Halaman

Imbalance to Perfectly Balance (part 8)

“Halo bro,” sapa salah seorang pemuda disana yang menurutku ada salah satu teman lamanya. “Long time no see. How’yu doing?
“Baik, Hen,” Phillip dan temannya saling berjabat tangan.
“Cewekmu, Phil?” tanyanya saat melihatku.
Aku tersenyum padanya.
“Temenku,” jawab Phillip. “Tif, ini Henry, Henry ini Tiffany.” Ia memperkenalkan aku pada temannya.
“Halo,” aku menjabat tangannya. Tapi saat aku akan melepaskan tanganku, rasanya dia tidak mau melepaskan tanganku.
“Hen, nggak usah kayak gitu deh,” sergah Phillip yang tahu bahwa temannya bersikap tidak baik padaku di awal kami bertemu. “Nggak berubah-berubah kamu?”
Nih orang jadi cowok kenapa genit banget? Iih, keluhku dalam hati.
Akhirnya Henry melepaskan tanganku.
“Yuk Tif, kesana,” ajak Phillip. “Udah ya, Hen. Aku kasi salam ke Damien dulu.”
Lalu kami berjalan meninggalkan Henry, teman Phillip yang genit itu berjalan menuju ke tempat pengantin bagian paling depan ruangan.
“Maaf ya, Tiffy,” kata Phillip. “Seharusnya tadi aku nggak ngenalin kamu ke Henry. Kupikir dia udah berubah, tapi ternyata tetep aja suka gitu sama cewek.”
“Nggak papa, Phil,” sahutku. “Asal ada kamu ya nggak bakalan kenapa-kenapa kalo ketemu dia.”
Phillip tertawa kecil. “Bener juga kamu,” katanya.
Kami pun sampai di dekat kedua teman Phillip yang baru saja menikah itu. Dengan wajah yang sumringah, mereka menyambut kedatangannya.
“Wajahmu berubah banyak ya, Phil,” kata mempelai wanita.
“Eh, Sil, udah empat tahun ya mesti ada perubahan dong,” sahut Phillip. “Daripada nih, suamimu yang suka jahil sama aku dulu, nggak pernah berubah-berubah wajahnya. Sama terus. Damien, Damien. Aku tuh sebenernya heran sama kamu. Kenapa bisa nikah sama orang sebaik Silvy.”
Orang yang Phillip sebut Damien itu tertawa. “Emang kamu nggak?” sahutnya. “Buktinya kamu juga akhirnya bawa cewek.” Pandangan matanya menuju padaku.
Phillip berdecak. “Kamu tuh asal aja ngomongnya,” sergahnya.
“Asal gimana? Dia cewekmu kan?” Damien bersikeras. “Iya kan kamu ceweknya?” Ia bertanya padaku.
Aku menggeleng. “Aku temennya,” aku menjawabnya sambil tersenyum.
“Berarti aku ada kesempatan untuk sama dia dong,” seseorang datang dan menepuk punggung Phillip.
“Wey, Hotman Sitompul,” Phillip berpaling lalu berjabat tangan dengannya. Hotman Sitompul, kurasa itu julukannya. Atau mungkin orang tuanya terobsesi dengan pengacara terkenal itu. Ya, mungkin lah, pikirku.
“Gimana? Kenalin dong,” ia menyenggol lengan Phillip.
“Nggak boleh,” sahut Phillip lalu tertawa. “Namanya Tiffany.”
Aku pun menjabat tangan Damien, Sylvi dan orang yang disebut Hotman Sitompul itu.
“Namanya sebenernya Ricky,” kata Phillip. “Hotman Sitompul itu, gara-gara dia gayanya belagak kayak pengacara.”
Tebakanku salah. Tapi aku tertawa saja. Karena memang, yah, julukan itu pantas untuknya.
“Tif, kamu mau nggak jadi pacarku?” tanya Ricky.
Aku tersentak. Dia berjalan mendekatiku. Dan aku hanya menyeringai padanya.
“Aku tanya beneran lho,” lanjutnya.
“Em, gimana ya?” aku tidak sanggup untuk melanjutkan perkataanku. Kenapa dia bisa segitu terang-terangan ngomong gitu ke aku? Aneh. Berani banget ya dia.
Ricky semakin mendekatiku. “Mungkin kita bisa perkenalan dulu, ngobrol sambil minum kopi di kafe deket sini,” ujarnya.
Aku melangkah satu langkah menjauhinya dan lebih dekat kepada Phillip. Kenapa dia menjadi sangat aneh begini? Dia bahkan lebih aneh daripada Henry yang pertama kali kutemui di dekat pintu tadi.
“Ricky,” kata Sylvi ketus. “Kamu tuh terlalu deh. Baru kenal kok gitu?”
“Kan aku juga mau punya cewek,” sahut Ricky cuek. “Lagian Tiffany bukan ceweknya Phillip. Sah-sah aja dong aku deketin dia.”
“Yee, nggak gitu juga kali caranya,” sergah Damien.
Phillip pun menarikku ke sebelah kanannya, dan dia berdiri di antara aku dan Ricky. “Sekarang, nggak ada yang boleh gangguin Tiffany,” katanya dengan nada yang agak tinggi. “Termasuk kamu, Rick.”
“Kan, dia bukan cewekmu,” kata Ricky lagi. “Makanya aku mau jadiin dia cewekku.”
Aku memicingkan mataku. Wah, nakutin nih orang, pikirku dalam hati.
“Ya udah, mulai sekarang dia cewekku,” sahut Phillip.
Aku tersentak. Dan kurasa, Damien dan Sylvi juga merasa terkejut atas perkataannya.
“Jadi nggak ada yang bisa ganggu cewekku, ato berusaha deketin cewekku. Ngerti kamu?” ia menegaskan. “Ayo pergi, Tif.” Ia menggandeng tanganku menuju ke sudut ruangan dan duduk di sofa yang ada disana.
Ia tampak begitu kesal. Ia menyilangkan kedua tangannya di dada. Pandangan matanya terarah menuju ke satu titik tertentu, seolah ia tidak peduli apapun di sekitarnya.
“Phillip, sebenernya aku nggak papa kok,” kataku. “Kamu nggak perlu semarah itu kok sama Ricky.”
Phillip hanya diam.
Aku menarik nafas dalam. “Aku tuh fine-fine aja. Orang kayak Henry ato Ricky tuh bisa diatasi dengan cara yang gampang kok,” kataku. “Nggak perlu kesel. Kamu kan ngabisin energi sendiri. Malah kamu jadinya nyebutin kata-kata yang asal keluar kan dari mulutmu? Aku tahu tadi kamu sebut aku cewekmu biar si Ricky nggak gangguin aku lagi. Jadi kamu nggak usah kuatirin aku.”
Dia tetap diam.
“Kamu masih marah ya?” aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Lalu aku berdiri dan berjalan pergi. Aku tidak tahu apakah tadi Phillip berusaha mencegahku pergi atau tidak, atau bahkan sekedar melihatku melangkah pergi, tapi aku tidak menoleh ke belakang. Aku terus berjalan menuju ke panggung dimana MC dan pemain musik ada.
Setelah aku berbicara dengan mereka, aku berdiri dengan microphone di tanganku di depan seluruh orang yang hadir di tempat itu.
“Selamat malam semuanya,” aku menyapa. “Pertama saya ingin mengucapkan selamat menempuh hidup baru untuk Damien dan Sylvi yang baru saja menikah. Dan saya ingin menyanyikan sebuah lagu ciptaan saya sendiri, khusus untuk mereka, dan seorang teman saya yang sudah mengajak saya ke tempat ini.”
Lalu aku duduk di depan piano klasik yang ada di tempat itu dan memasang microphone  ke stand mic yang ada di atas piano itu.
Aku mulai memainkan musik intro-nya dengan aransemen yang kubuat sendiri dan mulai bernyanyi.

♫ ♫
When I open up my eyes
All that I could see is you
When I open up my ears
All that could hear is your voice ♫

And when I open my mind to think ♫
All that I could imagine is you
And when I open up my mouth
I will sing a hymn of love about you ♫

It’s you, it’s only You
The reason that I live
It’s You, only with You my love
I wanna spend the rest of my life
Cause I believe You Are My Destiny ♫

You are my destiny,” aku menyelesaikan nyanyianku.
Tepuk tangan pun terdengar riuh sekali di tempat itu. Bahkan aku mendapatkan standing ovation. Wow! Rasanya aku senang sekali.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "Imbalance to Perfectly Balance (part 8)"

Banner Exchange

Neng Hepi Blog, Banner