Minami Fujita (Chapter 5)
“Kalo gitu, ayo sekarang ikut aku,”
“Kemana?”
“Ikut aja,” Tommy menggandeng tangan Minami.
Mereka pun berjalan menuju ke tangga dan menaikinya. Mereka naik terus sampai akhirnya mereka sampai ke lantai ketiga.
“Tinggi ya rumahmu?” kata Minami saat mereka berada di depan sebuah pintu.
“Tunggu sampai kamu lihat ini,” Tommy pun membuka pintu itu.
Saat pintu dibuka, angin sepoi-sepoi pun segera menerpa tubuh mereka. Tampak disana ada pohon-pohon rindang yang melindungi mereka dari sinar matahari. Dan jauh disana, hamparan laut yang luas dan indah mempesona setiap orang yang melihatnya, layaknya rasa saat jatuh cinta kepada seseorang.
“Wow!” Minami terkagum. “Bagus banget disini! Aku suka!!” Ia membentangkan kedua tangannya untuk merasakan angin yang lembut itu lebih lagi.
Tommy hanya tersenyum memandang gadis yang baru saja ia kenal itu.
“God, i really really like this view!!!” Minami berteriak senang. “Kireina ne...”
Tommy pun duduk di sebuah sofa panjang di sebelah pintu. “Kamu masih mau berdiri disana ato duduk di sofa empuk ini?”
Minami pun berbalik. Lalu segera duduk di sebelah Tommy. “Enak ya jadi kamu. Bisa lihat pemandangan yang indah ini tiap hari,” ia tersenyum sambil menghirup udara pagi yang sejuk itu.
“Aku akan jadi orang terbahagia kalo aku adalah orang biasa yang duduk disana sama keluarganya dan seneng-seneng,” Tommy menunjuk ke beberapa orang yang tampaknya seperti sebuah keluarga dan sedang memancing di tepi pantai.
Minami menggigit bibir bawahnya. Ia merasa bersalah lagi dengan telah mengatakan pernyataan terakhirnya. Tapi dengan segera ia ingin membalikkan kondisi menjadi menyenangkan ketika melihat ada rasa kecewa yang sedang Tommy rasakan.
“Tapi kan sekarang ada aku,” ia menyeringai lalu menggerak-gerakkan kedua alisnya ke atas. “Kita bisa saling cerita juga bercanda.”
“Aku bersyukur sama Tuhan soalnya Dia kirim kamu kesini,” sahut Tommy, “dan jadi temenku dengan tiba-tiba dan dengan cara yang sungguh nggak disangka!” ia tertawa.
Minami pun ikut tertawa. “Aku juga nggak tahu kenapa ya, Tom,” kata Minami. “Awalnya aku dateng kesini tuh─tapi kamu jangan ketawa ya─”
“Aku janji bakal berusaha,”
“Kok berusaha?”
“Lah kalo lucu, masa nggak boleh ketawa?”
Minami diam. Ia memanyunkan bibirnya.
“Iya, janji,” kata Tommy.
Minami pun kembali tersenyum. “Nah aku tuh pengen refreshing disini di hari libur pertamaku selama sebulan ini,” lanjut Minami. “Tapi, oh no, pantainya nggak ada. Semua kelihatan kaya’ pinggiran empang. Haduh.”
Keadaan pun hening sejenak. Tapi keheningan itu terlupakan dengan segera saat tiba-tiba Tommy terbahak-bahak.
“Ih, dibilangin jangan ketawa kok malah ketawa sih?” Minami memanyunkan bibirnya lagi. “Kan udah janji.”
“Kamu kemana aja selama ini? Nggak di Semarang ya? Kok nggak tahu kalo ada perubahan sama Pantai Marina?”
Minami menggeleng. “Di Semarang. Tapi udah sepuluh tahun nggak kesini,” sahutnya. “Baru tahu alasan kenapa pantai ini berubah ya kemarin. Diberitahu sama bapak nelayan.”
Tommy mengangguk-angguk. “Ngapain aja sepuluh tahun?” lalu tertawa lagi.
“Terus-terusin aja ketawanya, sampe puas,” Minami menyilangkan kedua tangannya di dada dan berbalik dari Tommy. “Orang aku belajar terus, nggak ada waktu buat refreshing kesini. Kalo refreshing paling di mall.”
Tommy pun menahan tawanya. “Jangan marah gitu lah,” katanya. “Aku kan cuma bercanda. Dan lagian, asal kamu tahu, kamu orang pertama yang bisa kembaliin saat-saat dimana aku bisa ketawa lepas.”
Rasa jengkel yang tadinya Minami rasakan pun mereda. Ia teringat kalau Tommy merindukan keadaan seperti ini.
Tapi kemudian ada hal yang mengganjal di pikirannya dan membuatnya penasaran yang sekaligus membuatnya ingin mengganti topik pembicaraan. “Ngomong-omong, nama adikmu kok nama Jepang juga kayak aku? Sementara kamu malah nama bule begitu?” tanyanya.
“Oh, kami lahir dari ayah yang beda,” jawab Tommy. “Papaku meninggal waktu dia bertugas di dalam pesawat karena serangan jantung. Terus mamaku menikah lagi sama orang Jepang yang kerjanya juga pilot kayak papaku kandung. Dan dia juga bisa bicara bahasa Indonesia dengan baik karena pernah tinggal selama limea tahun di Indonesia. Karena itu cara mamaku jatuh cinta sama papaku. Mamaku kira bisa dapetin orang yang sebaik papaku dengan menikahi pilot, tapi ternyata dugaannya salah. Papaku tiri ninggalin kami saat Naka umurnya masih tiga tahun yang alasannya pun aku nggak tahu.”
“Maafin aku ya,” kata Minami. Dia merasa telah salah lagi. Niatnya untuk membuat Tommy lupa akan kesedihannya justru membuatnya kembali lagi. “Nggak seharusnya aku buka kisah lama keluargamu.”
Tommy menggeleng. “Aku seneng akhirnya aku bisa cerita ke orang lain,” katanya.
Minami tersenyum. “Kalo gitu kamu bisa percaya aku jadi tempat curhat kok,” sahutnya.
“Dan papa tiriku menuntut aku untuk bisa ngomong pake bahasa Jepang dan kerja di Jepang,” lanjut Tommy. “Dengan itu, dia baru mau kembali ke keluarga kami.”
“Maafkan aku, tapi masa papa tirimu sekejam itu? Apa dia nggak mikirin mamamu sama Naka?” Minami merasa tidak percaya bahwa ada seseorang yang setega itu meninggalkan keluarganya.
Tommy mengangguk. “Oh ya, tadi aku denger kamu ngomong sedikit bahasa Jepang,” ia mengganti topik pembicaraan. “Kamu bisa ajari aku?”
Minami mengerlingkan matanya. “Wah, itu sih aku suka banget. Akhirnya ada orang yang percaya kalo aku bisa bahasa Jepang,” ia tertawa kecil. “Kapan kita mulai?”
“Aku mikir dulu ya,” kata Tommy lalu diam untuk beberapa saat.
“Heh, malah kelamaan,” Minami menyenggol lengan Tommy.
Tommy pun tertawa. “Besok bisa?”
“Pasti,”
“Aku pengen sebulan udah lancar,”
“Apa??” Minami terkejut. “Kamu bener-bener bergairah ya?”
Tommy mengangguk. Lalu ia melayangkan pandangannya jauh ke depan dan terdiam untuk beberapa saat lamanya.
Minami yang ada di sebelahnya hanya memandangnya dengan rasa iba. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana rasa hidup tanpa keluarga yang utuh. Tanpa orang tua selama sebulan baginya saja sudah terasa hampa. Apalagi Tommy yang harus kehilangan papanya, sementara mamanya terus menuntutnya untuk menyelesaikan banyak tanggung jawab.
“Dan kamu nggak usah khawatir,” Tommy angkat bicara lagi.
“Tentang?”
“Aku bakal bayar kamu kok,” lanjut Tommy. “Sesuai tarif guru Bahasa Jepang yang normal. Aku mau menghargai setiap orang yang udah baik sama aku.”
Minami menggeleng. “Jangan gitu,” sahutnya cepat. “Aku cuma mau bantu sebagai teman, bukan pengajar bayaran.”
“Terserah kamu mau ato nggak, yang penting aku mau bayar kamu,” Tommy bersikeras.
“Hmm, ya udah deh. Terserah,” seperti biasa, sekali lagi Minami menghindari perdebatan yang sepertinya mulai tercium olehnya.
0 Response to "Minami Fujita (Chapter 5)"
Posting Komentar