Imbalance to Perfectly Balance (part 10)
Lalu kami bertiga berjalan ke tengah ruangan yang lebar dan tidak ada kursi ataupun meja disana. Phillip menggandeng tanganku menuju ke tempat itu. Kami memposisikan diri kami, sementara Ricky juga bersama dengan pasangan dansanya.
“Aku bener-bener nggak bisa dansa lho,” aku memperingatkannya. “Nanti aku nggak tau ya kalo tiba-tiba aku nginjak sepatumu. Aku juga nggak mau sampe jatuh.”
“Tenang aja, aku ajarin,” Phillip meyakinkanku. “Ini gampang. Asal kamu ngikutin gerakanku aja.”
Aku menarik nafas dalam lagi dan mengangguk. “Aku pasrah,” kataku. Aku meletakkan tangan kananku di tangan kirinya dan tangan kiriku di bahunya. Hanya itu yang kutahu tentang dansa. Karena itulah yang aku lihat di film-film kebanyakan.
Musik dansa pun terdengar. Aku bersyukur ini bukan salsa atau tango. Ini hanya dansa biasa.
Phillip mulai bergerak. Aku berusaha mengikutinya. Rasanya susah untuk mengikuti gerakannya. Sempat beberapa kali aku menginjak kakinya, dan membuatnya agak kesakitan. Tapi meskipun begitu dia tetap tertawa.
Dag dig dug! Dag dig dug! Kenapa rasanya jantungku berdetak lebih kencang? Apa yang terjadi? Kenapa aku merasa begini? Apa mungkin karena aku berada terlalu dekat dengan Phillip? Ya, sekarang jarak kami tidak lebih dari satu inchi. Aku kenapa?
“Muter,” bisiknya. Lalu aku berputar ke arah luar sementara tangan kananku masih menggenggam tangannya. Lalu aku berputar kembali ke arahnya, tepatnya ke pelukannya.
Terlalu dekat. Jantungku, jantungku. Semakin cepat berdetak rasanya. Tenanglah. Aku nggak mau jadi salah tingkah ato apapun. Ayo balik tenang lagi jantung.
Aku benar-benar berusaha meredam segala rasa apapun yang mungkin muncul di dalam hatiku. Aku hanya ingin menyelesaikan dansa ini. Tidak mungkin aku berhenti di tengah jalan.
Aku mengikuti gerakan Phillip dengan lebih mudah sekarang. Aku semakin terbiasa dengan gerakan-gerakan yang diulang-ulang ini sampai akhirnya musik pun berhenti tanda dansa sudah selesai. Praise God, aku bersyukur dalam hati.
“Panas ya?” kata Phillip. Ia mengipas tubuhnya dengan menarik-narik kerahnya.
“Oh iya, aku juga ngerasa gitu,” aku menyeringai. Aku menggerak-gerakkan telapak tanganku di depan wajahku.
“Kita ambil minuman dingin yuk, biar lebih ngerasa adem,” ajaknya.
Kami pun berjalan menuju ke tempat minuman-minuman dan mengambil dua gelas orange juice, lalu meneguknya sampai habis. Lalu kami mengobrol dan bercanda lagi, sampai akhirnya tiba-tiba seorang pemuda dengan kasarnya menabrakku dan membuatku hampir terjatuh. Tapi Phillip menopangku dan membuatku berdiri tegak lagi.
“Tunggu disini ya, Tif,”
“Jangan,” aku menahannya. Aku tahu dia pasti akan menemui pemuda yang telah menyenggolku tadi dan mungkin akan marah padanya, seperti saat dia melindungiku dari Ricky. Tapi itu pasti akan membuat keadaan pesta ini menjadi tidak baik. “Biarin aja. Aku nggak papa.”
“Aku cuma mau ngomong sama dia kok,” katanya.
Aku menggeleng. “Kamu disini aja,” pintaku. Aku mengelus-elus bahu kananku yang baru saja ditabrak tadi. Rasanya mulai nyeri.
“Sakit pasti?”
Aku mengangguk. “Nyeri, tapi nggak papa,” kataku. Aku melirik ke jam tanganku. “Udah jam sembilan? Aduh, aku harus pulang sekarang.”
“Oke, oke, kita pulang sekarang,” katanya.
Setelah berpamitan dengan Damien, Sylvi, Ricky, Bu Rini, dan juga beberapa temannya yang lain, kami pun keluar dari tempat itu dan masuk ke dalam mobil. Dengan cepat Phillip mengantarkanku sampai ke rumah.
“Biar aku yang ngomong sama papa mamamu,” kata Phillip sesaat setelah ia menutup pintu mobilnya.
Aku membuka pagar dan berjalan masuk, sementara Phillip berjalan di sampingku. Aku berjalan dengan hati berdebar-debar. Ini sudah jam 21.35. Aku tahu pasti aku akan dimarahi. Terlebih lagi aku takut kalau sampai orang tuaku tidak mempercayai Phillip lagi.
Belum sempat aku mengetuk pintu, pintu terbuka.
“Ma, maaf ya aku ter─”
“Kamu dandan begini?” Mama memicingkan matanya padaku. Ia tampak terheran-heran melihat penampilanku. Ia memandangiku dari atas kepala sampai ke kaki. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kamu kok, bisa mempengaruhi Tiffany dandan sampe segininya?”
Aku tercengang melihat respon Mama. Begitu juga Phillip.
“Nggak bermaksud gitu, Tante,” jawabnya. “Dia nurut-nurut aja tadi.”
“Yang bener?” Mama masih terdengar tidak percaya.
Ih, mama, kenapa tanya-tanya melulu? Pertanyaan Mama membuatku malu. Seolah-olah aku mau berdandan karena aku menyukai Phillip. Ah Mama.
“Kan Phillip udah banyak bantu aku,” aku membela diri,” apa salahnya sekali-sekali bantuin dia?”
“Tapi kenapa pulang jam segini?” pertanyaan yang paling kutakuti saat ini akhirnya keluar dari mulut Mama.
Aku menelan ludah. Aku tidak tahu harus menjawab bagaimana.
“Ini saya yang salah, Tante,” sahut Phillip. Dia tahu aku tidak bisa menjawab. “Tadi saya terlalu lama kenalin dia ke temen-temen, jadinya nggak inget waktu.”
Lalu mama tersenyum. “Yang penting sekarang kamu udah bawa Tiffy pulang dengan selamat,” kata mama, “lagian dia udah nggak SMA lagi, jadi ada kompensasi untuk dia lah.”
Rasanya hatiku senang sekali. Peraturan sudah berubah. Mama sudah menganggapku cukup umur untuk boleh pulang lebih dari jam sembilan malam. Thanks God.
“Kalo gitu, sekarang saya pamit dulu ya tante,” kata Phillip. “Mari tante. Sampe ketemu, Tif.”
“Bye,” aku melambaikan tanganku padanya.
Tapi sebelum Phillip melangkah keluar dari pagar rumahku, aku tiba-tiba teringat akan gaun dan sepatu yang kupakai. “PHILLLIP!” seruku. Dia berpaling dan aku berjalan ke arahnya.
“Kenapa?” tanyanya.
“Ini,” aku menunjuk ke gaun dan sepatu yang kupakai. “Aku kembalikan dua hari lagi ya. Supaya masih bagus kalo aku cuci. Aku janji bakal hati-hati.”
Tapi dia tertawa kecil. Lalu memberantakkan poniku. “Nggak usah tau,” katanya. “Itu untuk kamu. Hadiah karna kamu udah nemenin aku.”
“Eh, jangan dong. Ini mesti harganya mahal. Gaun sama sepatu ini terlalu bagus untuk aku,” sahutku.
“Terus kalo aku bawa balik untuk apa? Aku kan nggak punya adik ato kakak perempuan,”
“Beneran?”
Dia mengangguk. “Untuk kamu,” sekali lagi dia menegaskan.
“Tapi tuh,” aku bersikeras.
“Mamamu udah nunggu disana tau,” Phillip mengingatkan. “Jangan sampe kemurahan yang mamamu kasi jadi sia-sia lho.”
Aku mendesis. “Iya, iya,” sahutku. “Bye.”
“Bye,” balasnya. Lalu ia masuk ke mobil.
Aku berdiri di depan pagar sampai ia melaju pergi dan tidak terlihat lagi. Dan aku menutup pagar rumahku. Malam ini, malam yang luar biasa.
0 Response to "Imbalance to Perfectly Balance (part 10)"
Posting Komentar