Imbalance to Perfectly Balance (part 3)
Phillip mengambil sebuah buku dari bawah meja tamu. Sepertinya ia memang sudah merencanakannya sehingga semuanya terlihat sudah sangat dipersiapkan. Satu buku tapi tebal. Wow. Ia pikir aku bisa menyelesaikan satu buku itu dengan cepat?
Rasanya aku ingin mundur melihat buku itu. Tapi aku harus menolak keinginan burukku ini. Aku harus maju. Ya, aku harus maju.
Phillip membuka buku itu. Halaman pertama. Dan itu baru awal bagiku untuk menyelesaikan beratus-ratus halaman setelahnya. Oh God, urgently need help!
“Kupikir, kemampuanmu untuk berbahasa Inggris sempurna,” kata Phillip. “Seharusnya kamu juga bisa dapet nilai bagus dong.”
Tiffany tertawa kecil. “Aku juga nggak tau kenapa,” aku mengangkat kedua telapak tanganku setengah tiang. “Kalau disuruh ngafalin, aku buruk deh.”
“Kalo gitu aku nggak akan ngajarin kamu,”
Aku agak terkejut mendengar perkataannya. “Kenapa?” sergahku. “Aku udah bikin kamu males ya?”
Dia menggeleng. “Aku maunya cerita sama kamu,” ia menyilangkan kedua lengannya di depan dada.
Aku memicingkan mataku. Mengisyaratkannya untuk memberitahuku lebih lanjut apa yang ia maksud.
“Itu caraku untuk bikin kamu ngerti isi dari buku setebel ini,”
“Ah, I see,” aku mengangguk-angguk. But wait. “Kamu mau ceritain ke aku seluruh isi buku ini, berarti kamu udah baca seluruhnya dan hafal?”
“Kind of,” sahutnya ringan.
Gubrak! Buku setebal ini bisa dia makan, em, maksudku dia hafalin? None sense. Apa benar dia melakukannya? Berarti orang yang sedang duduk di depanku adalah orang jenius? Tepatnya pemuda blasteran ganteng yang jenius. Oh-Em-Ji!
Tiba-tiba Phillip tertawa terbahak-bahak. “Wajahmu beneran deh lucu banget diliat,” katanya seperti tidak bisa menahan tawanya.
Aku menggaruk-garuk kepalaku. Sepertinya aku tidak sadar bahwa aku telah memunculkan mimik wajah yang aneh. Aku pun menarik nafas dalam. Kena lagi deh aku. Dia mengerjaiku lagi. Bisa-bisanya dia mengerjaiku untuk kedua kalinya dan aku tidak cepat mengerti.
“Aku bercanda, Tiffy,”
Aku tersenyum simpul. Mataku sejenak berputar ke sekeliling ruangan itu dan kemudian kukembalikan pandanganku padanya.
“Ya, ya. Kamu berhasil,” aku memanyunkan bibirku. Yah, setidaknya aku tidak lagi menemui pengajar tua seperti sebelumnya dan akhirnya berakibat buruk bagiku dan baginya. Dampak buruk bagi pengajar privatku adalah dia mengalami stress yang berkepanjangan, mungkin sih, karena aku benar-benar tidak paham apa yang ia ajarkan padaku. Sedangkan dampak buruk bagiku, aku tetap dapat nilai jelek di kampus. Sebenarnya itu bukan dampak buruk. Tapi itu memang tidak ada pengaruhnya bagi nilai akademikku.
“Maaf,” kata Phillip. Dia menyeringai, seperti berharap aku tidak marah padanya.
“Tenang aja, Phil. Aku nggak marah kok,” aku tertawa kecil.
“Beneran?”
Aku mengangguk.
“Tapi kamu nggak seceria tadi,”
Aku mendesis. “Hey, aku kesini untuk belajar, bukan untuk dikerjain,” aku menaikkan nada suaraku. Aku berpura-pura kesal padanya. “Aku tidak tahu apa aku harus bayar kamu kalo kamu kerjaannya bukan ngajarin aku tapi ngerjain aku.”
Phillip pun terdiam sambil menggigit bibir bawahnya.
“Kena deh,” aku tertawa puas. Akhirnya aku bisa mengerjaimu!
Dia pun ikut tertawa. “Ya, kamu berhasil,” katanya.
“Oh, iya dong. Pasti,”
“Oke, perkenalan kita selesai,” katanya. Ia menyodorkan buku tebal itu padaku. “Sekarang kita belajar.”
Aku menghentikan tawaku seketika. Aku menarik nafas dalam lagi. Baiklah prajurit, bersiaplah karena pertempuran sudah dimulai.
“Jam berapa sekarang?” Phillip mengajukan pertanyaan padaku yang kurasa tidak sesuai dengan perkataannya barusan untuk memulai pembelajaran.
Aku melirik jam tanganku. “Enam tepat,” jawabku.
“Itu tadi, contoh dari Langue,” katanya.
Loh? Dia ternyata dia bener-bener udah mulai ngajarin aku?
“Kalo semisal pertanyaan yang sama itu dateng dari mamamu karena kamu pulang kemaleman, artinya mesti beda,” lanjutnya.
“Ya, pasti maksud mama kok pulang kemaleman? Bukan bener-bener tanya jam,” tambahku.
Phillip menjentikkan jarinya. “Itu dia contoh dari Parole,” katanya. “Jadi Langue itu bahasa yang umum yang nggak punya arti tertentu, tapi kalo Parole bahasa yang punya banyak arti khusus. Kayak yang barusan kamu bilang tadi.”
Oh, aku mengerti! Wow, ini nggak sesulit yang aku bayangkan. Cepat sekali dia membuatku mengerti. Ya, ya. Kurasa aku ingin tahu lebih dalam lagi tentang General Lingustics. Mujizat!
Kemudian Phillip mengajariku lebih banyak lagi hal yang seharusnya sudah aku mengerti dari dulu semenjak aku menginjak semester satu. Dan aku benar-benar tidak merasa bahwa aku sudah menyelesaikan tiga bab dalam waktu kurang dari tiga jam! Entah dia yang hebat atau aku semakin pintar, emm, baiklah aku ralat, dia yang hebat mengajariku, tapi aku benar-benar merasa senang aku mengerti.
“Oke deh, kupikir hari ini cukup,” kata Phillip.
Aku mengangguk. “Aku seneng ternyata aku bisa,” kataku riang. “Aku belum pernah bayangin kalo aku bisa habisin tiga bab.”
Phillip tersenyum.
“Udah malem. Aku harus pulang sekarang,” aku beranjak dari sofa dan berdiri.
“Kamu pulang naik apa? Sama siapa?” tanyanya dengan terperinci.
“Sepeda motor, sendiri,”
“Aku temenin kamu pulang ke rumah kalo gitu,” sahut Phillip setelah mendengar pernyataanku.
“Jangan, nggak usah,” aku mencegahnya. “Aku biasa sendirian kok. Tenang aja. Aku bakalan baik-baik aja.”
“Tapi ini kan udah jam setengah sembilan,” dia masih bersikeras.
“Phillip, aku udah hampir dua puluh tahun ya. Aku bisa jaga diri,” aku juga bersikeras. Dia sepertinya benar-benar tidak mempercayaiku. Atau dia memang peduli padaku? Kenapa pikiranku negatif sekali padanya? Em, aku tidak tahu.
“Oke, sekali ini kamu boleh sendirian,” katanya, “tapi besok mending aku yang ke rumahmu.”
Aku menggeleng. “Itu kan nggak etis. Yang butuh aku, ya yang dateng aku lah,” sahutku.
“Kalo gitu aku jemput kamu di rumahmu,”
Aku menarik nafas dalam. Orang ini benar-benar keras kepala. “Kamu nih,” aku mendesis.
“jadi aku minta nomor hapemu,” lanjutnya.
Aku mengambil hape-ku dan mengirimkan nomorku ke nomornya yang sudah kusimpan di dalam hape-ku. “Udah masuk?” tanyaku.
“Oh, kamu kirim ke nomorku langsung?” tanyanya balik. “Kamu udah nyimpen nomor hapeku ya?”
Aku mengangguk. “Ayo anterin aku keluar rumahmu,” pintaku. “Jangan terlalu lama nahan aku disini.”
Dia menyeringai. Lalu berjalan mendahuluiku dan membuka pintu depan rumahnya untukku.
“Sampai ketemu besok,” kataku.
0 Response to "Imbalance to Perfectly Balance (part 3)"
Posting Komentar