Pemeran Utama - A Short Mixed Bilingual Story (Chapter 3)
♥ Verona ♥
“Selalu aja
gitu,” ia mengeluh sambil berjalan ke arah kantin.
“Halo,
Verona,” beberapa gadis menyapanya saat mereka berpapasan.
“Halo,”
cepat-cepat ia mengubah raut wajahnya yang kesal dan menghiasinya dengan
senyuman lebarnya.
Ia berjalan
lagi sampai akhirnya ia ada di kantin. Tidak langsung membeli makanan, ia
justru duduk. Ia merenungkan perkataan
Natalie.
“Kalo bisa jadi orang yang luar biasa kenapa cuma mau
jadi biasa-biasa aja?”
Ia
menggeleng-gelengkan kepalanya. “Aku udah cukup banyak nerima beasiswa yang
nggak ngasi syarat aneh-aneh. Beasiswa prestasiku udah membanggakan banget.
Nggak perlu lah buat makalah, penelitian, pergi jauh kemana yang susah-susah,”
ia bergumam. Ia menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi untuk membuatnya merasa
lebih rileks.
Rasa
laparnya datang. Ia merasa lelah karena seharian ini pikirannya seperti diperas
dengan mata kuliah yang berat. Ia memutuskan untuk membeli sebuah roti untuk
mengganjal perutnya sambil menunggu Natalie.
Saat ia
berdiri, seseorang menabraknya.
“Aduh,” ia
mengelus-elus kepalanya.
“Sori, sori
ya, Verona,”
Verona
mendongak kepada orang yang telah menabraknya itu untuk melihat siapa dia.
“Oh Bryan?”
seperti itulah caranya memanggil Bryan yang juga adalah keturunan Tionghoa. (‘Oh’ adalah sebutan kakak laki-laki dalam budaya
Tionghoa yang lebih dikenal dengan ‘Koh’.) “Nggak di
Jakarta? Sekarang kan kamu udah jadi artis. Udah nerima berapa banyak
permintaan tanda tangan sama foto?” Ia menggoda.
Bryan
menggeleng. “Aku main lah. Mumpung di Semarang,” katanya. “Gimana kabarmu?”
Verona
terlihat terpesona dengan kehadiran Bryan. “Aku ya biasa lah,” jawabnya
malu-malu. Ia memang selalu suka dengan pemuda yang juga keturunan Tionghoa.
Baginya pemuda dari ras lain sama sekali tidak bisa membuatnya tertarik.
“Kamu
sendirian aja?” tanya Bryan lagi.
“Aku sama
Natalie sih, cuma dia lagi ngurusin beasiswa gitu,” jawabnya.
“Oh sama
Natalie. Gimana kabarnya dia?”
Seolah tidak
terlalu senang ketika Bryan menanyakan Natalie, ia menjawab dengan cuek. “Biasa
juga,” katanya. “Kamu kok juga sendirian aja, Oh?”
“Sebenernya
tadi sama temen-temen, tapi mereka lagi di kamar mandi, jadi aku tinggalin aja
mereka,”
“Ih, nggak
setia kawan deh kamu, Oh,” ia menggoda lagi.
“Setia kawan
kan nggak cuma nungguin temen di kamar mandi,” perkataannya membuat Verona
tertawa.
♫ Natalie ♫
Ia melangkah
masuk ke dalam ruang dosen. Ia mencari Miss Cecile yang menjadi koordinator
beasiswa yang dilihatnya di pengumuman tadi. Di belakang ruangan ia melihat Miss
Cecile sedang berbicara dengan beberapa teman dosennya. Tapi ketika ia melihat
Natalie, ia berhenti mengobrol dan mendatangi Natalie.
“Halo Miss
Cecile,” sapanya.
“Formulir
pendaftaran beasiswa Djarum ada di meja saya. Tinggal ambil aja,” katanya
seolah sudah mengetahui apa yang Natalie inginkan.
“Iya Miss,”
Natalie menuruti perkataan dosen walinya itu.
“Kok nggak
sama Verona? Dia dimana?”
“Di kantin, Miss,”
“Dia nggak
ikut beasiswa Djarum? Dia kan memenuhi syarat,”
Natalie
menggeleng. “Susah ngajakin dia, Miss,” jawabnya. “Saya yang jadi sahabatnya
aja sampe habis akal untuk maksain dia ikut program kayak begini. Dia nggak
suka sesuatu yang susah, Miss.”
“Oh,” respon
Miss Cecile singkat sekali. “Formulirnya kamu isi disini aja. Langsung saya
daftarin. Pasti kamu langsung diterima kok.” Ia percaya sekali pada kemampuan
Natalie seperti biasanya. Perkataannyapun selalu membuat Natalie merasa bangga dan
bersyukur akan dirinya.
Natalie
tersenyum. “Saya pinjam tempat duduknya ya, Miss,” katanya.
“Oke,” Miss
Cecile menjawab dengan singkat dan kembali mengobrol dengan dosen lainnya.
Natalie pun
duduk di dalam ruang dosen itu dan mengisi formulir itu. Di formulir itu
terdapat kotak isian yang bertuliskan ‘Pengalaman’ yang ia isi dengan berbagai
macam aktivitas yang telah kerap kali ia ikuti. Hal ini menyadarkannya mengapa
Miss Cecile begitu yakin ia akan diterima dalam beasiswa Djarum ini. Dalam hati
kembali ia bersyukur untuk kepintaran yang Tuhan berikan.
Tepat
setelah ia selesai mengisi formulir itu, handphone-nya
bergetar. Ia menyerahkan kembali formulir itu pada Miss Cecile. Sambil berjalan
keluar dari ruang dosen, ia membaca SMS yang masuk.
From: Verona
Aku msh nunggu di kantin.
Msh laper.
Cepetan.
“Nih anak
emang deh,” ia memasukkan kembali handphone-nya ke
dalam tas dan berjalan dengan cepat ke kantin.
Verona - Natalie
Saat Natalie
berjalan mendekat, Verona tampak asik mengobrol dengan Bryan, sampai-sampai
kedatangannya tidak dihiraukan.
“Aku nggak
yakin kamu masih laper,” cibir Natalie.
“Halo, Nate,” Bryan menyapa.
Verona pun
berpaling pada sahabatnya setelah mendengar namanya disebut.
Natalie
hanya membalasnya dengan senyuman.
“Eh, disapa
kok nggak jawab sih?” sergah Verona.
Natalie
menghela nafas. Verona selalu ketus padanya kalau sudah merasa asik dengan
seseorang dan saat ia sedang merasa kesal pada Natalie. Apalagi seseorang yang
dipujanya.
“Halo ko,”
sapanya. (‘Ko’ kata lain dari ‘Koh’).
“Habis
ngurusin beasiswa?”
Natalie
mengangguk. “Aku berdoa dapet lagi,” ia tersenyum.
“Nggak usah
berdoa juga dapet mesti,” sahut Verona.
“Sayang, aku
bukan orang yang kayak gitu,”
“Masa sih, Miss Wise?”
Bryan
berdehem di tengah keadaan Verona dan Natalie yang mulai berdebat sendiri.
“Halo, ada aku disini,” ia memecah ketegangan.
“Maaf, ini
salahku,” Natalie mengalah. “Maafin aku ya, Ve.”
Mendengarnya
Verona menjadi lunak. “Ini juga salahku kok,” balasnya. “Maafin aku juga ya, Nate.”
Natalie
mengangguk lalu tersenyum. “Jadi makan?” ia mengangkat topik lain yang sudah
mereka bicarakan sebelumnya.
“Iya, aku
udah terlalu laper nih,” sahut Verona.
“Kalo gitu,
aku pergi dulu ya,” Bryan beranjak dari kursinya.
“Kenapa
nggak ikut makan aja, Oh?” ajak Verona dengan harapan Bryan menerima ajakannya
untuk tinggal.
“Temen-temenku
udah nunggu, Ve. Lain kali kita makan sama-sama ya,” katanya.
“Oh,” nada
suara Verona terdengar kecewa.
“Ah, iya.
Lagian mumpung kamu di Semarang, kamu harus seneng-seneng sama temen-temenmu
ya, Ko,” Natalie menimpali ekspresi Verona agar Bryan tidak mengetahui bahwa
Verona merasa kecewa.
“Kalo gitu
aku pergi dulu ya,” ia melambai lalu berpaling dari Natalie dan Verona.
Dengan
menghilangnya Bryan dari pandangan, Verona menarik nafas dalam-dalam. Ia benar-benar
tampak kecewa karena orang yang dikaguminya itu. Sebuah rasa ia pendam di dalam
hatinya. Ia bahkan yakin bahwa Natalie tidak mengetahuinya.
“Pesen
makanan apa?” tanya Natalie.
“Nggak
laper,” Verona menopang kepalanya dengan kedua tangannya yang mengepal.
“Nasi goreng
babi? Oke deh,” Natalie merespon seolah memang itu jawaban yang Verona berikan.
Tanpa
tanggapan dari Verona, Natalie pun memesan sepiring nasi goreng babi untuk
sahabatnya dan sup hisit untuknya sendiri. Ia pun kembali ke tempat duduk
sambil menunggu makanan mereka datang.
“You deserve better than him,” kata Natalie tiba-tiba. Ia
duduk di depan sahabatnya itu.
Verona
tersentak. Perkataan barusan itu tidak membuktikan bahwa pikirannya tentang
Natalie tidak benar. Sahabatnya itu mengetahui yang sedang dirasakannya pada
Bryan.
“Playboy. Aku kenal siapa dia. Dia tipe orang yang nggak
ngerti perasaan cewek. Asal nyenengin diri aja dia tuh,” lanjut Natalie. “Ada
cowok di luar sana yang lagi nunggu kedatanganmu. Nggak usah ngelirik sana-sini
lagi. Jangan sampe kejadianmu waktu SMA keulang lagi.”
Verona hanya
terdiam memandang Natalie. Ia merenungkan kata-katanya. Tapi ia sudah terlanjur
memendam rasa pada Bryan. Ia tak tahu lagi apa yang harus dilakukan.
“Aku nggak
bisa secepet itu hilangin rasa ini dari Bryan,” akhirnya Verona mengungkapkan
perasaannya.
“Bisa,”
Natalie meyakinkannya.
“Susah,”
“Itu
pikiranmu aja,”
“Kamu tuh
yang nggak pernah pacaran, mana mungkin bisa ngerasain? Yang kayak gini tuh
susah diilangin! Entar waktu kamu ngerasain baru tahu,” Verona menyahut ketus.
Tapi
kata-kata itu menusuk hati Natalie. Ia menundukkan kepalanya. “Maafin aku kalo
gitu,” katanya lirih.
Verona menyadari
bahwa kata-katanya terlalu kasar tadi. Ia merasa menyesal.
Keadaan
menjadi hening seketika setelah itu. Mereka saling bertolak pandang. Sampai
akhirnya pesanan mereka datang.
“Aku udah
bayar semuanya,” kata Natalie sambil membawa bungkusan yang berisi sup hisitnya
itu, “aku mau pulang. Maaf aku nggak bisa lama-lama. Aku capek banget.”
“Nate, maaf,” sahut Verona.
Natalie
hanya tersenyum. “Pulang ya,” katanya lalu berpaling sebelum ada balasan dari
Verona.
“Makasi,”
perkataan Verona terdengar lirih saat Natalie menghilang ke balik tembok.
0 Response to "Pemeran Utama - A Short Mixed Bilingual Story (Chapter 3)"
Posting Komentar