Pacarku Superstar (Chapter 4)
Esoknya, Georgie mengajak Tim untuk mencari informasi tentang pemuda yang mereka idolakan. Liburan musim panas kali ini kelihatannya akan mereka habiskan untuk melakukan satu hal saja. Mencari informasi tentang Ben O’Donnell.
Dengan segala daya dan upaya, Georgie “menggeledah pikiran” setiap orang yang Georgie kenal. Bahkan mereka menanyai semua teman-teman sekelas Ben O’Donnell. Dan rupanya pikiran mereka salah mengenai berapa lama mereka akan dapat mendapatkan informasi lengkap mengenai pemuda yang sedang mereka cari itu. Setelah seharian penuh berkeliling, mereka akhirnya mendapatkan apa yang mereka cari.
“Hei Georgie, apa rasanya tidak cukup aneh kalau kita mendapatkan informasi tentang Ben secepat dan semudah ini?” tanya Tim yang terheran-heran akan sikapnya yang sudah berbalik 180 derajat dari sikapnya yang normal, semenjak ia tahu akan Ben.
Georgie hanya tersenyum kecil. “Iya sih. Selama ini aku mencari susah sekali. Tapi sekali aku mencari bersamamu segalanya tampak mudah sekali,” kata Georgie. “Mmmh, tapi itu mungkin saja karena Ben adalah pendatang baru, jadi belum banyak paparazzi yang akan membuatnya menarik diri dari incaran infotainment.”
Tim merasa sangat gembira karena telah mendapatkan apa yang ia inginkan. Ia akhirnya merasakan apa yang selama ini teman-teman perempuannya rasakan. JATUH CINTA. Dan yang karenanya Tim dapat melakukan hal-hal gila sekalipun.
Tiba-tiba, mata Tim tertuju kepada secarik kertas yang bertuliskan nomor ponsel Ben. Ia ingin mendengar suara orang yang ia idolakan itu barang sesaat. Ia berpikir apaka ia akan memberitahu Georgie tentang ini, tapi ia mengurungkan niatnya. Lalu ia pun mengambil ponselnya dan menekan tombol-tombol ponselnya sesuai dengan nomor yang tertera pada kertas itu.
“Halo?” sebuah suara terdengar dari seberang.
Tim terdiam sejenak. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan selanjutnya. Hatinya terlalu berbunga-bunga mendengar suara itu.
“Halo?” suara itu terdengar lagi untuk kedua kalinya.
Tim pun terjaga. “Hei! Halo Ben! Aku hanya ingin bertanya apakah besok kita bisa belajar bersama di rumahmu untuk mengerjakan tugas dari Bu Tracy?” sahut Tim spontan. Sungguh ia tak menyangka akan mengeluarkan kata-kata itu dari mulutnya, ditambah dengan nama guru yang benar-benar dikarangnya
“Maaf, tapi kurasa kau salah orang,”
“Salah orang? Kau Benjamin Campbell, kan ?” sahut Tim menutup-nutupi sambil berpikir apa yang harus ia katakan selanjutnya.
“Ya, kau salah orang,” kata Ben. “Aku Benjamin O’Donnell, bukan Benjamin Campbell.”
“Oh, aku salah, ya? Maafkan aku kalau begitu, temanku rupanya memberikan nomor yang salah,” kata Tim yang kemudian memutuskan koneksi.
Tim langsung menjatuhkan tubuhnya di ranjang.
“Apakah aku sudah kehilangan akalku? Masa aku telpon orang yang bahkan belum kukenal dengan alas an belajar bersama?” Tim memukul-mukul kepalanya sendiri dengan telapak tangannya. “Seorang artis lagi! Aku ni bener-bener udah nglakuin hal yang malu-maluin. Malu-maluin banget!”
Tim menarik nafas dalam-dalam. Ia berusaha menenangkan dirinya untuk mengembalikan dirinya kembali ke sifatnya yang normal, seperti dulu, dimana ia berlaku acuh tak acuh mengenai lawan jenisnya.
“Aku nggak boleh kayak gini!” kata Tim pada dirinya sendiri. ”Aku harus focus ke pertandingan baseball-ku bukan Ben O’Donnell! Aku harus kembali ke kepribadianku semula!”
Ketika Tim mulai dapat mengendalikan pikirannya untuk tidak memikirkan Ben lagi, ponselnya tiba-tiba berdering. Sebuah nomor tak dikenal muncul pada layar ponselnya.
Tim menekan tombol “answer” pada ponselnya. “Halo? Disini Tim. Siapa ini?” sahutnya.
“Hai, aku orang yang barusan kau telepon,”
Dug! Jantung Tim serasa ditimpa sebongkah batu besar. Itu Ben O’Donnell. Rupanya ia lupa menyimpan nomor ponselnya.
“Oh, kau,” kata Tim. “Aku sungguh-sungguh minta maaf atas kejadian sebelumnya.”
“Jangan kuatir mengenai hal itu. Aku tidak akan menuntutmu atau lain sebagainya,” kata Ben. “Tapi, bisakah kita bertemu?”
“Apa? Bertemu? Kita bahkan belum pernah bertemu. Apa kau tidak salah bicara?” tanya Tim yang masih merasa cukup kuatir jika Ben akan menyalahkan perbuatannya.
“Aku tidak salah bicara,” sahut Ben cepat. “Aku hanya butuh teman bicara. Aku sedang berada di rumah sendirian malam ini. Jadi aku mau mengajakmu pergi ke Dixie Lantz. Mau?”
Tim diam sejenak. “Baiklah,” jawabnya,
“Kutunggu kau disana, ya,” kata Ben yang kemudian memutuskan koneksi.
Dengan terputusnya koneksi itu, ia langsung berlari menuju kamar Papa dan Mamanya.
“Papa! Mama!” teriak Tim.
“Sssh! Jangan teriak-teriak dong, sayang! Nanti orang-orang serumah bisa keganggu sama suaramu yang gede itu,” kata Mama saat melihat Tim muncul di pintu kamarnya.
Tim pun menutup mulutnya dengan kedua tangannya.
“Ada apa sih, Tim?” tanya Papa yang kelihatan sangat penasaran atas tingkah Tim yang tidak seperti biasanya.
Tim berdehem. “Tapi janji,” katanya, “Papa sama Mama nggak boleh kaget, oke?”
“Memangnya apa kok bisa sampe buat Papa sama Mama kaget?” sahut Mama cepat.
Tim berdecak. “Mama, janji dulu,” ia mendesak.
“Iya, iya, janji,” kata Papa dan Mama hampir bersamaan.
Tim berdehem lagi. “Aku-diajak-sama-artis-Holywood―” ia mengatakannya perlahan-lahan, “yang baru naik daun-untuk pergi-ke-Dixie Lantz!” Lalu melompat riang.
“Yang bener?” tanya Mama yang rupanya sangat terkejut dan ikut bersorak riang.
Papa mencibir, ”Yakin tuh, bukan artis jadi-jadian?” sergah Papa.
”Hih, Papa!” kata Mama ketus sambil berpaling kepada Papa. ”Anaknya lagi seneng kok dibilang kayak gitu sih?” lalu memandang Tim. ”Udah Timmy, sekarang kamu ganti baju. Mama mintain salah satu supir untuk anterin kamu kesana deh. Oke?”
Tim tersenyum lebar. ”Sip deh, Ma,” katanya.
0 Response to "Pacarku Superstar (Chapter 4)"
Posting Komentar