunnya.
“Tapi aku nggak bawa hadiah apa-apa buat kamu, Phil,” kataku. Aku menggesek-gesekkan kedua telapak tanganku ke gaun. “Kayaknya kok aku nggak tau terima kasih ya sama kamu. Udah nolong aku banget.”
Dia menggeleng. “Udah lebih dari cukup kok,” sahutnya.
“Lebih dari cukup?”
“Kamu mau aku suruh dandan begini sore-sore, ngabisin waktu di salon, padahal kamu nggak tau tadinya mau aku ajak kemana,” ujarnya,” terus habis itu nyanyi disini, padahal kamu terhitung udah mulai terkenal dan kamu yang buat aku nggak ngerasa kesel lagi, walaupun ternyata itu akal-akalannya si Ricky, bisa bercanda sama temen-temenku, dan lagumu itu bener-bener buat rasa keselku reda, so it’s more than enough.”
Aku tersenyum. “My pleasure,” sahutku.
“Dan, kamu cantik pake baju itu, Tif,” lanjut Phillip.
Well actually, kamu berhasil mempengaruhi aku untuk dandan seheboh ini,” timpalku.
“Phill, Dancing Time nih,” Ricky tiba-tiba datang menghampiri kami. “Yuk, kayak dulu lagi dansa bareng-bareng sekelas. Reunian sekalian lah. Kamu masih inget kan dansa kita formasinya gimana?”
“Emang Lina disini?” tanya Phillip.
Siapa Lina? Seorang gadis? Kenapa sepertinya aku merasa cem─ tidak, tidak. Aku kan teman baru Phillip. Hampir saja aku berpikir yang tidak seharusnya aku pikirkan.
“Lina udah menikah tau, dia ke luar negeri sekarang,” jawab Ricky. “Pasangan dansa lamamu nggak ada ya, sama Tiffy aja.”
Aku terkejut. “Aku?” aku menaikkan kedua alisku. Aku menggerak-gerakkan kedua telapak tanganku tanda aku menolak. “Nggak bisa dansa.”
Tapi Phillip tiba-tiba berdiri dan mengulurkan tangannya padaku.
“Nah tuh, masa kamu nggak kasian liat Phillip dansa sendirian?” Ricky berusaha membujukku.
Aku menarik nafas dalam. Lalu menyambut uluran tangannya dan berdiri.
“Nah, kan sekarang jadinya enak,” kata Ricky. “Yuk, kesana.”

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Banner Exchange

Neng Hepi Blog, Banner