Colors Made It (Chapter 2)
Satu tahun berlalu dengan cepat. Aku sebentar lagi
akan diwisuda. Kenangan-kenangan yang kualami di kampus ini, terutama dalam UKM
Bakti Sosial tidak akan pernah kulupakan. Setiap foto yang diambil dalam setiap
acara menjadi sering kulihat semenjak aku menyelesaikan skripsiku dan lulus
dengan suma
cumlaude. Terkadang aku tersenyum sendiri
melihat setiap kejadian yang terekam dalam foto-foto itu. Rasanya menyenangkan
sekali waktu itu. Ingin rasanya aku kembali lagi merasakan masa itu.
“Besok diwisuda ya, kak?” Patrice menyenggolku
dengan senyuman menggoda.
Patrice. Aku tidak akan pernah melupakannya. Aku
akan menjalin persahabatan kami atau aku lebih senang untuk menyebutnya
persaudaraan kami dengan erat. Dia adalah gadis terbaik yang pernah ada di
hidupku. Adik angkatku.
“Udah tua nih berarti,” ia menggelak tawa.
“Yee, nggak tua juga kali nyebutnya,” aku mencubit
kedua sisi pipinya.
“Aww, kak,” ia mengibaskan tanganku. “Sakit tau.”
Ia mengerucutkan wajahnya.
Melihatnya aku menggelak tawa. “Eh, kamu juga
bakalan ngalamin kayak aku sebentar lagi,” ujarku.
“Dua tahun lagi kak, masih lama,”
Aku menggeleng. “Nggak lama tau,”
“Lama,”
“Nggak,”
“Lama,”
“Ah, nggak enak debat sama kamu,” aku mengakhiri
argumen kami dan mengganti topik. “Oh iya, gimana hubunganmu sama cowok yang
waktu itu nolongin kamu untuk nggak demam panggung sampe sekarang? Hayo, pasti
udah pacaran kan? Mulai aku skripsi kan aku nggak tau kondisimu. Ayo cerita
tentang kamu sama siapa tuh namanya? Calvin?” Aku menggelitiknya.
“Enggak ah,” ia menggeliat. “Kak Calvin tuh cuman
aku anggap kakakku kali. Kita emang deket, tapi bukan pacaran.”
“Masa?” aku menggodanya lagi.
“Justru aku tuh pengen tanya kamu sesuatu kak,”
ungkapnya.
Aku mengerutkan dahiku. “Tanya aku?”
Ia mengangguk. Ia mengambil Tablet yang ia beli hasil kerja kerasnya dari dalam tas mini-nya tapi tidak
melakukan apapun kecuali menggenggamnya. “Kamu nyadar nggak kak kalau kamu tuh
selalu pake baju yang warnanya sama kayak baju yang dipake kak Calvin?”
tanyanya seraya seorang wartawan yang menginvestigasi seorang kriminal wanita.
Pandangannya terlihat dalam sekali dan tubuhnya condong kepadaku.
“Nggak tuh,” jawabku singkat.
“Coba liat ya, aku tunjukin ke kamu foto-foto kita
waktu bakti sosial. Aku punya banyak nih yang ada di Tablet-ku,” ia menggeser-geser icon-icon yang ada gadget itu. “Sebentar..nah ini dia. Liat ya, kalian itu
selalu pake warna baju yang sama.” Ia mendekatkan badannya padaku dan
menunjukkan foto-foto yang dimaksudkannya tadi.
Aku tercengang melihat setiap foto itu. Beberapa
kali aku menggaruk kulit kepalaku karena terasa gatal akibat cuaca panas saat
di luar rumah tadi. “Iya ya?” hanya itu yang kuekspresikan.
Setelah seluruh foto sudah ia tunjukkan, ia
bertanya padaku, “Aku tanya ya. Pernah nggak kak kamu tuh berdoa untuk selalu
pake warna baju yang sama kayak dia?”
Aku menempelkan telapak tangan kananku di dahi.
“Gimana bisa aku berdoa gitu sementara aku sendiri nggak deket sama dia?” aku lantas
menyangkalnya.
“Yang bener? Aku bener-bener penasaran nih,” ia
mendesakku.
Aku berpikir sejenak. Tidak lama aku teringat
sesuatu yang bersangkutan dengan hal aneh ini. “Well, sebenernya waktu SMA dulu aku pernah iseng berdoa sama Tuhan kalau
aku ketemu sama orang yang selalu pake baju yang warnanya sama kayak aku, itu
berarti dia jodohku,” ungkapku. “Dan sebenernya aku tuh udah lupa lho.”
Patrice tiba-tiba saja mengangguk-angguk sambil
menyiratkan sebuah senyuman yang memberi makna tertentu padaku.
“Apaan sih?”
Ia tidak bergeming. Senyumannya semakin bertambah
lebar saja.
“Patrice Swastika Tirtowadoyo,” kusebutkan namanya
dengan lengkap seperti ketika aku merasa kesal padanya, “kenapa kamu senyum-senyum
gitu?”
“Kak Calvin itu jodohmu,” katanya tanpa basa-basi.
Aku tersentak. Hatiku tiba-tiba saja berdebar
kencang. Tapi aku saja sangat jarang berbicara dengannya, walaupun dia selalu
membantu acara bakti sosial kami. Dalam hatiku aku merasa bahwa ini adalah hal
yang mustahil dan aneh.
“Sayangnya dia besok udah nggak di Indonesia,” nada
suara Patrice berubah menjadi kecewa.
Mendengarnya, aku juga merasa sedikit kecewa
jadinya. Tapi aku memutuskan untuk menghiraukannya.
“Dia mau dipindahin kerjanya di Australia,”
jelasnya. “Kamu sih kak nggak dari dulu aja deket sama dianya.”
“Kok kamu nyalahin aku gitu sih?”
“Soalnya tuh kak Calvin juga beberapa kali tanya
tentang kamu,” lalu ia segera menutup mulutnya seperti baru saja membuka
rahasia dengan tidak sengaja.
“Tanya tentang aku?”
“Aku harusnya nggak ngomongin ini,” gumamnya.
“Pat?” aku menepuk bahunya. Kutatap
dia dengan pandangan tajam.
Ia menghela nafas. “Ya udah aku beritau aja lah,”
katanya.
“Ada rahasia?”
Ia tidak menghiraukan pertanyaanku tapi langsung
menceritakanku tentang Calvin. “Dia beberapa kali mimpi tentang kamu jalan ke
arah dia pake baju pengantin putih ada ikat pinggang pita biru. Makanya dia
tanya siapa namamu sama gimana kebiasaanmu, pokoknya tentang kamu lah. Dan, bukan
beberapa kali, tapi sering,” ungkapnya dengan sangat jelas.
Hatiku merasa semakin berdebar-debar. Tapi kemudian
rasa kecewa itu datang kembali ketika aku mengingat perkataan Patrice yang
mengatakan bahwa Calvin sudah berangkat ke Australia. Apakah aku sudah membuang
kesempatan? Tidak. Aku seharusnya menghiraukannya lebih lagi saat ia bicara
denganku. Bagaimana bisa aku berpikir bahwa ia menyukai Patrice kalau dalam
percakapan kami yang sangat sedikit itu tidak membahas sedikitpun tentang
Patrice tapi aktivitasku? Seharusnya aku sudah menyadarinya waktu itu.
Seharusnya aku lebih peka lagi kalau Calvin memperhatikanku. Kenapa aku─ah,
sudahlah.
“Kak, kamu sedih ya?” Patrice menyadarkanku dari
lamunan. “Maafin aku. Aku juga nggak cerita ke kamu.”
Aku menggeleng. “Nggak lah. Kamu nggak salah. Semua
bakalah baik-baik aja. Kalaupun toh dia itu jodohku, gimanapun caranya aku bisa
ketemu dia lagi. Siapa yang tahu pesawatnya harus delay beberapa minggu? Mungkin aja sih,” aku meyakinkan Patrice sambil menghibur diriku sendiri. “Besok aku
wisuda, jadi aku harus seneng. Lagipula IP-ku kan empat.” Aku tersenyum
padanya.
“Kak Millie,” Patrice memelukku. “Aku berdoa yang
terbaik untuk kamu. Aku sayang sama kamu kak.”
Aku membelai rambutnya. “Makasi ya adik angkat,”
kami tertawa dengan sebutan itu untuknya. “Kamu pokoknya harus jadi special guest di acara wisuda sama perayaan wisuda malemnya ya.”
“Pasti,”
0 Response to "Colors Made It (Chapter 2)"
Posting Komentar