Pemeran Utama - A Short Mixed Bilingual Story (Chapter 7)
♫ Natalie ♫
Semua
peserta termasuk mahasiswa Amerika itu pun berkumpul di lapangan belakang
panti. Seperti jadwal yang sudah ditentukan oleh panti itu, setiap hari Sabtu
seluruh penghuni panti harus membersihkan lingkungan sekeliling mereka. Para
mahasiswa itu pun dikerahkan untuk membantu anak-anak panti.
Setiap orang
mengambil alat kebersihan masing-masing. Natalie pun mengambil sebuah cangkul
kecil dan berdiri sejenak melihat sekelilingnya. Ia mencari tempat dimana belum
ada yang membersihkan. Matanya pun kemudian memandang ke bagian luar pagar
panti yang ditumbuhi banyak rumput, lalu ia mengajak dua anak perempuan yang
selalu saja menempel padanya kemana pun ia pergi semenjak ia sampai di panti
asuhan ini, dan kemudian bersama-sama menuju ke tempat itu.
Sambil
mencabuti rumput-rumput yang cukup lebat itu, ia mengobrol dengan kedua anak
itu tentang segala aktivitas yang mereka lakukan di panti dan perasaan mereka.
Ia bahkan memuji kekuatan hati anak-anak itu yang rupanya kehilangan orang
tuanya saat terjadi bencana Gunung Merapi beberapa tahun yang lalu.
“Tapi kalian
selalu ngerasa seneng kan?” tanya Natalie.
“Harus kak
Nat,” salah seorang di samping kanannya sejenak berhenti mencabut rumput dan
tersenyum padanya. “Ami nggak bakalan pernah sedih.”
Natalie pun
membalasnya dengan senyuman. Kemudian ia berpaling kepada seorang lainnya di
kirinya. “Kamu gimana?” tanyanya.
Tapi anak
itu tetap menunduk dan mencabuti rumput.
“Siti, kamu
tuh ditanyain,” Ami yang menyadari bahwa temannya itu tidak menjawab pertanyaan
Natalie merasa gusar kemudian tangannya meraih lengan Siti dari belakang
Natalie dan menyenggolnya.
“Hhh, apa?”
Siti berpaling pada Natalie dan Ami.
“Kamu kok
wajahnya pucet sih? Kamu sakit?” tanya Natalie.
Siti tidak
menjawab.
“Kenapa,
Sit?” Ami mendekati temannya itu.
Natalie menempelkan
punggung telapak tangan kanannya di dahi Siti. “Kok kamu keringat dingin gini
sih?” ia mulai merasa panik.
Siti pun
terlihat semakin pucat. Ia yang tadinya berjongkok sekarang duduk di tanah
dengan kaki terlipat. Dengan cepat Natalie menopangnya di lengannya. Ia tampak
lemah sekali. Seperti tak berdaya, Siti bersandar pada Natalie.
“What’s wrong?” suara Daniel tiba-tiba saja
terdengar di belakangnya.
Natalie
mendongak. Ia heran kenapa Daniel bisa tiba-tiba saja datang seolah mengerti
bahwa ia butuh bantuan. “She’s sick, Dan,” jawabnya.
Daniel
berlutut dan menempelkan punggung telapak tangannya di dahi dan leher Siti. Ia
pun memperhatikan tangan Siti yang sedari tadi memegangi perutnya. “Okay, I know,” katanya seperti mengetahui
sesuatu.
“What do you know?” Natalie bertanya.
“She got diarhea,” sahut Daniel.
“Then we have to bring her to the doctor,” Natalie
menjadi lebih panik.
“Let me bring her, Nate,” Daniel pun mengambil Siti dari
Natalie dan mengangkatnya. Natalie dan Ami berjalan di belakangnya dan
mengikutinya. Melihat hal ini, Pak Handoko yang juga ada di lapangan pun
melihat anak asuhannya yang tidak berdaya itu dan berlari mendekati Natalie dan
Daniel yang tidak berhenti berjalan.
“Kenapa
Siti, Nate?” tanya Pak Handoko yang terlihat bingung tapi
nada suaranya terdengar tenang.
“Kata Daniel
dia sakit Diare,” ia menjelaskan.
“Ya udah
bawa ke rumahku aja,” Pak Handoko menyarankan.
“Daniel, bring her to The Head’s house,” Natalie
memberitahu Daniel.
Mereka pun
berbalik arah dan berjalan menuju rumah Pak Handoko. Mereka masuk ke dalam
rumahnya kemudian membaringkan Siti di sofa ruang tamu dengan kepalanya di
pangkuan Daniel. Natalie pun berjongkok tepat di depan dimana Siti berbaring,
sementara Ami duduk di sebelah Daniel.
“Tunggu
disini ya, aku ambil obat Diare,” Pak Handoko pun masuk lebih dalam ke
rumahnya.
“Kak, Siti
nanti sembuh kan?” tanya Ami pada Natalie sambil memandangi temannya yang
selalu pergi bersamanya kemanapun dengan wajah sedih.
Natalie
tersenyum dan mengangguk.
Belum lama
menunggu, Pak Handoko kembali. Tapi ia kembali dengan tangan kosong.
“Maaf, ternyata
udah habis,” katanya.
Natalie pun
merasa kecewa dan gelisah. Ia berpaling pada Daniel yang sedang membelai rambut
Siti.
“Daniel,”
Daniel
mendongak pada Natalie mendengar namanya disebut. Tanpa sengaja ia melihat Pak
Handoko yang tidak membawa apapun di tangannya. “What happen? He has no medicine?” tanyanya.
Natalie
mengangguk.
“It’s okay,” kata Daniel tenang. “Natalie,”
“Yes? What should I do?” tanya Natalie seolah mengetahui
bahwa Daniel akan memintanya melakukan sesuatu.
“I got a Diarhea medicine in my bag. It’s the only red bag
in my room, and inside of the bag, there’s a white little pocket. Bring it here,”
“Your bag? Is it okay to open your bag?”
“You’ve got my permission, Nate,”
Natalie
tersenyum kecil. “Okay,” sahutnya
lalu berbalik untuk pergi.
“Umm, wait up,” Daniel menghentikan
langkah Natalie.
Natalie pun
berbalik lagi kepada Daniel.
“Please tell Mr. Handoko to bring her a glass of warm
water. Thank you,”
Natalie
mengangguk kemudian berkata kepada Pak Handoko, “Minta tolong ya, Pak. Bawain
air hangat untuk Siti,” ia menerjemahkan permintaan Daniel.
Pak Handoko
mengangguk. Lalu ia pergi masuk ke dalam rumahnya lagi sementara Natalie pergi
keluar dari rumah itu.
Ia berlari
menuju ke arah kamar. Dengan cepat ia masuk ke kamar laki-laki yang rupanya
kosong dan menemukan tas merah Daniel dengan mudahnya. Ia membuka satu per satu
resleting tas itu tapi tidak menemukan kantong putih kecil yang Daniel sebutkan
tadi. Ia merasa agak sedikit putus asa karenanya. Tapi ia tidak mau putus asa.
Sekali lagi ia memeriksa tas itu sambil mengeluarkan isinya satu persatu.
Akhirnya ia menemukan kantong itu.
Saat ia
mengeluarkan kantong itu, tanpa ia sengaja, sebuah kertas tebalpun ikut keluar
dari tas itu dan terjatuh. Ia mengambil kertas itu dan menyadari bahwa itu
adalah sebuah foto keluarga. Dengan mudah ia menebak bahwa yang ada di dalam
foto itu adalah keluarga Daniel, karena itu bukanlah foto lama. Daniel yang
sekarang ia lihatlah yang ada di foto itu. Ia melihat papa, mama, Daniel dan
seorang anak laki-laki lain yang kemungkinan adalah saudaraya.
Tiba-tiba ia
sadar bahwa ia sedang ditunggu. Segera ia meletakkan foto itu kembali di dalam
tas dan menutup semua resletingnya. Ia pun beranjak dari tempat itu dan keluar
dari dalam kamar itu. Tapi saat ia akan berjalan pergi dari kamar itu, seorang
gadis menabraknya.
“Oh, maaf.
Aku nggak lihat kamu, Cindy,” kata Natalie yang mengenali teman pesertanya itu.
Ia pun bergerak ke arah yang berlawanan agar bisa terus berjalan.
Tapi gadis yang
tidak lebih tinggi darinya itu justru mengikutinya ke arah mana ia bergerak
seolah ingin menghalanginya berjalan.
“Permisi,
tapi aku harus segera pergi dari sini,” kata Natalie lagi. Ia kembali bergerak
ke arah lain tapi tetap saja gadis itu menghalanginya.
Tidak tahu
apa yang gadis itu mau dengannya, Natalie berhenti berusaha menghindar. Ia
menarik nafas dalam.
“Maaf, kamu
sebenernya mau apa dari aku?” tanyanya.
“Jangan
deket-deket sama Daniel,” Cindy menyahut dengan ketus.
“Maaf?”
“Nggak
denger? Ato pura-pura nggak denger?” Cindy membentak.
Natalie
menggelengkan kepalanya. “Aku bener-bener nggak ngerti kenapa kamu suruh aku
jangan deket-deket Daniel. Sekarang bener-bener keadaan darurat. Salah satu
anak panti ini sakit dan aku bawain obat ini untuk dia,” ia menjelaskan panjang
lebar. “Jadi aku minta, kamu jangan nge-block jalanku.”
Dengan cepat ia menerobos Cindy dan berjalan menjauh.
“Daniel itu
punyaku! Jangan sentuh dia!” dari kejauhan suara Cindy terdengar sangat marah,
tapi Natalie tidak peduli. Ia terus saja berjalan dan kemudian berlari untuk
sampai di rumah Pak Handoko dengan cepat.
“Had a trouble finding it?” Daniel menyambut kedatangan
Natalie dengan pertanyaan ini.
Natalie
mengangguk.
“Open it and take a red tablet,” pintanya.
Sesuai
perintah Daniel, Natalie pun mengambil tablet merah yang ukurannya cukup besar.
Kemudian ia mengambil segelas air putih hangat yang sudah habis separuhnya dan
meminumkannya pada Siti berserta obat itu saat Daniel mengangkat kepala Siti.
Kemudian
Daniel meraih sebuah bantal yang ada di sebelahnya dan mengganjalkannya pada
kepada Siti lalu ia berjongkok di lantai. Ia juga mengambil selimut yang sudah
Pak Handoko bawakan kemudian menyelimuti Siti.
“Interpret me,” pinta Daniel pada Natalie.
Natalie
mengangguk.
“Please keep her until she wakes up,”
“Tolong jaga
dia sampai bangun,”
“when she wakes up, she’d go to the bathroom and poop,”
“waktu dia
bangun, dia bakalan mau ke kamar mandi untuk buang air besar,”
“then, she’ll be okay,” Daniel menyelesaikan
kalimatnya.
“lalu, dia
akan baik-baik aja,”
Pak Handoko
mengangguk. “Makasi banyak ya, Daniel,” katanya.
“Sama-sama,”
Daniel menjawab dengan agak ragu.
Natalie
tersenyum, begitu pula dengan Pak Handoko mendengar respon Daniel dalam bahasa
Indonesia.
“Kalau gitu,
kami pergi kembali ke tempat kami ya, Pak,” Natalie menganggukkan kepalanya
tanda memberi hormat.
“Iya, iya.
Makasi banyak buat kamu juga ya Nat,” Pak Handoko menepuk lengannya perlahan.
“Oh ya, itu
Ami tidur disitu, apa perlu saya bawa ke kamarnya aja?” ia menunjuk pada Ami
yang tertidur pulas di dekat Siti.
“Nggak usah.
Ami nggak bisa ninggalin sahabatnya, apalagi kalo lagi sakit. Biar saya aja
nanti,” jawab Pak Handoko.
“Permisi,
Pak,” Natalie pun mengajak Daniel keluar dari rumah Pak Handoko.
Mereka
berjalan bersama-sama. Tapi mereka tidak tahu ke arah mana mereka pergi. Mereka
hanya berjalan lurus ke arah lapangan belakang tadi tanpa bicara.
“Daniel,” akhirnya Natalie angkat bicara.
“Yes?” Daniel memalingkan wajahnya pada Natalie dengan
tetap berjalan seirama dengan langkah Natalie.
“I..,” Natalie tidak melanjutkan perkataannya.
Daniel
menghentikan langkahnya. “You, what?” tanyanya
penasaran.
Natalie
menyatukan kedua telapak tangannya dan menempelkannya di dagunya. “I’m sorry, I saw your photo with your family. But it was
an accident,” ia menyahut cepat agar tidak dipersalahkan. “I had a trouble finding your pocket so I put your things
out one by one then the photo was slipped between my fingers and I saw it.”
Daniel
menarik nafas dalam-dalam. “It’s okay,” ia
mengangguk.
“Sorry if it’s a privat thing for you,”
“You’ve got my permission,” Daniel kembali
mengingatkannya akan hal ini. “I’ve asked you to
open my bag. So if the ‘accident’ happened, so it wasn’t a fault. I won’t blame
you.”
Natalie
tersenyum lega.
Daniel
melihat ke sekelilingnya. “So, the yield
cleaning is now over, why would we go here again?” ia tertawa menyadarinya.
Natalie pun
ikut tertawa. “Ya, you’re right. I
don’t even realize it if you didn’t tell me this,” katanya.
Daniel
memasukkan kedua tangannya di saku celananya. Ia kembali melihat sekelilingnya.
Natalie pun melihat ke arah lain. Untuk beberapa lamanya mereka hanya berdiri
disitu tanpa berbicara satu sama lain.
“When will we have free time?” Daniel angkat bicara lagi.
“After the yield cleaning over, we have our free time. The
Head said, Saturday is free time,” jelas Natalie.
Daniel
mengangguk-angguk. “That’s good. Cause I
find something interesting over there,” ia menunjuk ke arah sungai
yang letaknya tidak jauh dari panti. Sungai jernih yang menarik perhatiannya
saat pertama kali ia sampai di tempat ini.
“Don’t say you want to play the water,”
Daniel
tertawa. “I like water, don’t you?”
“I do, but─”
“Let’s go there,” tanpa meminta persetujuan, Daniel
langsung saja menarik tangan Natalie dan membawanya menuju ke sungai itu.
Mereka turun
ke dalam sungai dan duduk bersebelahan di atas batu-batu besar yang ada di tepi
sungai dimana masih ada air yang mengalir.
“It feels so fresh to be here, right?” kata
Daniel sambil memandang ke tebing yang penuh ditumbuhi dengan tanaman-tanaman
hijau yang ada di depan sungai itu.
“Yes,” Natalie menyetujui. “But actually, nearby my house, there’s also a river like
this, but a little bit larger.”
“Seriously?” Daniel mengalihkan pandangannya pada Natalie.
Natalie
mengangguk.
“How fun it will be! I’d love to go to your house then,” sahut
Daniel riang.
Natalie
tertawa kecil. “But my parents would
never let me go there,” katanya.
“Why?”
“The water is not too clean and it’s said that it’s sort
of haunted,” Natalie mengedikkan pundaknya.
Daniel
tertawa mendengarnya.
Sejenak
mereka terdiam dan menikmati pemandangan dan suasana di sungai itu. Angin
sepoi-sepoi pun terasa menyejukkan tubuh. Benar-benar nyaman rasanya berada di
sungai itu.
“They died in a car accident a year ago,”
Natalie pun
segera memalingkan wajahnya pada Daniel. Keadaan yang tadinya hening itu pun
sirna saat Daniel mulai menceritakan tentang keluarganya.
“They were about to take my brother to his university in
New York and that time I refused to go with them because I was having my
basketball competition which I can’t ever leave in my university,”
Natalie
tidak memberi komentar apapun. Ia hanya memperhatikan setiap kata yang Daniel
katakan.
“Three hours after they went, I was called by a police and
he told me that my family got an accident with a crazy car. They told me to go
to the hospital and I found my dad and my brother were already died. But mom,” Daniel
menerawang ke awan-awan. Matanya terlihat sudah membendung air mata, “she was dying when she told me not to give up my faith
whatever may happen in my life. She also said she, my dad and my brother loved
me so much. Then after that she closed her eyes forever.” Air mata
pun akhirnya jatuh di pipinya.
“Daniel,” Natalie merasa terharu mendengarnya. Tapi ia
tidak tahu harus melakukan apa.
Daniel
menundukkan kepalanya. Tidak lama kemudian ia menegakkan kepalanya lagi. Ia
menghapus air matanya. Ia menarik nafas dalam kemudian bicara lagi.
“I learned to live
my life well from that moment. I will never waste any second in my life for
something useless or maybe in lower priority,” katanya. Ia menarik nafas
lagi. Seakan mencegah agar air matanya tidak jatuh lagi. “The girl who is sick─”
“Siti,”
Natalie memberitahunya,
“reminds me to mom,” lanjutnya. “She always told me to bring my complete medicine. Not in
case of myself, but others. She told me, ‘if anyone is sick, and there’s no
medicine to recover, use yours. Do kindness every time, everywhere, as well as
you could.’”
“She must have been a great and tough mom,” Natalie
mengimbuhi.
“She was, yes,” kali ini nada suara Daniel menjadi
normal kembali. “That’s how mom chose to
live with my dad. Dad was the one she helped. And then there were my brother
and I.”
Natalie
tersenyum mendengar kisah hidup Daniel. Ia merasa hari ini seperti mendapat
pencerahan.
“Now I’m an orphan. I live by myself in an apartmen nearby
my university,” Daniel melanjutkan ceritanya.
“You don’t live with your other family, like grandparents,
or uncle and aunt?”
Daniel
menggeleng. “They asked me, but I want to stay
alone. Learn to live independently. That’s good for me,” katanya
sambil tertawa kecil. “So when I arrived in
this orphanage I feel the way those children feel.”
Sekarang
yang ada di benak Natalie bukan hanya rasa senang mengenal seorang warga negara
Amerika seperti yang selalu didambakannya, tapi rasa kagum karena orang yang
dia kenal bukanlah seperti orang kebanyakan. Kisah hidup Daniel memberinya
pelajaran akan kehidupan.
“I’m glad to know a tough man like you, Daniel. You really
taught many things to me through your story. Thank you so much for sharing with
me,” katanya.
“Anytime, Nate,” Daniel memandangnya dengan
senyuman yang hangat.
“I believe you can go through every problems you face,
even if it’s the hardest one,” tambahnya.
“I’m a fragile branch without God as the tree,”
“Yes, you’re totally right, so am I,” sahut
Natalie. Ia merasa senang sekali mengobrol dengan teman barunya ini.
“HEY!!!” seseorang mengejutkan Natalie dan Daniel dari
belakang.
Secara
spontan mereka berbalik dan melihat siapa yang telah mengejutkan mereka. Itu
George. Tapi rupanya bukan hanya satu orang saja, semua teman Daniel sudah
berada di di belakang mereka berdua sambil tersenyum seperti mengandung maksud
tertentu.
“Having fun together here, ha? Why didn’t you ask us with
you? Or because you wanna be only with
her?” George
menggoda Daniel. Sementara itu Miriam, Phoebe dan Renee tertawa keras.
“Hey,” Daniel menyenggol lengan temannya itu.
Natalie
tersenyum kecil. Ia seperti merasa agak tersipu-sipu mendengar perkataan
George. “Umm, I gotta go,” katanya
cepat.
“Why?” Henry bertanya seolah ia sangat terkejut
mendengarnya.
“I-I got another thing to do, Henry,” Natalie
menjawab tanpa berpikir panjang. “You
guys have fun here. The water is clean and the air is so fresh. Trust me.”
“Okay. But we will feel so losing you,” Patrick
berusaha mencegah.
Natalie
hanya tersenyum. “See you around,” ia
melambai lalu berbalik dari mereka dan berjalan pergi.
“She’s a nice girl, right Daniel?” perkataan
Miriam masih terdengar saat Natalie sudah berjalan cukup jauh dari mereka.
‘...you wanna be only with her..’ kata-kata George kembali
terngiang di telinganya. Karenanya ia tersenyum sendiri. Tapi ia terus
melangkah sambil menundukkan kepala tanpa berhenti agar tingkahnya tidak
terlihat.
Di
persimpangan saat ia akan berbelok ke kamar, kepalanya menabrak seseorang. Ia
pun menegakkan kepalanya kembali.
“Maaf, maaf,
aku nggak lihat,” Natalie membungkuk sedikit.
Tapi siapa
yang sedang dilihatnya sekarang membuat rasa tersipu-sipunya sirna seketika.
Cindy sedang berdiri di depannya dengan wajah yang marah.
“Kamu inget
tadi aku udah kasi peringatan ke kamu untuk nggak deketin Daniel?”
Natalie
tidak menjawabnya. Ia hanya diam dan memperhatikan Cindy berbicara.
“Eh! Jangan
diem aja!” bentak Cindy. “Jadi orang jangan belagu dong!”
Natalie
tersenyum simpul. “Aku sebenernya nggak ngerti ya,” katanya,” kamu tuh bersikap
seolah Daniel itu pacarmu.”
“Sekarang
dia emang bukan pacarku, tapi sebentar lagi iya!” bentak Cindy lagi.
Natalie
menggeleng-gelengkan kepala. “Asal kamu tahu, aku sama sekali nggak berusaha untuk deketin
dia. Disini aku cuman bantu jadi penerjemahnya karena aku peserta yang pertama
kali ditemui dia di panti ini. Nggak lebih,” ia berusaha memberi pengertian
tanpa menimbulkan permasalahan. “Kalau kamu emang suka sama Daniel, pergi,
datengin dia, nyatain perasaanmu. Biar aku kasi tahu kamu ya. Sekarang yang ada
di pikiranku, Daniel itu temenku. Dia nggak terikat apapun sama aku. Mulai
sekarang, jangan ganggu aku lagi. Just
come to him and say you love him. Finish.” Tanpa memandang wajah Cindy,
ia pergi meninggalkannya.
0 Response to "Pemeran Utama - A Short Mixed Bilingual Story (Chapter 7)"
Posting Komentar