Imbalance to Perfectly Balance (part 2)
Sore ini aku mengendarai sepeda motorku menuju alamat rumah yang tertera di kartu nama itu. Dengan cepat aku melaju kesana. Dan rupanya tidak sulit untuk mencari alamat ini karena letaknya di dekat jalan raya.
Aku memarkirkan sepeda motorku di depan halaman rumah itu. Saat kubuka helmku, pemandangan rumah yang begitu menyilaukan mata, maksudku bukan dalam arti sebenarnya, rumah ini begitu besar. Bagus banget deh beneran.
“Pak Phillip nih orang kaya apa ya?” aku berdecak kagum. Tapi tiba-tiba kekagumanku seolah sirna layaknya sinar matahari yang menghilang ketika malam tiba. Aku teringat bahwa aku datang ke rumahnya untuk belajar.
Aku berjalan dengan lemas menuju ke pintu rumah itu. Aku menekan bel dan menunggu di depan pintu.
Pintu terbuka dan seorang yang benar-benar bule muncul di depanku. Ia tersenyum. Pria tua dan berperawakan tinggi. Oh, tubuhku benar-benar tenggelam dibuatnya.
“Mr. Phillip Montgomery?” aku memastikan.
Pria itu menggelengkan kepalanya.
Aku pun menaikkan alisnya. “I’m sorry, I must be mistaken. It’s not Mr. Montgomery house, right?” aku merasa agak bersalah. Sepertinya aku terlalu percaya diri di awal tadi.
“Yes, this is my house. True,” sahutnya. “But it’s Don. My name is Don Montgomery.”
Aduh makin nggak ngerti deh aku, pikirku dalam hati. Terus sebenernya aku salah apa bener ya? Beneran ini rumahnya ato enggak ya?
“Phillip itu anakku,” kata pria itu dengan aksen yang tidak terlalu fasih berbahasa Indonesia.
“Oh begitu,” aku mengangguk-angguk. Aku merasa lega. Setidaknya aku datang ke rumah yang benar. Walaupun ujungnya nanti aku akan belajar. Oh tidak.
“Mari masuk ke dalam rumahku,” ia membuka pintu rumahnya lebih lebar dan membiarkanku masuk.
Well, ya rumah ini besar. Sangat elegan. Ah tidak, tidak. Aku tidak bisa memikirkan hal itu. Aku kesini adalah untuk belajar.
“Kau duduk disini, aku akan panggilkan anakku,” kata pria itu lalu pergi meninggalkanku dan berjalan menaiki tangga yang tepat berada di sebelah kananku.
Belum sempat aku mengucapkan terima kasih padanya. Kenapa bapak itu cepet-cepet pergi ya? Baiklah. Aku duduk saja di sofa berwarna coklat muda yang kelihatannya sangat nyaman ini.
Otakku berputar. Apa yang akan kupelajari hari ini? Oh, General Lingustics! Satu pelajaran teori yang sangat berat bagiku. Ah tidak, tidak. Aku tidak boleh membiarkan pikiranku mengalami dilema yang berat. Aku putuskan sore ini aku akan belajar dengan giat. Aku bakal ngalahin kamu, hei kemalasan.
Mataku menelusuri setiap sudut ruangan itu. Berbagai barang etnik Indonesia ada disitu. Mulai yang tergantung di dinding dan yang menghiasi meja di ruang tamu yang cukup besar ini. Sepertinya ukurannya dua kali ukuran kamar tidurku. Oh, aku akan merasa sangat bahagia bila aku memiliki kamar seukuran ini. Tapi kalau ruang tamunya sebesar ini, bagaimana dengan kamar tidurnya? Pasti lebih besar dari ini. Oh, enak sekali sepertinya.
“Hai, apa kamu terlalu lama menunggu?” sebuah suara datang dari sebelah kananku dan berhasil membuyarkan pikiranku yang sudah melayang jauh sekali.
Mataku agak terbelalak. Baiklah, aku jujur, sangat terbelalak saat melihat ─ orang itu pasti Phillip Montgomery ─ dia berjalan mendekatiku.
Aku berdiri. “Enggak kok. Kamu pasti Phillip?” aku mencoba memastikan.
“Bukan,”
“Bukan?” Aduh, siapa lagi ini? pikirku.
Ia tertawa. “Ya, aku Phillip,” sahutnya. “Silakan duduk.”
Sambil duduk aku tersenyum padanya. Tersenyum aneh mungkin, karena aku sepertinya berhasil diperdayanya untuk pertama kali. Setidaknya, pencarianku telah berakhir sekarang. Orang yang kucari sudah ada di depanku. Dia ganteng, tapi tetap saja, pelajaran teori mengalahkan kegantengannya.
“Kamu mau minum apa?” tanya pemuda yang sepertinya blasteran itu.
“Air putih cukup,”
“Gimana kalo teh atau sirup?”
Aku menggeleng. “Aku lebih suka air putih kok,” jawabku.
“Oke deh,” katanya. Dan tiba-tiba bak di dalam film wanita paruh baya yang sepertinya adalah seorang pembantu rumah tangga datang ke hadapannya tanpa dipanggil. “Mbak, minta tolong ambilin air putih buat temenku ya.”
“Baik, tuan,” kata wanita itu. Lalu pergi.
Phillip mengalihkan pandangannya kembali kepadaku. “Bu Rini udah telepon aku tentang kamu,” ia memulai percakapan lebih dalam.
Aduh, gimana ini? Mesti aku bakalan dinilai buruk banget sama Phillip. Mesti Bu Rini udah cerita tentang keadaanku.
“Ya, kamu pasti udah tau kan alasan kenapa aku dateng kesini?”
Dia mengangguk. “Kamu kan butuh bantuan belajar English Theory kan?” katanya.
“Aku yakin kamu tau lebih dari itu,” aku memutuskan ingin jujur padanya. Mungkin ini akan membuatku lebih mudah untuk bangkit dari keterpurukanku dalam nilai-nilai teoriku.
“Lebih dari itu, apa ya?” ia mengerutkan dahinya. “Bu Rini cuman bilang kalo kamu butuh bantuan dalam belajar aja.”
“Baiklah,” sepertinya Phillip memang belum tahu. “Nilai-nilai teoriku jelek banget di kampus. Dan kalo aku nggak berhasil, aku harus mengulang semester satu lagi. Itulah kenapa Bu Rini kirim aku kesini.”
Wanita paruh baya itu datang lagi dan membawakan segelas air putih, sesuai permintaanku dan meletakkannya di atas meja.
“Makasi, Bi Lina,” kata Phillip padanya. Sepertinya ia sangat menghormati wanita itu. Mungkin itu juga yang dilakukannya kepada orang lain. Kalau pembantu saja dihormati, pasti orang lain juga ia akan hormati. Great. Aku terkesan.
“Makasi, Bi” kataku juga.
“Oh iya, sebenernya aku belum tahu namamu,” kata Phillip.
“Tiffany Harmony,” aku mengulurkan tanganku dan ia menjabatnya. “Panggil Tiffy aja tapi.”
“Namamu bagus. Kamu suka main musik ya?”
Aku mengangguk.
“Main instrumen atau nyanyi?”
“Aku main gitar dan nyanyi juga,”
“Wow,” ia tampak terkesan. “Oh, aku inget. Aku baca majalah kemarin dan aku kayaknya baca satu artikel yang meliput kamu. Kamu bilang ‘Jangan buang waktu untuk hal yang sia-sia, tapi gunakan setiap kesempatan yang ada untuk mencapai cita-cita’. Aku suka itu.”
Dan wow juga, aku merasa senang karenanya. Aku tersenyum.
“Tapi sama sekali nggak seimbang sama akademikku,” aku menghela nafas dalam. “That’s why I ended up here.”
“Nope, you’ll start from here,” kata-kata Phillip membuatku bangkit. Wow. Aku nggak pernah ngerasa kalo aku bakalan bisa bener-bener pengen bangkit kayak gini sebelumnya.
“Hopefully,” aku tersenyum padanya.
0 Response to "Imbalance to Perfectly Balance (part 2)"
Posting Komentar