Imbalance to Perfectly Balance (part 11)
Beberapa hari berlalu setelah malam itu. Dan hari ini adalah hari pertama aku akan menjalani ujian akhir semester selama satu minggu ke depan. Aku sudah mempersiapkan segala materi yang akan diujikan dan tentu saja juga mentalku. Aku sudah belajar keras bersama Phillip sebulan ini. Pasti aku bisa!
Trrt trrt. Hapeku bergetar di dalam kantong kanan celana jeansku sebelum aku masuk ke dalam kelas.
Aku berdoa kamu pasti berhasil di ujianmu. Hari ini kamu
General Linguistic kan? Kamu pasti bisa!
God bless ya!
Phillip.
“Heh, kok senyum-senyum sendiri sih?” tanya Bonita saat melihatku tersenyum membaca SMS dari Phillip. Dan ternyata aku tidak sadar aku melakukannya. “Ujian tau. Masuk, masuk.”
Aku menyeringai. “Iya, iya,” sahutku. Aku memasukkan hapeku ke dalam tas dan bergegas masuk ke dalam kelas.
Hari ini berlalu. General Linguistic sudah lepas dari pikiranku. Tapi masih enam hari lagi untuk menyelesaikan ujianku yang lain. Kali ini aku harus membuktikan bahwa aku bisa. Aku harus menyeimbangkan prestasi musikku dengan prestasi akademikku. Aku tidak mau mendengar alasan yang sama akan orang tuaku buat untuk menutupi kelemahanku. Ketidakseimbanganku, dalam tanda kutip maksudnya.
Selama beberapa hari ini tidak ada SMS dari Phillip semenjak SMS-nya yang terakhir itu. Tapi itu bukan sesuatu yang seharusnya ada di pikiranku. Aku hanya akan belajar dan belajar. Aku mempersiapkan banyak sekali hal di ujian akhir ini. Entah kenapa rasanya selalu ada dorongan dalam diriku untuk memberi yang terbaik. Dan memang, aku selalu belajar dengan keras untuk dapat menyelesaikan setiap ujian yang diberikan setiap harinya.
Aku sudah berusaha dengan keras. Aku percayakan semuanya ke Tuhan. Aku tidak tahu hasil akhirnya berapa. Tapi yang aku yakini di dalam hatiku, aku akan mendapatkan hasil yang terbaik, sebaik aku mempersiapkan diriku.
Dan hari ini aku menyelesaikan ujian akhir semester satu. Aku merasa lega aku selesai. Papa, Mama, aku selesai. Aku seneng banget. Aku lega, aku menarik nafas panjang saat aku melangkahkan kakiku keluar dari dalam kelas.
Phillip, aku seneng banget rasanya. Aku bisa selesain ujian
dan aku ngerasa puas banget. :)
Aku menekan tombol send. Aku berharap Phillip juga merasa senang karena usahanya tidak sia-sia. Usahanya mengajar seorang gadis yang kurang baik, em ralat, tidak baik dalam hal teori. Berkat seorang pemuda blasteran yang tadinya tidak mengetahui tipe gadis seperti apa aku, tapi tetap mengajariku.
“Udah hampir setengah jam,” aku melirik jam tanganku, “kok nggak biasanya dia belum bales? Padahal biasanya maksimal dia bales tuh lima belas menitan. Kenapa ya dia?”
Yang ada di otakku sekarang adalah alasan-alasan kenapa Phillip tidak membalas SMSku. Alasan pertama, mungkin dia sedang pergi dan lupa membawa hapenya. Alasan kedua, baterenya habis. Alasan ketiga, dia sedang sibuk. Alasan keempat, apa ya? Aku tidak tahu. Apa lebih baik aku ke rumahnya?
Otakku mengalami dilema. Kalau ternyata dia di rumah dan lagi tidur di waktu ini, dan tiba-tiba aku datang mengganggu tidurnya, itu akan jadi hal yang tidak baik. Apalagi aku ini kan seorang gadis. Masa cewek dateng ke rumah cowok? Nanti dikiranya aku cewek agresif, posesif, ah gengsi aku. Otakku berputar, dan kupaksa pikiranku untuk mengeluarkan sebuah ide brilian. Aha! Bu Rini!
Aku bergegas menuju ke ruang dosen. Aku masuk dan mencari keberadaan Bu Rini. Dan dia sedang duduk sambil mengerjakan sesuatu di atas mejanya dengan serius. Mungkin itu ujian mahasiswa-mahasiswanya. Mungkin juga milikku ada disana.
“Permisi Bu,” aku menyela pekerjaannya. Aku merasa agak tidak enak.
Tangan kanannya berhenti menulis dan kedua matanya ia alihkan kepadaku. “Kenapa Tif? Kamu takut ya nilaimu jelek?” goda Bu Rini.
Aku menggeleng. “Enggak gitu, Bu,” sahutku.
“Terus?”
“Ibu tahu, em─”
“Phillip?”
“Iya,”
“Oh, dia sekeluarga lagi pulang ke Amerika, ke rumah neneknya,” jawab Bu Rini. “She just passed away seminggu lalu.”
Otakku berputar lagi. Jadi itu alasannya kenapa Phillip nggak SMS lagi semenjak minggu lalu?
“Dan mungkin dia bakalan disana sebulan,” lanjutnya. “Itu sih yang Damien ceritain kemarin malem.”
Aku mengangguk-angguk. “Oh gitu ya?” kataku.
“Emang kamu kangen ya sama dia?” godanya. “Ngaku hayo.”
Aku menggeleng-gelengkan kepalaku sambil menggerak-gerakkan kedua tanganku. “Nggak bu,” aku menyangkal. “Nggak gitu bu.” Memangnya aku rindu pada Phillip. Aku tidak merasa seperti itu. Kayaknya sih.
“Masa?” godanya lagi. “Berarti sebulan nggak masalah dong kalo nggak ketemu dia.”
Aku berpikir. Sepertinya bukan masalah. Tapi karena sebulan ini aku selalu bersamanya tiap sore sampai malam, jadi mungkin aku akan menyesuaikan diri lagi untuk tidak bertemu dengannya.
“Iya lah bu,” sahutku. “Ya udah bu. Lanjutin aja kerjaan ibu. Saya mau pulang dulu. Capek.”
Bu Rini tertawa. “Segitu aja capek kamu,” ia menyindir. “Ya udah deh, daripada kerjaan ibu nggak kelar-kelar gara-gara kamu disini. Daa.”
“Daa Ibu,” aku keluar dari ruangannya.
Baiklah. Sebulan tanpa Phillip tiap sore. Itu bukan hal yang besar. Toh dulu tanpa Phillip pun aku baik-baik saja. Aku masih punya orang tua dan teman-temanku yang lainnya yang pastinya bisa bercengkerama denganku.
Di dalam kamarku, aku memandangi gaun dan sepatu yang Phillip hadiahkan kepadaku. Aku ingat malam itu. Aku ingat cara dia memandangku. Aku ingat cara dia mengajariku berdansa. Aku ingat cara dia membelaku dan aku ingat cara dia tertawa. Rasanya aku bahagia sekali malam itu.
Tapi aku tersadar. Aku tersadar bahwa aku sudah memikirkannya secara tidak sadar. Apa yang kurasakan? Aku bahkan tidak berani mengatakan apa yang sedang kurasakan. Kenapa aku bisa memikirkannya seperti itu? Tiffany, sadarlah. Kembalilah seperti semula.
Daripada aku terjaga dan nantinya pikiranku malah berkonsen ke hal-hal yang seharusnya tidak kupikirkan, lebih baik aku tidur sekarang. Besok di pagi hari, aku harus kembali normal. Kembali ke cara berpikir dan cara bersikap Tiffany Harmony Setiawan yang dulu.
0 Response to "Imbalance to Perfectly Balance (part 11)"
Posting Komentar