Halaman

Imbalance to Perfectly Balance (part 5)

Aku membaringkan tubuhku di atas ranjang. Lumayan untuk hari ini. Aku mau istirahat sebentar.
Tiffy, you got a text message! Suara hape-ku tiba-tiba berbunyi.


Tiffy, kenapa belum SMS-in alamat rumahmu?
Philip.


Dengan mata yang masih agak mengantuk aku membaca SMS itu. Dengan mata tertutup aku membalas pesannya.


Itu kan salahmu, kenapa nggak tanya?
Jl. Melati 15, Greenwood.


Aku tertidur lagi. Tapi tidak lama hape-ku berbunyi lagi.
“Kenapa lagi dia?” perlahan aku membuka kedua mataku.


Aku kesana sekarang.
Philip.


“Hah?” dengan seketika mataku terbuka dengan lebar. “Jam berapa ini?” Aku melirik jam tanganku yang belum sempat kulepas tadi. Jam 16.36!
Aku harus bersiap-siap sekarang sebelum dia datang. Dengan cepat aku mengambil baju ke dalam kamar mandi dan membersihkan diriku.
Aku melirik jam dinding. Dan sekarang jam 16.59! Oh no!
Seolah tanpa jeda aku langsung mendandani wajahku dengan sedikit bedak dan lipgloss. Aku berdiri di depan kaca dan membetulkan kaosku yang agak tidak rapi di bagian pinggangku.
Tok, tok, tok! Pintu kamarku diketuk. Mungkin itu Mama atau Mbak Sun yang mau memberitahuku bahwa Phillip sudah datang.
“Oh, Mbak Sundari,” aku keluar dari kamarku.
“Ada yang nyariin nonik tuh di luar,” sahutnya. “Namanya Pilip apa Polip gitu, Non.”
Aku tertawa. Dia selalu begitu. Tidak bisa menyebutkan nama dengan benar. “Nyebutnya yang bener Filip, Mbak,” kataku. Aku melangkah dengan segera ke ruang tamu yang jaraknya hanya beberapa langkah saja dari kamarku.
“Non, non, tunggu,” Mbak Sun memanggil.
Aku berpaling padanya. “Apaan?” tanyaku.
“Itu,” dia menunjuk.
“Apaan sih?” aku menaikkan alisku.
“Anduknya masih di kepala non,” jawabnya.
Hah? Aku berpaling ke ruang tamu. Ada Phillip disana. Dan dia sedang memandangku sambil menahan tawanya.
“Oh, ini gaya baru yang diajarin sama temen kampusku,” aku menyeringai. “Mode 2012.” Lalu melepas handuk itu dari kepalaku.
Phillip mengangguk-angguk. Masih menahan tawanya.
I’ll be right back,” aku berpaling darinya dan pergi ke balik tembok.
Aku mengambil sisir dari dalam tasku dan merapikan rambutku dengan cepat. Lalu aku kembali lagi ke ruang tamu.
“Biar aku tebak. Kamu nggak suka sama mode itu ya?” tanya Phillip saat melihatku menundukkan kepala.
Kind of,” aku menyeringai.
“Oke deh, kita berangkat sekarang,” ia beranjak dari sofa dan berdiri.
Kami keluar dari dalam rumahku menuju ke mobilnya. Ferarri hitam. WOW. Menakjubkan! Tidak perlu lagi untuk menyelidiki apapun dari dirinya untuk membuktikan bahwa dia adalah orang yang berada. Tapi itu bukan alasan bagiku untuk mau belajar bersamanya. Aku bukan gadis yang materialistis.
“Aku memang rada nyentrik gitu kok, jangan heran,” aku membuka mulutku karena sudah hampir tiga kilometer Phillip masih tertawa. “Kamu harus kebiasa sama aku.”
“Maaf, aku nggak maksud gitu,” dia berusaha menahan tawanya.
“Nyetir ati-ati, jangan ketawa terus ya,” kataku kesal.
“Maaf,” katanya lagi.
Aku mendesis. “Iya, iya. Nggak papa,” sahutku. “Tapi jangan ketawa lagi. Aku kan jadi malu tau.”
“Nggak kok, aku udah selesai ketawanya,” katanya. Dan ya, dia benar-benar sudah tidak tertawa lagi.
Untuk beberapa saat kami diam sejenak. Tapi akhirnya Phillip angkat bicara.
“Kamu kecapekan?” tanyanya.
“Ya,”
“Seharusnya kamu SMS aku kalo kamu emang mau istirahat dulu,” kata Phillip. “Aku kan bisa nunggu.”
“Nggak lah. Emangnya aku siapamu? Baru aja kita kenal kok aku berani-beraninya gitu sama kamu?”
“Bukan gitu,” Phillip menoleh padaku.
“Liat depan,” aku mengingatkannya.
“Ya, sejak kita bakalan ketemu terus tiap hari, udah seharusnya kita bisa jadi temen dan kamu nggak perlu terlalu sungkan sama aku,”
Aku tidak membalas perkataannya. Aku menunggu apa yang akan dia katakan lagi kepadaku.
“Tif,” dia menoleh lagi.
“Liat depan, kamu lagi nyetir,” aku mengingatkannya lagi.
“Kamu masih kesel ya tadi aku ngetawain kamu?” tanyanya dengan nada bersalah.
Aku terkejut. Apa aku sudah membuatnya berpikir seperti itu? Aduh, aku udah salah nih sama dia. Tidak seharusnya aku diam. Dia ternyata sensitif sekali.
Aku memiringkan arah badanku kepadanya. “Nggak kok, nggak,” kataku. “Aduh, aku nggak maksud bikin kamu mikir kayak gitu.”
“Oke deh, that’s better,” sahutnya. “Aku jadi lega. Kukira kamu marah beneran.”
Aku menyeringai. “Maaf ya Phillip, aku nggak bermaksud kayak gitu,” kataku. “Aku cuman kadang kesel aja ternyata aku tuh ceroboh banget. Padahal jelas-jelas aku ngaca dulu tadi sebelum keluar dari kamar. Eh ternyata nggak ngeliat ternyata anduk masih nempel di kepala.”
“Kadang-kadang aku juga ceroboh kali,” ujarnya. “That’s human nature.
Aku tersenyum. Aku mengubah posisi badanku kembali ke arah depan. Aku merasa senang atas perkataannya barusan. Itu sangat menghiburku.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "Imbalance to Perfectly Balance (part 5)"

Banner Exchange

Neng Hepi Blog, Banner