Halaman

Colors Made It (Final)


Segala persiapan sudah diatur. Aku, Patrice dan mami menghadiri acara wisuda itu. Setelah itu, kami merayakannya bertiga di sebuah restoran di dekat sana dan bersenda gurau. Hari itu aku merasakan sukacita yang luar biasa. Tidak bisa kujelaskan bagaimana rasanya.
Malam pun tiba. Pukul 7.00 WIB saat acara perayaan wisuda dimulai. Aku bersama dengan teman-teman satu angkatan saling memberikan selamat dan mengambil foto bersama. Kami makan dan bersenda gurau disana. Patrice dan beberapa teman yang ia ajak pun ikut bersukaria merayakan wisuda angkatan kami.
Satu jam sudah kuhabiskan untuk bersenang-senang dengan setiap orang disana. Rasanya pegal sekali tumitku. Sepatu hak tinggi memang selalu menyiksa walaupun aku menyukainya. Kulihat ke sekelilingku untuk mencari tempat duduk yang kosong. Hanya di ujung kolam renang yang tidak diduduki.
Aku berjalan kesana dan mengistirahatkan tubuhku. Kuselonjorkan kakiku dan aku menutup mataku. Udara malam ini tidak terlalu dingin, jadi tidak jadi masalah aku berdiam di bawah langit terbuka dengan gaun biru muda pemberian Patrice ini.
“Seharusnya sepatu hak tinggi begini nggak boleh dipake,” suara seseorang tiba-tiba mengagetkanku dan segera membuatku membuka mata. Aku berpaling dan melihat Calvin duduk di sampingku. “Kok kamu─”
“Nggak di Australia?” ia menggeleng. “Ada satu surat nyampe di rumahku dan bilang pesawatku delay untuk beberapa minggu. Aneh. Aku nggak pernah ngalamin tuh pesawat delay beberapa minggu.
Aku terkejut. Bukannya aku iseng ngomongin itu kemarin siang ke Patrice? aku berpikir dalam hati. Kenapa omonganku jadi kenyataan? Wah, aku harus ati-ati kalau ngomong nih jadinya.
“Kenapa? Kok bengong?” tanyanya.
Aku tidak menjawabnya. Aku melihat warna baju yang ia pakai. Persis seperti dugaanku, dia memakai warna yang sama denganku.
“Kamu mau ngomong kalau kamu suka sama aku ya?” aku bertanya tanpa basa-basi.
Calvin terdiam sejenak. “Kok kamu tau?” tanyanya. “Memang aku suka kamu,”
Mendengarnya, hatiku menjadi berbunga-bunga. Mungkin sekarangpun pipiku sudah berubah menjadi merah merona. Aku berusaha menahan untuk tersenyum, tapi aku gagal. Aku pun berpaling ke arah lain untuk menutupinya.
“aku sayang kamu dan,” lanjutnya, “aku cinta kamu.” Ia beranjak dari tempat duduknya dan berlutut di depanku.
Aku menyadarinya dan kemudian berpaling kepadanya.
“Aku tahu dan yakin pasti kamu itu memang wanita yang tepat yang Tuhan kasi buat aku,” ia berkata dengan penuh keteguhan, seperti tidak ada keraguan dalam nada suaranya.
Aku tersenyum. “Aku juga yakin, walaupun baru kemarin disadarin Patrice, kalau kamu itu memang jodoh yang Tuhan kasi buat aku,” ungkapku.
“Baguslah kalau gitu,” katanya. Ia merogoh kantong celananya dan mengambil sebuah kotak hati berwarna putih dengan pita biru di sekelilingnya. “Aku udah beli ini lama sebelum kita ketemu secara nyata. Sebenernya aku pernah mimpi tentang kamu dua kali sebelum kita ketemu dan berkali-kali mimpi kamu habis kita ketemu.” Ia membuka kotak itu dan mengambil sebuah cincin yang permatanya membentuk inisial namaku. M.
“Kok bisa tepat inisialnya namaku yang kamu pilih?” aku benar-benar tidak menyangka kejadian yang lucu tapi menganggumkan ini terjadi di dunia nyata.
“Dalam mimpiku aku pakein cincin ini di jari seorang wanita sebelum kita ketemu,” jawabnya. “dan setelah kita ketemu aku mimpi─”
“Aku dateng ke kamu pake baju pengantin putih ada ikat pinggang pita warna biru,”
“Gimana kamu bisa tau─ah, Patrice kan?”
Aku mengangguk. “Jangan salahin dia ya. Dia juga bermaksud baik,” aku memohon.
Ia tersenyum. “Kenapa aku harus nyalahin orang yang bisa nyadarin kamu untuk ngerti kalau aku itu jodohmu?” ia menggenggam tanganku.
“Makasih banyak,” kataku.
Calvin masih berlutut di hadapanku. Ia memasangkan cincin itu di jari manisku. “Jadi pendamping hidupku ya,” ia memintaku tanpa menunggu persetujuan dariku. “Ikut aku ke Australia.”
“Kamu tuh nggak tanya dulu sama aku kayak di film-film gitu yang bilang ‘Maukah kamu menikah denganku?’” aku tertawa. “Kamu tuh nggak romantis deh. Nggak tanya aku juga apa aku mau ke Australia? Aku masih mau ngelakuin banyak hal disini lho.”
Ia tersenyum lebar. Semakin lebar. “Karena aku tahu jawabannya adalah ya,” katanya penuh keyakinan.
Sorak-sorai dan tepuk tangan yang keras terdengar dari sisi kolam yang tidak jauh dari tempat kami berada. Entah mengapa mereka melakukannya. Padahal jarak kami tidak terlalu dekat dengan  mereka untuk bisa didengar.
“Kalian itu pasangan yang romantis banget,” Patrice berjalan mendekati kami.
Aku tidak menghiraukan pujiannya tapi mengalihkan pembicaraan. “Mereka kok tepuk tangan?” tanyaku bingung.
Tidak langsung menjawab, Patrice justru tertawa. “Nggak sadar kalau sebelah kalian itu microphone?” ia menunjuk ke sebelah kananku. “Itu kan tempat untuk band yang bakalan manggung bentar lagi. Lengkap lagi peralatan musiknya. Kalian sih merasa dunia milik berdua, jadi nggak ngeliat barang segede itu kan?”
Aku dan Calvin langsung saja menoleh ke arah yang ia tunjuk. Ya, ada stand microphone lengkap sama microphone yang nyala dan aku nggak sadar! Gawat! Aku menempelkan telapak tanganku di dahi.
“Tenang aja, kak, mereka nggak bakalan nglakuin apa-apa, paling cuman nyorakin kayak tadi aja,” Patrice menggoda kami.
“Tapi mereka denger semuanya,” aku berbisik. Aku menghela nafas dalam-dalam dan bersandar di bangku yang kududuki itu.
Calvin tidak memberi komentar apapun tentang hal ini. Ia berdiri dan mengambil microphone itu. “Mohon perhatian semuanya,” ia menarik perhatian setiap orang yang hadir disana. “Sepertinya kalian udah denger omongan kami tadi kan? Jadi aku nggak perlu jelasin banyak. Aku cuman mau minta kalian untuk bujuk dia supaya mau pergi sama aku ke Australia.” Dia tertawa kecil.
Aku tersenyum padanya lalu berdiri di sebelahnya. Kujauhkan microphone yang ia genggam itu ke bawah. “Masih ada mamiku, Calvin. Aku nggak bisa ninggalin mamiku,” aku mengingatkannya.
Millie, aku sudah bekerja selama beberapa tahun dan aku yakin aku sudah memiliki aset yang cukup untuk membiayai dua orang lagi selain diriku di Australia nanti,”
Ia membuka pikiran dan hatiku. Aku memang belum begitu mengenal siapa dia, tapi aku merasa seperti ia sudah mengenal aku dengan baik. Aku memang ingin pergi bersamanya, tapi juga dengan mami. Dan Calvin, dia seperti mendengar kata hatiku. Dia membuatku merasa yakin untuk mengikutinya kemanapun dia pergi. Tuhan, aku nggak perlu tanda apapun lagi untuk bikin aku yakin kalau dia memang jodoh yang dariMu.
Aku mengambil microphone itu dari tangannya. “Temen-temen, aku nggak perlu dibujuk kok. Aku memang bakalan pergi sama Calvin. Anyway, thank you so much udah dengerin obrolan kami tadi,” aku tertawa kecil sambil memandang kerumunan orang banyak itu dan kemudian memandang Patrice. Aku memeluknya.
“Kak Millie,” ia memelukku dengan erat. “Aku pasti bakalan kangen sama kamu.”
“Aku juga, adik angkat,” aku membelai punggungnya. Aku melepaskan pelukanku dan berpaling pada Calvin.
Ia menggenggam kedua tanganku dan menatapku dengan pandangan yang dalam sekali. “Sebenernya, kalaupun kamu kepingin tetep di Indonesia, aku juga bakalan tinggal,” katanya. “Aku bisa bilang sama atasanku terus─”
“Aku ikut, Calvin,” aku menyela. “Wherever you go, I’ll go with you.”
Ia pun memelukku dengan erat. Karena itu, sorak-sorai dan tepuk tangan yang meriah dari semua orang disana terdengar lagi.

Kehidupan di Australia sungguh menyenangkan. Kami tinggal di sebuah apartemen terpisah di Queensland. Calvin bekerja dengan sangat baik dan ia menjadi lebih sukses dari sebelumnya. Aku juga. Aku mendapatkan pekerjaanku sendiri yang sesuai dengan kemampuanku. Aku bekerja di sebuah toko pakaian yang kubangun sendiri dan kini sudah menjadi semakin besar. Tiga tahun kujalani dan sudah ada dua cabang lainnya di Adelaide dan Sydney. Ini mengagumkan untuk bisa hidup di negara lain dengan baik.
Patrice, selama tiga tahun ini kami saling berkomunikasi lewat Skype. Terakhir kali, dia bercerita bahwa dia sudah bekerja di perusahaan papanya sebagai staff marketing. Dia memang gadis yang hebat. Dia tidak mengandalkan posisi papanya yang tinggi untuk mendapatkan jabatannya sekarang. Dia benar-benar bekerja keras dan mendapatkan hasil yang baik walaupun masih satu tahun dia ada di perusahaan itu. Aku senang sekali mendengarnya.
Hari ini, Minggu, 17 Juni 2012, adalah hari pernikahanku dengan Calvin. Hari yang aku tunggu-tunggu sejak lama. Hari dimana dua hati menjadi satu. Aku merasa sangat bahagia. Sekarang kami menjadi keluarga yang bahagia. Selama tiga tahun ini, Calvin membuktikan cintanya padaku. Dia sangat mengerti dan menjagaku dengan sangat baik. Begitu juga sebaliknya, setiap aktivitas dan kebiasaannya selalu kuperhatikan di sela-sela kesibukanku. Itulah mengapa, hari ini kuputuskan untuk menjadi pendamping hidupnya.
Kami menikah di Indonesia seperti kesepakatan yang kami buat bersama. Patrice tentu saja datang. Tapi dia tidak sendirian.
“Billy,” ia memperkenalkan diri.
“Halo, Billy,” sapaku. “Gimana sama Patrice? Dia cewek ehem maaf, wanita yang baik kan?”
Billy mengangguk. “Nggak pernah aku ketemu sama cewek yang nggak pernah putus asa kayak dia ini. Dia juga selalu semangat kapanpun,” ungkapnya. “Aku seneng banget bisa ketemu dia.”
“Ini semua juga peran kak Calvin,”
“Aku?” Calvin menunjuk dirinya.
Patrice mengangguk. “Mungkin aku bakalan jadi bahan tertawaan kalau aku nggak bisa ngatasin demam panggungku dan bakalan jadi cewek manja, nakal, dan selalu sedih,” ujarnya.
Kami semua tertawa.
“Nggak bisa bayangin kamu jadi kayak gitu, Pat,” celetukku.
“Nggak usah dibayangin lah,” Patrice menutup pembicaraan. “Kalau kalian gimana disana? Wah, mesti habis ini, ehem, gitu lah.” Dia tertawa. Dia memang suka sekali menggodaku.
Aku menempelkan telapak tanganku di dahi. “Patrice, Patrice,” aku menggeleng-gelengkan kepala.
“Kalian itu emang pasangan yang nggak biasa. Unik banget,” lanjutnya.
Calvin melingkarkan lengannya di pinggangku. “Iya lah. Calvin dan Millie,” katanya bangga, lalu mencium rambut kepalaku.
Kami bersenang-senang di pesta itu. Canda dan tawa mengisi seluruh ruangan. Hari ini, adalah awal dari masa depanku bersama Calvin. Tuhan, sertai rumah tangga kami sampai akhir ya, aku berdoa dalam hati sambil mendengarkan cerita Patrice.


~The End~

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "Colors Made It (Final)"

Banner Exchange

Neng Hepi Blog, Banner