Pacarku Superstar (Chapter 5)
Di tengah jalan, ponsel Tim berdering.
“Untuk mengenaliku, aku memakai baju putih berkotak-kotak hitam dengan celana jeans biru. Kutunggu kau di depan gerbang Dixie Lantz. Ben O’Donell,” itulah kata-kata yang tertera dalam sebuah SMS yang ia terima dari Ben.
Tim pun memberikan pesan singkat kepada Ben mengenai ciri-cirinya.
Di pintu gerbang masuk Dixie Lantz yang penuh dengan kerumunan orang, ia mulai mencari pemuda yang baru saja menyentuh hatinya.
“Baju putih kotak-kotak hitam, jeans biru. Mana ya?” Tim menoleh kanan dan kiri. Matanya menjelajah setiap sudut.
Dan tiba-tiba, sebuah telapak tangan jatuh di bahu kanan Tim. “Jaket jeans, baju biru, celana jeans hitam,”
Tim pun berbalik. ”Ben ya?” katanya terkejut, saat melihat orang yang pernah dilihatnya di sebuah klip video, sekarang ada di dekatnya. Sangat dekat.
”Well, it’s me,” kata Ben. ”Ayo kita duduk dulu sebentar.”
Ben dan Tim pun mencari bangku terdekat dan duduk disana.
”Kau belum memperkenalkan dirimu,” kata Ben.
Tim menyodorkan tangan kanannya. ”Aku Tim. Tim Marshal,” mereka saling berjabat tangan.
”Tim? Timberly?”
Tim mengangguk. ”Tapi aku jarang sekali menggunakan nama itu,”
”I see,” sahut Ben. ”Dari penampilanmu, kau ini tomboy sekali.”
Tim menyeringai
”Kalau menurut pemandanganku, kau bukan dari sini,” tebak Ben.
”Ah, benar sekali,” sahut Tim cepat. ”Aku tinggal di Indonesia.”
”Berarti telepon yang tadi itu hanya sebuah trik kan?”
Ups! Tim tak seharusnya menyebutkan daerah asalnya, yang jelas sekali tidak menunjukkan bahwa ia orang di Amerika. Ia telah membuka rahasianya sendiri tanpa sengaja.
”Tidak mungkin kan orang yang tidak tinggal di tempat ini bertanya mengenai pekerjaan sekolah kepada orang yang tinggal disini?” tanpa basa-basi, Ben langsung membuka kedok Tim.
Dengan tidak tanggung-tanggung, bibir Tim terkunci rapat, seolah tak bisa dibuka lagi. Ia benar-benar merasa bersalah akan apa yang telah ia perbuat pada Ben.
”Tebakanku benar, ya?”
Tim menghela nafas panjang. ”Oke, aku mengaku aku bersalah,” ia pun beranjak dari kursinya dan berdiri. ”Aku benar-benar minta maaf karenanya. Kalau aku boleh mengatakan yang sejujurnya, aku tidak menyangka bahwa aku akan melakukan hal gila itu. Sebenarnya, aku adalah orang yang sangat cuek terhadap lawan jenisku. Jadi kau bisa percaya bahwa aku tidak mungkin merencanakan hal gila seperti ini dengan sengaja.” Ia terdiam. Ragu apakah ia harus menceritakan lebih dalam lagi akan apa yang ia rasakan setelah melihat klip video itu. ”Tapi semenjak aku melihat kau bernyanyi dalam klip video yang sudah menyebar ke seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia, mataku seolah tak berkedip. Mataku terpaku. Dan aku tidak tahu alasannya,” akhirnya menyelesaikan penjelasannya yang panjang.
Sejenak, keadaan di antara mereka menjadi hening. Tapi tiba-tiba tawa Ben meledak dan memecahkan keheningan itu.
Tim memandang lekat pada Ben, lalu duduk kembali di kursi dan memandang lurus ke depan. Ia pun tertawa.
”Kau ini luar biasa! Kau berani melakukan hal itu pada seorang artis yang baru saja naik daun,” kata Ben. ”Memang, banyak orang sanggup melakukan hal yang sama denganmu, tapi yang paling penting, pengakuanmu yang barusan belum tentu akan orang lain lakukan juga saat mereka ditemukan bersalah. Tapi kau baru saja melakukannya. Kau memang sungguh-sungguh berbeda dari semua gadis yang pernah kutemui.”
Tim hanya tertawa. Di dalam hatinya, ia masih merasa malu akan perbuatan gilanya.
Setelah beberapa lamanya mereka tertawa, Ben angkat bicara. ”Aku salut padamu,” katanya. ”Kau juga tidak mengubah penampilanmu dari tomboy menjadi girlie untuk orang yang kau sukai.”
”Orang yang kusukai? Kau ini terlalu percaya diri tahu!”celetuk Tim. “Tapi ya, baiklah, aku SEDIKIT suka padamu.”
“Sedikit?”
“Oke, agak banyak,” sahut Tim lagi. “Aku bukan orang yang bisa mengubah image diriku hanya untuk suatu hal. Aku lebih ingin menjadi diriku sendiri. Dan aku ingin orang lain melihat diriku apa adanya. Ya, tomboy dan―kebanyakan cuek.”
Ben tersenyum kecil. “Omong-omong, kalau aku boleh tahu, ada urusan apa kau datang kesini?” Liburan atau yang lainnya?” ia mengubah topik pembicaraan.
“Aku sedang menuju kejuaraan baseball,” jawab Tim.
“Kapan? Boleh aku menonton?”
“Yup,”jawab Tim singkat. “Minggu depan, hari Senin, jam sembilan pagi.”
“Aku pasti datang,” kata Ben cepat.
Trrrrt. Trrrrt. Ponsel Tim bergetar.
’Cepet pulang sayang, ini udah malem. Ntar Papa marah kalo kamu pulangnya kemaleman, oke? Mama .’
”Dari orang tuamu?” tanya Ben.
Tim mengangguk. ”Aku harus pulang sekarang,”
”Aku akan antar kau,” kata Ben. ”Aku ingin tahu dimana kau menginap.”
”Baiklah,” sahut Tim.
0 Response to "Pacarku Superstar (Chapter 5)"
Posting Komentar