Pemeran Utama - A Short Mixed Bilingual Story (Chapter 2)
Verona - Natalie
Verona dan
Natalie adalah sahabat karib semenjak mereka masuk ke universitas ini. Bisa
dikatakan bahwa mereka adalah sahabat yang sempurna. Dengan kepintaran dan
keterkenalan mereka, apapun yang mereka lakukan selalu menjadi sorotan bagi
dosen dan mahasiswa.
“Kamu udah
lama nungguin disini?” tanya Natalie.
Verona
mengangguk. “Tuh dosen emang nggak niat deh. Masa udah lewat setengah jam sih
telatnya,” ia mengeluh.
Natalie
tersenyum. “Ya udah. Tungguin aja,” katanya tenang sambil membuka sebuah novel
karangan Janette Rallison. Dimanapun ia berada selalu ada novel impor yang ia
beli di toko buku impor kesayangannya. Ia selalu saja belajar untuk mendalami
pendidikan yang sedang dijalaninya melalui novel-novel miliknya. Baginya
mempelajari bahasa Inggris dan kebudayaannya merupakan hal yang tidak dapat ia
tolak.
“Ya, tapi
nggak gitu juga dong,” Verona masih mengeluh. “Mendingan aku tadi berangkat
siangan, nggak usah jam setengah tujuh berangkatnya.” Ia merasa kesal.
Natalie
tidak memperhatikan keluhan Verona. Ketika ia sudah membaca novel, ia selalu
saja ‘tidak dapat mendengar’ apapun di sekelilingnya.
“Nate?” ia berpaling kepada sahabatnya itu. Ia menyadari
bahwa perkataannya barusan tidak dihiraukan. Iapun memukul lengan Natalie.
“Ih, Ve!
Apaan sih?” Natalie meletakkan novel itu di atas meja di depannya dan
mengelus-elus lengan yang dipukul Verona.
“Kamu nggak
dengerin aku kan tadi? Coba kamu jawab tadi aku ngomong apa?” sergah Verona.
Natalie
menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kamu kan juga udah tau kalo aku lagi baca
novel, fokusku ya cuma di novel. Toh tadi kamu juga ngeluh. Ngapain aku jadi
ikutan panas dengerin keluhanmu?” katanya.
Verona hanya
diam.
“Dan gini ya,”
ia memposisikan tubuhnya ke hadapan Verona, “selama kamu masih bisa bangun
pagi, kenapa kamu ngeluh? Bersyukur aja. Banyak orang di luar sana yang bahkan
gerakin tangannya aja nggak bisa karena penyakit mereka.”
“Ya, tapi
ngomongnya nggak gitu juga kali,” ia berpaling ke arah lain. Ia merasa kesal
mendengar perkataan Natalie. “Aku kan juga tadi nggak nyalahin kamu. Aku
nyalahin dosennya yang dateng telat.”
“Aku tau
itu,” sahut Natalie. “Tapi kamu coba dong sadar. Mulai sekarang ubah sikapmu.
Perkataanmu, sikapmu itu nentuin hidupmu ke depan.”
Verona
berdecak kesal.
“Jangan
bilang lagi kalo aku sok bijaksana,” sahutnya sebelum Verona memanggilnya Miss Wise. “Aku cuma ngingetin kamu aja sebagai sahabatmu.”
Verona
menghela nafas dalam dan menghembuskannya dengan keras. “Iya, iya, udah. Aku
udah ngerti,” sergahnya.
“Bagus deh,”
kata Natalie dengan cueknya lalu kembali lagi kepada novelnya.
Namun dosen
yang mereka tunggu-tunggu akhirnya datang. Natalie memasukkan novelnya ke dalam
tas. Bersama-sama dengan mahasiswa lainnya, Natalie dan Verona masuk ke dalam
kelas.
Beberapa
hari berlalu sejak perdebatan mereka pagi itu. Mereka kembali lagi ke kampus
dan bersahabat seperti sediakala. Saat mereka menyelesaikan mata kuliah English Prose 2, dan keluar dari dalam kelas,
beberapa mahasiswa berdiri di depan papan pengumuman dan terlihat senang.
Verona dan Natalie pun melihat pengumuman apa yang dipasang disana.
“Pendaftaran
beasiswa Djarum?” mata Natalie seolah berbinar melihatnya.
“Ah, aku
mendingan terima beasiswa kayak biasanya aja. Pake beasiswa prestasi aja.
Ginian yang susah-susah, suruh bikin makalah dan sebagainya, ma-les,” katanya
dengan rasa tidak puas melihat pengumuman itu.
Natalie
melirik. “Hello? Susah dikit aja kok repot?”
ia menirukan nada GusDur, mantan presiden Indonesia itu, lalu tertawa sendiri.
“C’mon, Ver. It’s an easy thing to do. Ih, beneran
gampang banget. Seneng-seneng aja kali.”
Verona
menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia bersikeras.
“Ini cuma
disuruh ngelakuin penelitian kecil di panti asuhan sama mahasiswa
internasional,”
“Cuma? Kamu
bilang cuma?” mata Verona terbelalak. Ia mendesis. “Itu tuh susah tau. Aku
nggak suka yang susah-susah gitu. Mending yang gampang aja lah. Yuk pergi ke
kantin aja. Aku laper.”
Natalie
berdecak. “Kamu duluan aja sana. Aku nyusul,” katanya. Lalu ia mendekatkan
wajahnya pada wajah Verona. “Kalo bisa jadi orang yang luar biasa kenapa cuma
mau jadi biasa-biasa aja?” Ia melontarkan kalimat andalannya pada Verona.
“Nggak,”
Verona tidak terpengaruh. “Aku ke kantin dulu deh.”
Natalie
membuka kedua telapak tangannya. “Itu pilihanmu,” katanya. “Jangan
banyak-banyak makannya. Tungguin aku. Aku nggak lama.”
0 Response to "Pemeran Utama - A Short Mixed Bilingual Story (Chapter 2)"
Posting Komentar