Imbalance to Perfectly Balance (part 4)
“I’m home,” aku berjalan melewati ruang tamu menuju kamarku sambil mengayun-ayunkan tas punggungku sampai menyentuh lantai.
Tidak ada yang membalas sapaanku. Aku berhenti di depan pintu kamarku dan meletakkan tasku disana. Sementara itu aku bergerak menuju kamar papa dan mama untuk memeriksa apakah mereka ada disana.
“Mah, Pah,” aku mengetok-ketok pintu kamar mereka. Tidak ada yang menjawab. “Papa, Mama! Udah tidur?”
Tidak ada jawaban. Sepertinya iya. Mereka sudah tertidur. Tapi kenapa Mbak Sundari juga tidak muncul untuk menyapaku seperti biasanya?
Aku pun berjalan menuju kamar pembantu dan celingukan di sepanjang jalan menuju kesana. Mungkin Mbak Sun masih di luar kamarnya. Aku ingin minum susu malam ini. Rasanya perutku lapar sekali. Jadi kupikir, segelas susu akan mengganjal perutku malam ini dan pastinya tidak membuatku gemuk. That's the most important.
Di depan kamar Mbak Sun ada sebuah jendela kecil. Dari situ aku mengintip kamarnya untuk memeriksa apakah dia masih terjaga.
“Tidur juga dia,” aku menggaruk punggungku. Agak gatal rasanya. Lalu menarik nafas dalam. “Kenapa semua orang cepet banget ya tidurnya hari ini? Apa tadi mereka habis ngelakuin sesuatu yang bikin capek banget, jadi mereka tidur pules? Masih jam setengah sepuluh udah tidur semua. Hah. Ya udah aku bikin susu anget sendiri.”
Aku melangkah menuju dapur yang jaraknya hanya lima langkah dari kamar Mbak Sun. Dengan baju yang sama tapi dengan penampilan yang sudah agak berantakan, aku membuat segelas susu coklat kesukaanku dan membawanya ke menuju kamar tidurku.
Di depan kamar, aku menyangking tas yang tadi kugeletakkan di situ dan menutup pintu kamarku. Sambil berjalan menuju ranjang, aku meneguk susu coklatku yang masih hangat itu.
“Huh, lumayan ngures tenaga,” kuletakkan gelas berisi susu coklat itu ke atas meja yang ada di sebelah ranjangku. “Tapi seenggaknya aku jadi mudeng sama ajaran dia ke aku. Yah, sebentar lagi aku bakal jadi anak yang membanggakan di bidang akademik! Yes!” Aku mengepalkan telapak tangan kananku di depan wajah.
Aku melirik jam dindingku. Jam 08.25 pagi.
Hari ini seperti biasa, ada jadwal ekstra di kampus. Jadi mungkin aku tidak akan sempat pulang ke rumah untuk mandi, karena aku harus langsung pergi ke rumah─tunggu. Aku hampir lupa kalau Phillip akan menjemputku di rumah. Dan aku belum mengirim alamat rumahku padanya.
Tiffy, you got a text message! Suara hape-ku berbunyi. Ya, aku membuatnya sendiri dengan suaraku dan kuubah dengan software yang ada di laptopku untuk membuatnya seperti suara anak kecil. Dan aku suka itu. Hahah.
Nanti jam 5 tepat aku jemput kamu di rumahmu.
Philip.
“Bisa-bisanya dia bilang gitu? Kan dia belum tahu rumahku,” aku meletakkan hape-ku kembali ke atas meja. “Coba aja kalo kamu bisa nemuin rumahku.” Aku beranjak dari ranjangku dan keluar dari kamar.
“Mama kok nggak tau kamu pulang tadi malem?” suara Mama menghentikan langkahku.
“Iya lah. Orang mama udah tidur semalem,” sahutku.
“Masa? Emang kamu pulang jam berapa?” tanyanya tanpa memandangku karena ia berfokus pada teh yang sedang ia aduk. Itu pasti untuk Papa.
“Aku nyampe disini jam setengah sepuluh, Mah,”
“Malem banget,”
Aku berdecak. “Kan aku belajarnya beneran, Ma sekarang,” sahutku. “Nggak kayak dulu sama bapak itu. Udah bosen, nggak mudeng pula.” Aku menekankan.
Mama tertawa. “Bagus deh kalo anak mama niat belajarnya,” ledeknya.
Aku memanyunkan bibirku. “Yee, itu kan tergantung siapa yang ngajarin aku, Ma. Kalo enak ya aku bisa ngerti pelajarannya,” aku membela diri. “Udah ya ma, aku mau berangkat. Kuliahku mulai jam sembilan.” Aku mencium tangannya.
Kuliah beres hari ini. Jam satu siang, pikiranku membaca jam tanganku.
“Tiffy!” seru seseorang dari arah belakangku.
Aku berpaling.
“Gimana kemarin?” Bu Rini bertanya sambil berjalan mendekatiku.
Aku mengangguk-angguk pelan.
“Maksudnya apa cuman nganggukin kepala?” tanyanya.
Aku menyeringai.
“Tiffy ah. Ditanyain cuman ngangguk, terus nyengir. Maksudnya apa sih?” ia tampak penasaran. Itu memang maksudku. Haha.
“Orangnya ganteng ya bu,” aku memancing emosinya.
“Tiffy,”
“Enak diajak ngobrol lagi,” tambahku.
“Yang penting tuh belajar apa nggak?” Ia sudah terlihat kesal.
“Wah, bu, aku ngabisin waktu hampir tiga jam sama dia cuman untuk belajar!”
Mata Bu Rini membelalak seketika. “Yang bener?” ia tak percaya.
“Hah, Ibu nih, dibilangin malah nggak percaya,” aku mendesis.
“Yah, habisnya ajaib banget gitu lho, Tif,” dia menepuk-nepuk bahuku. Lalu lengan kirinya ia lingkarkan di pinggulku. “Kalo gitu lanjutin ya, Tif. Ibu mau kamu jadi anak yang pinter. Soalnya ibu suka nggak terima kalo temen-temen dosen ibu ngatain kamu tuh cuman modal tenar aja kalo kamu bisa naik tingkat ke semester tiga.”
What? Rasanya hatiku seperti ditusuk panah yang tajam. Ah tidak aku berlebihan. Tapi itu jahat sekali. Mereka berkata seperti itu padaku? Benarkah?
Tapi satu hal yang aku membuatku bersyukur adalah masih ada dosen seperti Bu Rini yang begitu sayang padaku sampai dia mencarikanku seorang pengajar yang bisa mengatasi ketidakpahamanku. Aku baru menyadari hal ini sekarang. Selama ini, di balik ketercerewetannya, dia memiliki hati yang baik sekali padaku. Aku jadi bersalah kalau selama ini aku pernah merasa jengkel karena dia terus memantauku setiap minggu dan memanggilku secara rutin ke ruangannya.
“Bu Rini,” aku memeluknya.
“Heh, heh, jangan disini,” sahutnya. Dia melepaskan dirinya dari pelukanku. “nanti kalo ada Pak Dekan, kita dikira bersekongkol.”
Aku tertawa. “Emangnya kita ngapain bu?” kataku.
“Ya udah, ibu mau lanjut ngajar lagi, kamu pergi deh kemana sana,” kata Bu Rini.
“Wah, wah, ngusir nih ceritanya?”
Dia tertawa. “Iya. Sana,” katanya lalu pergi meninggalkanku.
Dosen tapi kayak temen, thank God I have her, aku bersyukur dalam hati. Dan sekarang aku harus pulang. Aku lebih baik ijin untuk tidak ikut ekstra hari ini. Aku tidak mau merasa capek.
“Tif!” seseorang menahan kakiku untuk menuruni tangga.
Aku berpaling ke arah suara itu. Sierra, anak keturunan Perancis-Kebumen itu. Ya, dia anak yang cantik dan juga pintar. Aku selalu mengambil keuntungan saat bersama dia. Aku belajar banyak tentang fashion saat dia memamerkan apapun yang dia miliki.
“Kenapa?” tanyaku.
“Journalist Press udah nggak bakal ada lagi,” jawabnya. Journalist Press adalah nama Pengembangan Kreativitas Mahasiswa yang aku ikuti dan sering disebut JP.
“Kok bisa?” tanyaku lagi.
Dia mengangkat bahunya. “Yang aku denger ada bentrok antara ketua JP sama salah satu dosen,” ujarnya. “Biar nggak berkepanjangan, JP dibubarin.”
Aku mengangguk-angguk. “Ya udah kalo itu memang jalan yang paling bagus,” kataku santai. Aku memang tidak terlalu suka dengan sistem PKM ini. Itulah kenapa aku merasa tidak nyaman masuk ke PKM ini yang awalnya kukira akan menyenangkan.
“Iya, ya?” Sierra menggigit jari telunjuknya.
“Emang,” sahutku. “Ya udah, Si, aku pulang dulu ya. Bye.”
“Bye,” balasnya.
0 Response to "Imbalance to Perfectly Balance (part 4)"
Posting Komentar